Tahan Miskin, Tak Kuat Kaya
Written By gusdurian on Jumat, 04 Mei 2012 | 21.32
Oleh: MOH MAHFUD MD
”Sompret, memalukan, menjijikkan,” umpat seorang kawan melalui pesan
pendek ke HP saya Kamis pagi dua hari yang lalu. Umpatan itu dilontarkan
terkait dengan penayangan reportase secara bersambung tentang para
pemimpin produk reformasi yang kini terjerat kasus korupsi.
”Korupsi sekarang jauh lebih gila daripada korupsi
zamanOrdeBaruyangdulukitaganyang habis,” tulis teman itu
dalamsambunganumpatannya. Ngrasani pemimpin-pemimpin korup produk
reformasi yang memualkan ini kemudian berlanjut dan saling bersahut
dengan celetukan-celetukan gemas melalui BlackBerry Messenger (BBM)
sehingga melibatkan satu grup yang anggotanya puluhan orang.
Anggota-anggota grup BBM ini adalah eks teman-teman sealmamater,satu
kampus saat kuliah tahun 1980- an di Yogya yang tergabung dalam jaringan
UII Corner. Kami memang sangat gundah dan cemas menyaksikan banyaknya
pemimpin kita sekarang ini yang tersandung masalah korupsi. Apalagi di
antara mereka banyak tokoh yang dulunya,saat kami masih di kampus,
sangat membanggakan dan menjanjikan harapan bagi perbaikan negeri
tercinta sehingga kami mendukungnya, mengelu-elukannya, dan
menggotongnya tinggi-tinggi saat terjadi reformasi pada akhir 1990-an.
Tapi, setelah menduduki jabatan penting dan bisa turut menentukan
hitam-putihnya bangsa dan negara,kini mereka tersandung kasus
korupsi.Mereka banyak yang terperosok ke kubangan politik yang jorok.
Yang dulu berjuang di terik panasdanhujanuntukmelawan korupsi sekarang
menjadi pesakitan karena korupsi. Yang dulu banyak berpidato di berbagai
seminar dan forum diskusi agar kita bergerak memperbaiki negeri dengan
melawan korupsi kini ikut korupsi pula. Yang dulu berjalan kaki, naik
angkot, bergelayutan di bus kota untuk berdemo melawan korupsi kini
sudah punya beberapa rumah mentereng dan berbagai jenis mobil mewah yang
asal usulnya sulit dijelaskan sehingga disinyalir korupsi.
Tak ada yang boleh melarang orang untuk meraih kekayaan dan tak ada yang
diizinkan menghalangi orang mengejar kedudukan dan jabatan tinggi. Semua
itu adalah hak yang tak boleh dirampas oleh siapa pun. Kita membentuk
negara merdeka dan kemudian melakukan reformasi justru untuk
membukaaksesbagisetiapkitauntuk menjadiorangkaya danmenjadi
pejabatapapunyangdiinginkan asalkan dilakukan dengan caracara
halal,bermoral,dan etis. Tapi yang tampak di depan kita sekarang sungguh
menyedihkan.
Orang yang tadinya pejuang antikorupsi justru menjadi koruptor baru.Yang
tadinya kita harapkan dan elu-elukan untuk meluruskan perjalanan dan
membersihkan negara dari tikus-tikus koruptor ternyata menjadi biangnya
koruptor. Ada yang mengatakan bahwa kita telah membangun sebuah sistem
yang salah dalam era Reformasi ini. Pada saat berhasil menumbangkan
rezim yang dulu kita anggap korup, kita hanya menjatuhkan tokoh
puncaknya tanpa membenahi sistem, tidak menyeleksi tokoh, dan tidak
merombak berbagai prosedur yang secara sistemik kotor.
Tapi pandangan itu dibantah oleh seorang teman.”Tidaklah, semua gagasan
tentang sistem yang katanya baik sudah diadopsi semua di dalam peraturan
perundang-undangan kita,” tulis teman itu. ”Betul. Coba, peraturan dan
aparat jenis apa yang tak ada dalam sistem kita sekarang untuk
memberantas korupsi? Sudah ada semua, kan? Ini soal moral dan
mental,Kawan,”tulis yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa munculnya
pemimpinpemimpin seperti itu sebenarnya disebabkan tiadanya visi tentang
reformasi di kalangan pemimpin-pemimpin baru itu.
Dulu, di zaman Orde Baru, mereka marah pada merajalelanya KKN bukan
karena tak suka pada kemungkaran, melainkan karena tidak ikut kebagian
korupsi. Maka begitu mendapat peluang berkuasa dan mengatur negara,
mereka nikmati itu sebagai kesempatan mendapat giliran untuk melakukan
korupsi dan bertindak sewenang-wenang.Jadi bagi mereka reformasi itu
adalah pergantian para pelaku korupsi di level para pemimpin.
Hamid Basyaib menimpali bahwa para pemimpin muda yang korup nan
memalukan itu sebenarnya karena mengalami gegar budaya yang dahsyat.
Mereka begitu kaget dan kehilangan keseimbangan mental akibat
kemendadakan peningkatan status/posisi dari orang kere menjadi orang
berkuasa. Erwin menegaskan bahwa perubahan status bagi mereka itu
membuka peluang membalas dendam pada kemiskinan yang disokong oleh
merasuknya agama baru ke dalam jiwa para pemimpin itu, yaitu agama
hedonisme.
”Wow, diskusi menarik,” timpal Ifdhal. Saya teringat pada apa yang
pernah dikatakan Gus Dur bahwa pemimpin sekarang ini adalah orang-orang
yang (dulunya) tahan miskin, tetapi (kemudian) tak kuat kaya. Pada saat
miskin dan lemah mereka tabah dan tangguh berjuang untuk melawan korupsi
dan menegakkan hukum demi bangsa dan negara, tetapi pada saat kaya dan
berkuasa mereka tak tahan dan tak kuat untuk melawan dorongan korupsi
dan kesewenang-wenangan demi diri sendiri atau keluarganya.
Kalau keadaan sudah seperti ini,negara ini sebenarnya ada di tepi
jurang. Maka tak ada pilihan lain, negara harus tegas dan mau
menjatuhkan hukuman yang mahaberat bagi para koruptor itu. Hukuman biasa
tak lagi ditakuti, ejekanejekan tak lagi membuat malu, regenerasi
koruptor terus bertumbuh subur. Apa tega kita membiarkan negara meluncur
ke jurang kehancuran? MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/492164/
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar