BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kejaksaan Vs Mafia Pajak

Kejaksaan Vs Mafia Pajak

Written By gusdurian on Jumat, 04 Mei 2012 | 21.54

AHMAD YANI Wakil Ketua F-PPP DPR RI, Anggota Komisi III DPR RI Korps Kejaksaan harus membuktikan mampu menghentikan sepak terjang mafia pajak. Ne gara mengandalkan korps kejaksaan dalam upaya menyelamatkan dan mengamankan potensi penerimaan dari sektor pajak. Dengan begitu, atas nama negara dan rakyat, Kejaksaan Agung bisa saja menempuh kebijakan atau tindakan luar biasa untuk menekan tindak pidana perpajakan. Merespons pidana perpajakan dengan tindakan luar biasa amat diperlukan karena negara tidak boleh lagi minimalis menghadapi kejahatan yang satu ini. Aksi mafia pajak dengan segala eksesnya adalah persoalan riil. Perampokan oleh mafia pajak menyebabkan negara menderita kerugian besar. Seperti halnya kejahatan di sektor perbankan, kejahatan perpajakan melibatkan sekelompok orang yang ahli dalam bidang perpajakan, baik orang dalam Ditjen Pajak maupun wajib pajak (WP) nakal. Orang yang awam akan sulit menemukan muatan pidana perpajakan dari aksi sekelompok orang itu. Mengacu pada rangkaian kasus penggelapan dan manipulasi restitusi pajak, publik pun sudah berkesimpulan bahwa jaringan mafia pajak berada di balik maraknya kasus penggelapan pajak. Sebuah perkiraan kasar menyodorkan jumlah lebih dari Rp 300 triliun pajak negara yang dicuri setiap tahunnya. Jumlah yang sangat besar untuk bisa dikerjakan hanya oleh satu-dua oknum Ditjen Pajak. Dengan begitu, negara, khususnya kejaksaan, harus all out, tegas, dan militan memerangi pidana perpajakan yang dilakukan oknum birokrasi negara. Kalau perlu, Kejaksaan Agung memosisikan kejahatan perpajakan sederajat dengan kejahatan narkoba, mafia hukum, dan kejahatan korupsi. Korps kejaksaan dipastikan mampu menghadapi kejahatan perpajakan. Kemampuan itu setidaknya sudah teruji dalam menangani kasus Gayus Halomoan Tambunan, terpidana penggelapan pajak yang sudah dibui. Dalam menangani kasus ini, korps kejaksaan bahkan mengungkap dan menindak langsung seorang jaksa senior yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik berupa tindakan jual beli rencana tuntutan. Langkah itu menjadi bukti bahwa Korps Kejaksaan tegas dan militan dalam merespons aksi mafia pajak. Memang, tantangannya sangat berat sebab yang dihadapi adalah kelompok mafia berkekuatan besar dengan kemampuan finansial tak terbatas. Kalau tidak tahan uji, kekuatan besar itu dengan mudah bisa merekayasa proses hukum dan menciptakan peradilan sesat. Shock therapy Penggelapan pajak merupakan modus lain dari tindak pidana korupsi. Seharusnya, KPK proaktif mendalami kejahatan luar biasa ini. Dalam rentang waktu yang sangat panjang, terbentuk persepsi di benak publik bahwa tindak pidana pencurian kekayaan negara bermodus koruptif atau manipulasi hanya terjadi pada sisi belanja pemerintah atau pembiayaan proyek (pengeluaran). Kecenderungan ini menyebabkan publik dan juga KPK hanya fokus pada kasus korupsi atau manipulasi anggaran belanja serta anggaran proyek. Padahal, tindak pidana koruptif yang terjadi di sisi pendapatan atau penerimaan negara cukup tinggi intensitasnya. Contoh kasus yang paling mudah dipahami adalah tindakan oknum bea cukai meloloskan barang selundupan dengan menerima imbalan dari penyelundup. Pada kasus ini, penerimaan negara dari bea masuk barang itu otomatis hilang. Di sektor pajak, penerimaan negara tidak sesuai dengan potensi riil. Modus tindak pidana di sektor perpajakan cukup beragam. Dari modus diskon pajak, modus manipulasi restitusi pajak, sampai modus memenangkan WP dan mengalahkan negara di pengadilan pajak. Dari hasil pemeriksaannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun melihat modus lain, yakni oknum fiskus melakukan kesalahan yang patut dicurigai sebagai kesengajaan. Semua modus ini sudah dipraktikkan sejak lama sehingga perilaku manipulatif para oknum fiskus terpatri di benak komunitas WP. Maka, menjadi aneh jika pemerintah sampai saat ini masih bersikap adem ayem menghadapi rangkaian fakta kasus penggelapan pajak. Sosok seperti terpidana Gayus Halomoan Tambunan maupun tersangka Dhana Widyatmika diyakini tidak bekerja sendiri. Ketika negara “harus dikalahkan“ dalam pertarungan melawan WP di forum pengadilan pajak, tentu ada sejumlah pihak terlibat dalam proses seperti itu. Institusi pengadilan pajak pun tidak bersih dari percaloan. Selalu ada penawaran untuk membantu penyelesaian sengketa pajak dari pihak-pihak yang tak jelas statusnya. Tak aneh bila dari semua kasus, hampir 90 persen negara dikalahkan WP. Karena itu, langkah kejaksaan Agung menetapkan mantan atasan Dhana Widyatmika, Firman, sebagai tersangka patut diapresiasi. Publik berharap, penegak para jaksa terus mendalami dan memperlebar penyelidikan kasus Dhana untuk menjerat siapa saja yang terlibat dalam kasus ini. Langkah sigap Dirjen Pajak Fuad Rahmany yang telah menghukum 263 pegawai Ditjen Pajak karena melanggar kode etik dan disiplin pun patut dihargai. Namun, indikasi tentang Ditjen Pajak yang belum bersih-bersih amat-kendati sudah menikmati remunerasi-tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Dari kecenderungan tersebut, Dirjen Pajak tampaknya tak cukup hanya menghukum bawahannya yang terbukti melanggar kode etik, tapi harus pula menyerahkan bawahannya untuk diproses hukum. Dirjen Pajak perlu bekerja sama dengan Kejaksaan Agung. PPATK sudah menyebutkan bahwa ada ratusan pegawai pajak yang diduga memiliki rekening tak wajar. http://republika.pressmart.com/PUBLICATIONS/RP/RP/2012/05/05/ArticleHtmls/Kejaksaan-Vs-Mafia-Pajak-05052012004023.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: