BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Latest Post

ACFTA dan Nasib UKM

Written By gusdurian on Kamis, 09 Juni 2011 | 14.44

China yang telah mereformasi ekonominya dan membuka diri lebih dari tiga dekade lalu telah berhasil “menguasai” dunia.


Ekonomi China tumbuh dan berkembang pesat karena surplus perdagangan internasionalnya yang besar (export driven country).Surplus perdagangan internasional China pada 2008 mencapai USD296 miliar, meskipun mulai turun menjadi 183 miliar dolar AS pada 2010, bahkan sempat mengejutkan banyak pihak karena mengalami defisit USD7,3 miliar pada Februari 2011 (masa liburan Tahun Baru), namun mulai balik surplus USD140 juta pada Maret 2011. Salah satu penyebabnya selain harga impor produk sumber daya alam yang semakin mahal, juga mata uang Yuan yang mulai menguat, serta kenaikan upah tenaga kerja, tuntutan energi bersih ataupun menjaga lingkungan hidup yang semakin meningkat.

Selain itu,FreeTrade Area(FTA) ataupun proteksi yang dilakukan berbagai negara juga tentu saja memengaruhi surplus China. Karena itu,Pemerintah China memperkirakan surplus perdagangan internasionalnya akan menurun pada masa mendatang. Namun, produk manufakturnya diperkirakan masih akan tetap membanjiri pasar dunia. Keluhan banjirnya produk China yang membuat hilangnya lapangan pekerjaan sudah lama disuarakan negara maju seperti AS, Jepang, dan Eropa Barat. Mereka menganggap strategi China yang mematok Yuan yang lemah selama lebih dari tiga dekade telah membuat produk China murah di dunia. Dengan begitu,“tuntutan” agar China mengapresiasi mata uangnya semakin keras terdengar di berbagai forum.

Membanjirnya produk China juga sudah mulai membuat negara sedang berkembang mulai “gerah”. Dalam pertemuan BRIC plus Afrika Selatan yang lalu Presiden Brasil Dilma Rousseff bahkan menyinggung masalah tersebut. Di Indonesia hari-hari sebelum kedatangan Perdana Menteri China minggu lalu telah memunculkan banyaknya tuntutan, bahkan menko perekonomian mulai menyuarakan perlunya renegosiasi kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan China,meskipun sudah ada kerangka ASEAN China FTA (ACFTA). Namun, tidak pernah ada renegosiasi. Sebagai gantinya, China berjanji akan investasi USD10 miliar ke Indonesia.

Isu renegosiasi FTA yang selalu muncul pada saat ada pejabat tinggi China datang ke Indonesia telah menguap. Diperkirakan, China tidak akan mau renegosiasi FTA dengan negara mana pun. Kalau merenegosiasi dengan satu negara, negara lainnya akan meminta perlakuan yang sama. Padahal seperti kita ketahui bahwa bangkitnya ekonomi China karena surplus perdagangannya yang besar selama ini, meskipun membanjirnya produk China itu sudah menjadi masalah di hampir semua negara di dunia.

Sementara itu, hasil monitoring dari Kementrian Perindustrian terhadap lima sektor industri yang paling terkena dampak masuknya produk China yang dilakukan akhir 2010 untuk produk elektronik, furnitur,tekstil dan produk tekstil, logam dan produk logam, serta permesinan, semuanya menunjukkan ada penurunan produksi, penjualan, keuntungan,dan tenaga kerja. Untuk produksi bahkan bisa berkurang sampai 50%.Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian ISEI pada 2010 dan Pusat Studi Asia Pasifik UGM pada 2007. Pengusaha Indonesia, terutama UKM, adalah yang mengalami pukulan paling telak oleh banjirnya produk China.

Jumlah UKM dalam lima tahun terakhir terus berkurang. Selain banjirnya produk China, juga masalah yang dihadapi masih sangat banyak. Sebagai gambaran, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan bahwa dampak liberalisasi perdagangan, terutama dengan China,telah memaksa beberapa industri mengurangi jumlah tenaga ker-janya karena turunnya produksi. Contohnya industri alas kaki yang jumlah produksinya turun 20%, sehingga terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 20% juga, di mana 300.000 orang dari 1,5 juta pekerja alas kaki di industri rumah tangga terpaksa diberhentikan gara-gara ACFTA. Padahal rata-rata penjualan industri alas kaki mencapai Rp27 triliun per tahun untuk pasar dalam negeri.

Sementara itu, masalah yang dihadapi dunia usaha Indonesia adalah masih banyak di antaranya tarif dasar listrik (TDL) yang dianggap mahal dan kualitasnya buruk, masalah ketenagakerjaan, suku bunga yang tinggi, banyaknya pungutan, pajak, dan retribusi daerah yang besar, infrastruktur yang buruk. Belum lagi penyelundupan barang yang marak. Padahal China yang sangat terkenal dengan dukungan ataupun fasilitasnya pada dunia usaha juga semakin agresif. Negara itu telah membeli 670 dokumen standar nasional Indonesia (SNI) untuk berbagai produknya. Dapat kita lihat betapa pemerintahnya berusaha keras untuk melindungi pasarnya di luar negeri,padahal surplus perdagangannya dengan Indonesia cukup besar, dan barang hasil manufakturnya sudah membanjiri pasar Indonesia.

Sementara itu, meskipun Menteri Koperasi dan UKM menyatakan bahwa pemerintah akan memproteksi usaha kecil dan menengah dalam menghadapi ACFTA, perlu ada keberpihakan. Namun, sampai sekarang membanjirnya produk China yang membuat banyak UKM terpuruk atau gulung masih terus ber-langsung. Strategi Kementerian Koperasi dan UKM dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan dan pendampingan,mulai dari aspek kredit, produksi, dan pemasaran,meskipun tampak bagus, jelas masih kurang, dan sebenarnya sudah terlambat. Kesepakatan sudah dibuat akhir 2004, dan penurunan tarif normal tract sudah dimulai sejak 2005.Memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Keluhan menyangkut membanjirnya produk China tampaknya ditanggapi Pemerintah China,meskipun diperkirakan tidak akan bersedia melakukan renegosiasi. Pemerintah China bahkan sudah mengundang pihak Indonesia untuk bertemu 9-12 Juni nanti di China untuk melakukan dialog bilateral tentang ketidakberimbangan neraca perdagangan kedua negara pasca-ACFTA. Dialog itu akan difokuskan untuk membahas lima komoditas Indonesia yang terindikasi mengalami injury, yaitu tekstil, elektronik, alas kaki, mainan anak, serta makanan dan minuman.

Namun, yang sangat penting bagi Indonesia adalah membawa bukti, khususnya dampak banjirnya produk China yang telah melumpuhkan UKM, sehingga UKM memiliki waktu untuk meningkatkan daya saingnya, paling tidak untuk mempertahankan pasar domestik. Terlepas dari itu, perlu disadari bahwa itu semua hanya “pengobatan” sementara, tetap saja pekerjaan rumah utama kita adalah bagaimana pemerintah baik pusat maupun daerah perlu menyadari bahwa ini masalah serius.

Pemerintah perlu bekerja sama dengan dunia usaha untuk meningkatkan kemampuan kita bersaing sehingga produkproduk kita tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Semoga.●

SRI ADININGSIH
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/396173/

45 Tahun Supersemar

Oleh Franz Magnis-Suseno SJ

Pada 11 Maret 1966 lima setengah bulan paling menegangkan dalam sejarah Indonesia merdeka mulai berakhir. Pada tanggal itu Presiden Soekarno menandatangani sebuah surat. Di situ ia menyuruh Jenderal Soeharto mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengembalikan keamanan.

Dalam kenyataan, meski pasti bukan maksud Soekarno, Supersemar menjadi legitimasi pengambilalihan kekuasaan oleh Soe- harto. Dan, Soeharto tak ragu-ragu. Ia langsung melarang Partai Komunis Indonesia dan segera—tanpa menghiraukan protes Presiden Soekarno—menangkap sekitar 12 menteri Kabinet 100 Menteri, lalu membentuk kabinet baru. Sejak tanggal itu kekuasaan efektif di negara RI terletak di tangan Soeharto, yang baru melepaskannya pada 21 Mei 1998.

Empat puluh lima tahun kemudian peristiwa historis itu tetap kontroversial. Tak bisa tidak. Terlalu kompleks situasi dan kondisinya, terlalu raksasa dampaknya bagi bangsa Indonesia, dan terlalu mengerikan jumlah korbannya. Saya ingin menceritakan bagaimana saya waktu itu mengalaminya meski cerita itu barangkali shocking.

45 tahun lalu

Saat itu saya mahasiswa teologi di Yogyakarta. Saya hidup bersama rekan-rekan mahasiswa muda tarekat rohaniwan Yesuit. Percayakah Anda bahwa kami menyambut berita di radio tentang peristiwa Supersemar dengan bersorak gembira? Bahwa kami merasa seakan-akan sebuah beban kekhawatiran gelap terangkat. Reaksi kami itu sendiri ada sejarahnya.

Sejak mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta, 29 Januari 1961, saya cemas dengan ancaman komunis. Bagi saya, komunisme—sesudah nasional-sosialisme Nazi—adalah ideologi paling jahat dan berbahaya: antara 1917 dan 1991 kaum komunis membunuh lebih dari 100 juta orang, sedangkan Nazi antara 1933 dan 1945 membunuh 12 juta orang, tanpa menghitung korban perang.

Saya dapat kesan bahwa PKI maju di semua front. Di mana-mana papan merah PKI dan BTI terpasang. Sesudah Nasakom—persatuan ”revolusioner” Nasionalisme, Agama, dan Komunisme—dipermaklumkan Presiden Soekarno, segenap ungkapan kritis terhadap komunisme dihantam sebagai komunisto-fobi.

Akhir 1964, sebanyak 20 koran pembawa tulisan antikomunis Sayuti Melik ”Badan Penjebar Sukarnoisme” ditutup dan Partai Murba dinonaktifkan. Januari 1965, Soekarno membawa Indonesia keluar dari PBB. Secara internasional Indonesia terisolasi. Sejak akhir 1964 teman saya, para mahasiswa rohaniwan muda Indonesia, yang sebelumnya semua pengikut antusias Soekarno, berkesan mulai meragukan Soekarno.

Pada Agustus 1965 kami dengar kabar burung bahwa Soekarno jatuh sakit dan 10 doktor RRC yang katanya dibawa Ketua PKI Aidit dari Beijing dalam sebuah memo rahasia hanya memberikan tiga bulan lagi kepada Presiden. Suasana tegang meliputi negara. Kami merasa sesuatu akan terjadi.

Sesuatu itu terjadi pada 1 Oktober. Kami di Yogyakarta terus mendengarkan RRI. Sekitar siang hari kami mulai menyangka bahwa ”Gerakan 30 September”, nama yang dipakai oleh gerakan itu sendiri, berhaluan kiri. Malam hari suara Jenderal Soeharto mengumandang lewat RRI bahwa gerakan itu sudah dihancurkan. Kami menyambutnya dengan agak lega.

Namun, Yogyakarta sepertinya diliputi ketakutan. Jalan-jalan dan pasar-pasar sepi. Se- akan-akan orang sudah tahu bahwa darah telah mengalir dan darah akan mengalir lagi (di Yogyakarta pun yang dikuasai selama 16 hari oleh ”Dewan Revolusi”, Komandan Korem 72, Kolonel Katamso, dan stafnya, Letkol Sugiono, dibunuh oleh pasukan mereka sendiri). Orang masih ingat Peristiwa Madiun: kedua belah pihak membunuh jauh lebih banyak orang daripada yang ”perlu secara operasional”.

Kami merasa tegang. Segera menjadi jelas, Presiden Soekarno tak bersedia menonaktifkan PKI sebagaimana dituntut oleh semakin banyak kekuatan antikomunis. Apakah beliau akan berhasil menyelamatkan PKI?

Pada 16 Oktober pasukan yang ”terlibat” meninggalkan Yogyakarta. Kami dengar adanya bentrok di kawasan Klaten-Jatinom. RPKAD mulai ”membersihkan” kampung demi kampung dengan kader-kader tertinggi sering langsung dieksekusi. Pada bulan-bulan berikut kami juga mendapat berita tentang pembunuhan besar-besaran terhadap komunis di Jawa Timur dan Bali. Gelap dan mengerikan.

Di Jakarta, demonstrasi antikomunis kian menjadi. Namun, kesannya Presiden Soekarno lama-kelamaan berhasil merebut kembali inisiatif. Pada Februari dibentuk Kabinet 100 Menteri. Jenderal AH Nasution harapan kami tak lagi termasuk. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) malah dilarang. Semua itu berakhir pada 11 Maret 1966 itu.

Tiga tahap

Melihat kembali, sebaiknya kita membedakan tiga tahap. Yang pertama adalah kejadian 1 Oktober 1965 dan buntut langsung. Saya tak akan masuk ke dalam spekulasi tentang siapa dalang G30S. Yang jelas, pada hari itu, pagi-pagi, enam jenderal tinggi Angkatan Darat dan ajudan Kapten Pierre Tendean diculik dan dibunuh.

Gerakan itu di Jakarta sudah dipatahkan pada malam hari yang sama dan berakhir sesudah benteng-bentengnya di Solo dan Yogyakarta menyerah. Untuk mematahkan PKI secara definitif, sebenarnya cukup kalau PKI, yang tak memperlihatkan kemampuan melawan, dilarang dengan—barangkali—para kader inti ditahan dulu serta semua yang betul-betul terlibat dalam penculikan dan pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta dibawa ke pengadilan. PKI pasti tidak akan bisa bangkit lagi.

Namun, larangan tak turun. Pada pertengahan Oktober 1965 mulai tahap kedua, tahap paling mengerikan. Di Yogyakarta dan Jawa Tengah, pembersihan dilakukan RPKAD, tak ada pembunuhan dari pihak nonmiliter. Pembunuhan dalam jumlah yang betul-betul di luar segala imajinasi terjadi di Jawa Timur dan Bali, tetapi juga misalnya di Flores dan melibatkan masyarakat nonmiliter. Setidaknya 500.000 orang terbunuh. Ini satu dari lima genosida di dunia pada bagian kedua abad ke-20!

Siapa bertanggung jawab? Soeharto-kah yang memerintahkannya? Apakah dibiarkan berlangsung tanpa ada perintah apa pun? Andai kata PKI langsung dilarang, apakah pembunuhan mengerikan itu barangkali tidak terjadi? Tak ada jawaban. Tak ada jawaban juga mengapa bangsa Indonesia terlibat dalam sesuatu yang sedemikian tak manusiawi!

Namun, tak ada keraguan sedikit pun bahwa Soeharto dan jenderal pembantunya bertanggung jawab 100 persen atas kejahatan tahap ketiga: penangkapan jutaan orang (Sudomo pernah menyebut angka 1,9 juta orang) sebagai ”terlibat” ketika hanya satu hal pasti bahwa mereka tak terlibat dalam arti apa pun.

Secara sistematis dan birokratis jutaan saudara dan saudara sebangsa dikeluarkan dari komunitas solidaritas bangsa, dihancurkan nama baiknya, dirusak keluarga dan perekonomiannya, banyak yang disiksa, perempuan diperkosa, difitnah, dirampas kebebasannya. Mereka adalah yang dianggap ”terlibat”, anak dan cucu mereka, serta mereka yang ”tidak bersih lingkungan”.

Yang golongan C, meski cukup cepat dilepaskan tetap terkena stigmatisasi, ada tanda di KTP. Pekerjaan tertentu tertutup bagi mereka, mereka harus secara teratur lapor, anak-anak mereka susah masuk sekolah. Puluhan ribu orang dari kategori B, meski tak melakukan sesuatu yang berlawanan dengan hukum, dianggap rada penting dan ditahan dalam kamp-kamp khusus, termasuk di Pulau Buru. Sisa sebanyak puluhan ribu baru dilepaskan sekitar tahun 1979 atas desakan Presiden AS Jimmy Carter.

Tak jelas mengapa kejahatan itu dilakukan. Sampai hari ini tak ada pengakuan terhadapnya. Cukup memusingkan mengapa sebagian besar bangsa Indonesia tak pernah menunjukkan tanda terkejut berhadapan dengan kekejaman dan kejahatan sedemikian banyak warga sebangsa. Soe- harto dan kawan-kawannya membawa dosa itu ke kubur mereka. Namun, mereka hanya dapat melakukannya karena merasa mendapat dukungan. Itulah yang sulit dimengerti.

Lalu apa? Bangsa lain pun ada yang mempunyai noda-noda dalam sejarahnya, misalnya bangsa Jerman. Barangkali situasi waktu itu memang dilematis.

Minimal sekarang, 45 tahun kemudian, kita seharusnya berani berhenti berbohong, berani mengakui mereka yang sampai sekarang tak mau diakui sebagai korban. Seharusnya kita bertekad bahwa kita tak akan pernah lagi mengizinkan sekelompok orang dikucilkan dari solidaritas bangsa, dibiarkan menjadi obyek kebencian, kekerasan, dan barangkali pembunuhan hanya karena berbeda kepercayaan atau keyakinan politiknya.

Franz Magnis-Suseno SJ Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

http://nasional.kompas.com/read/2011/03/11/04515356/

Media Sosial: Dari “The Angels” hingga “The Curhaters”

“MARRY Me..Harry!” “I wanna be a princess... Harry,would you marry me?” Demikian jeritan yang banyak ditemui di Twittersaat pernikahanWilliam- Kate.

Kalimat ini bertaburan dan terekam dalam hastag#RoyalWedding. Tentu saja gadis-gadis itu hanya iseng, atau sekadar curhat mungkin mengisyaratkan mimpinya untuk menjadi bagian dari kisah dongeng putri dan pangeran di kerajaan. Para Tweeps (pengguna Twitter) tersebut, dalamstudiETNOMARK Consulting, digolongkan sebagai “The Curhaters”. Tipe pengguna media sosial memang bervariasi.Tidak semua orang memiliki motivasi dan kebutuhan yang sama,walaupun mereka sama-sama aktif sebagai pengguna setia media sosial. Media sosial berkembang dengan sangat cepat, secara eksponensial. Perkembangan ini sayangnya tidak diikuti dengan pemahaman yang penuh tentang variasi perilaku penggunanya.

Masih banyak media planner dan manajer pemasaran yang menggunakan pemilihan segmentasi di media sosial berdasarkan variabel demografi seperti usia, income dan gender.Atau,paling banter seputar pemahaman perbedaan psikografinya, seperti perbedaan lifestyle dan interest/ hobi. Sudah waktunya untuk melihat pengelompokan segmen dalam media sosial bukan saja dari sisi tradisional demografi psikografi tetapi juga dari perilaku/ behaviour penggunanya. Pengelompokan cara ini akan lebih tajam karena setiap segmen menjadi lebih homogen motivasi dan needsserta perilaku lainnya. Media sosial digunakan bukan hanya dikonsumsi atau dinikmati. Sifat ini tentu berbeda dengan mediamedia tradisional di mana audience adalah pihak yang pasif, dan media bisa secara intrusif menyampaikan pesan.

The New York Times pada 2010 menyebutkan media sosial adalah campuran dari alat penyampaian pesan, penguatan jaringan sosial, “microblogging” dan sesuatu yang disebut “presence/kehadiran”. Perubahan perilaku konsumen terhadap media yang digunakannya sudah diprediksi oleh ahli media,Marshall McLuhan, di awal 1960an. Beliau mengatakan bahwa kultur visual dan individualistis dari “cetak” dan “visual” akan digantikan oleh sebuah kultur baru “electronic interdependence”. Media elektronik akan menggantikan kultur visual dengan kultur aura/oral.Masyarakat akan berubah dari individualistis dan terfragmentasi menjadi berkumpul dalam sebuah komunitas “tribal base”.

Organisasi sosial baru ini pada 1964 disebut oleh McLuhan sebagai “global village”. Bagi McLuhan, medium komunikasi merupakan perluasan dari diri sendiri, yang kemudian penjelasan ini semakin konkret dengan menjamurnya media sosial. Di mana, tiap-tiap orang mempunyai medianya sendiri untuk berkomunikasi satu dengan lainnya.

Tipologi Pengguna Media Sosial

Dalam penelitiannya, ETNOMARK Consulting memetakan tipe pengguna media sosial berdasarkan motivasi dan tujuan posting dalam “status update”. Insightsmendalam yang diperoleh dalam studi ini adalah hasil eksplorasi dengan metode netnografi. Netnografi adalah teknik studi etnografi via internet, yang merupakan studi kualitatif kontekstual. Eksplorasi dilakukan melalui ratusan posting dalam Facebook dan Twitter. Hasil studi menjelaskan adanya tujuh tipe pengguna media sosial.

1. The Angels.

Opinion leaders. Senang sharingpengetahuan dan pengalaman. Dosen, pembicara,motivator,ustad,dll. “Sebagai icon dari brand negerinya, William-Kate perlu mempertahankan brand imagenya”

2. The Learners.

Para pembelajar, pengumpul referensi, mencari solusi dari masalah. Mereka juga sering melakukan sharingulang atau Re-tweet/RT. “udah dateeenngg...itu mobil anti peluru, anti roket launcher ga ya?”

3. The Journalists.

Tipe pengguna media sosial terdepan dalam penyampaian berita. Berita singkat, tetapi terus menerus. “Sir Elton John beserta suami sudah datang.. Monggo monggo duduk.. Sir” (@Among Tamu)

4.The Social Networkers.

Selalu ingin memperluas network, termasuk memberikan perhatian dengan sharing (atau RT) opini orang lain. Juga memancing diskusi forum.“Bagaimana pendapat teman-teman tentang busana pengantin Kate?”

5. The “Eksis-Narsis”.

Senang mencari perhatian, harus hadir dalam setiap bahasan,posting dilengkapi foto-foto. Perhatian lebih kepada “ME”atau dunianya sendiri.“Kate, jangan kaget kalau setiap malam nanti Wills manggil? namaku ya”

6. The “Curhaters”.

Tipe yang sangat sering impulsif berkeluh kesah terhadap apa saja yang ditemui dan dialaminya. Kadang kala hanya sebagai tulisan iseng yang tidak penting bagi komunitasnya. “Aku ga mau royal wedding, aku cuma butuh loyal wedding”

7. The Observers.

Passive users, tipe pengamat ini mengikuti posting teman-temannya, ingin mengetahui apa yang terjadi, tetapi jarang respons dan share opini temannya. Hampir tidak ada posting yang ditulisnya. Implikasi dari segmentasi di atas adalah bagi pemilik brand untuk lebih selektif dalam menentukan target audience di media sosial.Pembagian kelompok ini tidak mengisyaratkan perbedaan usia,gender,income bahkan hobi sekalipun. Kelompok ini lebih kontekstual homogen dalam interaksi dengan media sosial.

Branded Posting dan WOM

Hasil penelitian dari ETNOMARKlebih lanjut menjelaskan bahwa dari sekian banyak rangkaian posting di tiap-tiap segmen,ternyata tidak semua mempunyai kecenderungan untuk posting suatu tulisan/update status yang mengandung nama brand(branded posting). Dari ketujuh tipe segmen, hanya empat segmen yang berpotensi sebagai kontributor word-of-mouth (WOM) komunikasi brandmelalui postingan mereka, yaitu The Angels, The Learners, The Journalist, dan The Social Networkers.

Sedangkan, ketiga segmen lainnya, yaitu The Curhaters, The Eksis-Narsis dan The Observers tidak mempunyai sumbangan yang nyata terhadap brand communication antarpengguna media sosial. Sudah saatnya brand berhenti untuk mencari followers sebanyak-banyaknya. Biaya rekrut semakin tinggi. Jika akhirnya komunitas brand dalam media sosial hanya dipenuhi oleh para Curhaters dan Eksis- Narsis, maka hilang kesempatan branduntuk lebih dekat dan berperan dalam kehidupan konsumennya.

Buat strategi untuk menarik perhatian pengguna media sosial yang lebih berperan dalam WOM. Kualitas followerslebih penting daripada kuantitasnya.

AMALIA E. MAULANA, PH.D.
Brand Consultant & Etnografer ETNOMARK Consulting

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/396433/

Achmad Basarah: Pimpinan Nasional Kita Sangat Lemah!

Written By gusdurian on Senin, 06 Juni 2011 | 16.30

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya


RMOL. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda, di bawah pimpinan Wakepri Umar Hadi menggelar pertemuan delegasi MPR RI dengan masyarakat Indonesia di Belanda di Wisma Duta, Wassenaar, Belanda.

Dalam acara yang digelar pada hari Kamis waktu setempat (12/5), Rakyat Merdeka Online berkesempatan berbincang-bincang dengan anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Achmad Basarah, yang hadir sebagai salah seorang anggota delegasi MPR.

Perbincangan berkisar tentang maksud kunjungan delegasi MPR/DPR RI ke Strasbourg (Sidang Parlemen Uni Eropa) dan Belanda (Eerste Kamer) dan situasi poleksosbud Indonesia dibawah pemerintahan SBY-Boediono. Berikut kutipannya.

Dapat Anda jelaskan tentang maksud kunjungan delegasi MPR/DPR ke Belanda dan Strasbourg?

Jika kaitan kunjungan, saya kira, seperti yang telah dijelaskan oleh Pak Lukman Hakim Saifuddin, bahwa beberapa tahun yang lalu itu Presiden Senat Belanda berkunjung ke MPR RI, ke Indonesia, untuk membangun hubungan kerjasama antara parlemen kedua negara. Dan memang mereka pada saat kunjungan itu menyampaikan undangan, agar Pak Taufik Kiemas juga mau mengunjungi parlemen Belanda, khususnya Senat (Eerste Kamer) untuk melakukan kunjungan balasan supaya hubungan parlemen kedua negara ini semakin baik.

Saya kira, Belanda, seperti yang kemarin disampaikan oleh Presiden Eerste Kamer, tetap menganggap Indonesia penting dalam percaturan dunia, khususnya di Asia dan ASEAN, apalagi dengan terpilihnya Indonesia sebagai Ketua ASEAN. Jadi formalnya, kita memenuhi undangan Eerste Kamer Belanda untuk melakukan kunjungan balasan atas undangannya yang disampaikan beberapa waktu yang lalu.

Bagaimana mengenai kunjungan ke Strasbourg?

Di Strasbourg juga sama. Jadi, parlemen Uni Eropa juga sama berkunjung ke MPR/DPR RI. Dan dalam kunjungan itu mereka menyampaikan undangan yang sama . Nah sebetulnya kunjungan balasan dijadwalkan sejak tahun 2010 yang lalu, tetapi karena yang diundang Bapak Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR, cuma karena kesehatan beliau sangat tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh, sehingga akhirnya dia memutuskan, sebenarnya dokter yang memutuskan karena dia tidak boleh bepergian jauh dan Eerste Kamer Belanda dan Parlemen Uni Eropa meminta siapa pun yang datang, yang penting jangan ada penundaan-penundaan lagi, karena ke sana juga atas saran dari KBRI kita di sini. Dan oleh karena itu akhirnya Pak Taufik Kiemas memutuskan tidak jadi berangkat dan mengutus Pak Lukman Hakim Saifuddin dan kami untuk mewakili beliau. Dan kami berangkat dari Indonesia pada hari Sabtu (7/5) dan kami menurut jadwal kami kembali ke Indonesia pada hari Jumat (13/5).

Apa yang ingin dicapai dalam kunjungan ini?

Pertama hubungan bilateral Indonesia-Belanda ingin kita tingkatkan. Sebagai kedua negara yang punya sejarah yang sangat khas, sangat spesifik. Belanda cukup lama menjajah Indonesia dan kita sekarang telah menjadi negara yang masing-masing berdaulat di regionalnya masing-masing. Kita di Asia dan Belanda di Eropa. Kita ingin tetap membina hubungan baik menjadikan bekal hubungan di masa lalu itu sebagai modal untuk membangun hubungan ke depan yang lebih baik. Secara spesifik isu-isu yang dibicarakan pada saat pertemuan dengan Senat Belanda, pertama sekali yang menyangkut tentang masyarakat Indonesia yang ada di Belanda dan juga masyarakat Belanda yang masih punya hubungan sejarah dengan Indonesia.

Yang kedua, kita juga mendapatkan informasi, bahwa bantuan beasiswa bagi pelajar-pelajar Indonesia ke Belanda mengalami penurunan. Sekaitan ini kita tanyakan apa sebab musababnya. Dan kemarin Presiden Senat Belanda menyatakan komitmennya untuk menanyakan kepada pemerintah Belanda dan mendesak untuk meningkatkan bantuan-bantuan beasiswa kepada pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa Indonesia.

Isu lain yang penting tentang batalnya kunjungan Presiden SBY tahun 2010 yang lalu. Kita meminta kepada pemerintah Belanda melalui Senat untuk tidak membiarkan siapapun mengganggu hubungan baik antara Indonesia dan Belanda. Dan oleh karena itu kita meminta kepada Senat Belanda menyampaikan kepada pemerintah Belanda apabila undangan untuk kunjungan Presiden Indonesia ke Belanda akan kita realisasikan kembali , maka hal-hal yang sifatnya dapat mengganggu hubungan kedua negara itu bisa dihindari. Kita menyadari bahwa pemerintah Belanda tidak bisa mencampuri urusan yudikatif, tetapi ada hal-hal yang sebetulnya secara politis itu bisa mereka lakukan untuk tidak membuat kunjungan Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara RI itu mengalami hal-hal yang dapat merugikan citra dan kewibawaan Indonesia sebagai sebuah Negara yang berdaulat.

Kemudian isu lain yang strategis dan saya kira ini menjadi bahagian bangsa-bangsa Eropa, itu tentang perkembangan hubungan antara negara dan Islam di Indonesia. Mereka tanyakan tentang isu NII, maraknya aksi-aksi kekerasan atas nama agama, sampai berita kematian Osama bin Laden dan efeknya terhadap masyarakat Indonesia. Kita tegaskan soal posisi ideologis bangsa Indonesia yang sedang kita sosialisasikan di Indonesia dengan istilah empat pilar itu, pertama, soal Pancasila sebagai ideologi bangsa; kemudian UUD 1945 sebagai Konstitusi kita; NKRI sebagai bentuk negara dan Bhineka Tunggal Ika sebagai sistem budaya kita.

Kita katakan bahwa aksi-aksi kekerasan yang menunjukkan seolah-olah ada persoalan antara Islam dan Negara sebetulnya secara substansi tidak perlu dibesar-besarkan. Karena sebetulnya kalau bicara tentang masalah orientasi umat Islam Indonesia itu mayoritas adalah moderat. Islam mainstream seperti Muhammadiyah, NU dan lainnya itu mereka tidak ada persoalan dengan empat pilar itu. Nah hanya kelompok-kelompok kecil inilah yang seolah-olah mempersoalkan atau ada persoalan antara Islam dengan Negara Pancasila. Oleh karena itu kita juga meminta kepada kalangan media massa terutama untuk memberitakan hal-hal yang sifatnya memperkuat posisi NKRI, bukan justru memperlemah. Itu yang, antara lain, kita jelaskan.

Siapa yang ditemui di Eerste Kamer Belanda dan di Strasbourg?

Kami bertemu dengan Presiden de Eerste Kamer langsung. (Dalam kunjungan ke Eerste Kamer Belanda, delegasi MPR/DPR RI diterima langsung oleh Ketua Senat Van der Linden. Turut serta mendampingi Van der Linden, Wakil Ketua Senat Klaas de Vries, para senator Tiny Kox (Ketua Fraksi SP/Partai Sosialis), Frank van Kappen (VVD) dan Roel Kuiper (ChristenUnie)-red.)

Sedang di Strasbourg kami bertemu secara khusus, kita berdialog dengan Ketua Parlemen Uni Eropa yang membidangi Asia Tenggara. Dalam pembicaraan tersebut, isinya juga sama masih berkisar soal hubungan antara negara Pancasila dengan kelompok-kelompok Islam dan juga implikasinya dengan kematian Osama bin Laden. Kita sampaikan secara tegas, seperti yang kita sampaikan juga di Eerste Kamer Belanda.

Bagaimana menurut Anda, ke mana akan dibawa Indonesia sekarang ini di bawah pemerintah SBY-Boediono?

Rakyat, bangsa dan Negara Indonesia hari ini memang sedang mengalami apa yang disebut dengan istilah transisi demokrasi. Dalam negara yang sedang menjalani transisi demokrasi itu memang selalu saja terjadi benturan-benturan, apakah itu benturan nilai, benturan kepentingan dan lain sebagainya. Nah oleh karena itu pemerintah Indonesia seharusnya punya komitmen yang kuat untuk menjaga apa yang disebut dengan cita-cita negara proklamasi, dengan falsafah dan tujuan negara yang dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 kita.

Oleh karena itu siapapun presidennya, apalagi presiden yang dipilih oleh rakyat secara langsung dengan legitimasi 60 persen suara rakyat. Dan dia memiliki sumpah pada saat dilantik jabatannya untuk setia kepada UUD Negara Republik Indnesia. Setia kepada UUD Negara RI seperti sumpah yang dirumuskan di dalam UUD kita Janji Presiden atau Sumpah Presiden itu berarti dia juga harus setia kepada Negara Pancasila, karena di dalam undang-undang dasar RI itu di pembukaan terdapat Pancasila.

Nah, oleh karena Presiden Republik Indonesia memiliki sumpah untuk setia kepada Pancasila, mustinya dia bawa rakyat, bangsa dan negara Indonesia sesuai dengan tujuan yang dirumuskan dalam alenia keempat: Melindungi bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam upaya melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan segala bangsa, perdamaian abadi, keadilan sosial bagi segala bangsa. Ini seharusnya menurut konstitusional, kita bangsa Indonesia harus dibawa ke situ.

Persoalannya hari ini, Presiden Republik Indonesia berada pada kegamangan politik untuk tetap komitit terhadap sumpahnya untuk setia terhadap UUD 1945 dalam arti sumpah tetap setia terhadap Pancasila dan tujuan dasar bernegara dengan berbagai macam tarikan-tarikan kepentingan. Indonesia ini kan sekarang dalam geopolitik internasional dikepung. Antara kepentingan fundamentalisme pasar dan reaksi kepentingan fundamentalisme agama. Baik fundamentalisme agama, maupun fundamentalisme pasar, menurut saya, mengganggu ekstisensi negara proklamasi. Karena fundamentalisme pasar itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar kita bernegara, terutama sila keadilan sosial Indonesia, di mana negara punya kewajiban untuk mengatur yang menyangkut hak-hak hidup, hajat hidup orang banyak rakyat Indonesia, sementara fundamentalisme pasar ini menyerahkan nasib rakyat kepada pasar. Sisi lain reaksi fundamentalisme agama ini mengganggu eksistensi Negara Pancasila, karena ingin merubah dari dasar negara nasional menjadi negara agama.

Nah ini dua-duanya berkembang sangat pesat di Indonesia. Kelompok fundamentalisme pasar masuk melalui berbagai cara, yang kemudian mempengaruhi kebijkan-kebijakan negara lewat peraturan perundang-undangan, kita tahu banyak peraturan perundang-undangan yang sudah banyak berorientasi pasar. Kemudian kelompok fundamentalisme agama secara ekstrim bermain di luar mekanisme demokrasi, yaitu melalui kelompok-kelompok penekan, baik yang sifatnya soft, sampai yang ekstrem melalui terorisme. Tetapi dua-duanya punya tujuan yang sama, yaitu mau merubah jati diri bangsa Indonesia sebagai Negara Pancasila.

Dan oleh karena itu Presiden RI harusnya mengambil garis embarkasi yang tegas. Dia menolak fundamentalisme pasar dan dia juga jangan memberikan angin kepada fundamentalisme agama. Nah karena tidak ada ketegasan ini, maka kemudian berbagai peristiwa yang berlatar belakang kekerasan agama sampai dengan isu adanya Negara Islam Indonesia (NII) hendaknya itu ditindak tegas oleh Presiden. Begitu juga untuk menghadapi fundamentalisme pasar, Presiden harus mempunyai konsep yang jelas untuk membangun ekonomi kita, ekonomi nasional yang tetap berprinsip pada pasal 33 UUD 1945, bahwa bumi, laut dan kekayaan alam lainnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Permasalahannya SBY ini kan sudah 7 tahun bekuasa dalam periode kepresidenannya yang pertama (2004-2009) dan sekarang ini pemeritahan SBY telah sekitar dua tahun berjalan, tapi kesejahteraan rakyat masih sangat jauh dari harapan...

Itu yang dari segi kalkulasi politik, saya sebagai anggota parlemen dan juga sebagai politisi tidak bisa memahami. Kenapa saya katakan tidak bisa memahami , mestinya ini kan periode terakhir bagi Presiden SBY di mana pada pemilu presiden untuk periode yang akan datang, sesuai dengan konstitusi , Pak SBY sudah tidak bisa mencalonkan lagi. Mestinya, di periode terakhir ini dia harus menorehkan tinta emas bagi meletakkan kembali prinsip-prinsip dasar membangun Negara Indonesia sesuai dengan cita-cita Proklamasi.

Kalau pada periode pertama barangkali dia harus menghitung popularitas dan sebagainya dia akan maju lagi pada periode berikutnya. Dan hal ini sudah terjadi . Dia sudah menang untuk kedua kalinya. Seharusnya di periode yang kedua ini, karena dia sudah tidak ada kepentingan lagi untuk maju di periode pemilu tahun 2014, mestinya hal-hal yang sekedar untuk membangun pencitraan dan lain sebaginya itu harus dia tinggalkan. Hari ini harusnya dia berfikir bagaimana seluruh fikiran, tenaga, enerji dan orientasi tujuan pemerintahan yang dia pimpin itu kembali pada cita-cita Poklamasi. Nah sampai hari ini kita belum melihat ada upaya dari Presiden SBY untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan amanat yang diembannya melalui pemilu presiden tahun 2009 kemarin untuk sungguh-sungguh menuaikan janji dan sumpahnya, yaitu setia kepada Pancasila dan UU 1945.

Kalau kita lihat dari segi ekonomi, ekonomi Indonesia sekarang ini sangat tergantung sekali dari kepentingan kaum kapitalis besar asing ...

Ini kan blueprint pada saat Bung Karno dijatuhkan dulu dan dibukanya penanaman modal asing sebesar-besarnya di Indonesia. Ini kan membuktikan ramalan Bung Karno bahwa akan terjadi sebuah penjajahan dalam bentuk baru atau yang diistilahkan neoimperialisme kan memang terbukti. Blueprint Orde Baru sampai dengan era reformasi ini masih blueprint-nya kapitalisme, yang oleh Bung Karno sudah diramalkan jauh-jauh hari. Satu hari akan terjadi penjajahan dalam bentuk baru yang dia sebut dengan neoimperialisme. Bahasa gaulnya sekarang neolib, yang masuk melalui kebijakan-kebijakan ekonomi, kebijakan perundang-undangan di bidang ekonomi, yang akhirnya sistem ekonomi kita berpihak kepada kepentingan kapitalisme global sekarang ini.

Sekarang ini sudah sering kita dengar istilah bahwa Indonesia sekarang ini sudah menjadi bangsa kuli. Bagaimana pandangan Anda?

Ini kan situasi yang sebetulnya tidak perlu terjadi, kalau pasal 33 UUD 1945 itu dijalankan dengan sungguh-sungguh. Kekayaan bangsa Indonesia yang begitu melimpah baik di darat, di laut dan bahkan di udara itu ternyata tidak bisa dikelola sedemikian rupa untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hingga kemudian potensi sumber daya alam Indonesia hari ini kan menjadi ekspoitasi bangsa asing. Batu bara kita dijarah, minyak kita dijarah dan lain sebagainya. Dan kemudian karena kita secara ekonomi dijajah secara halus melalui berbagai kebijakan dan perjanjian-perjanjian internasional, sehingga akhirnya prinsip-prinsip negara untuk menyejahterakan rakyatnya ini kan terhindarkan. Oleh karena itu kan akhirnya, pengangguran terjadi demikian besar, sehingga negara tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan, padahal hal ini kan merupakan janji negara Indonesia di dalam konstitusi, sehingga akhirnya kemudian rakyat Indonesia eksodus untuk mencari pekerjaan dan sumber penghidupan yang layak.

Dan pemerintah Indonesia pun tidak berdaya terhadap situasi semacam ini, sehingga akhirnya tuntutan untuk mengekspor tenaga kerja Indonesia akhirnya dilakukan dan itu kan secara sistemik dilakukan melalui Kementerian Tenaga Kerja yang sekarang melalui Badan Nasional Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), mengekspor tenaga kerja Indonesia tanpa skill. Akhirnya kemudain tenaga-tenaga kerja kita yang diekspor ke luar negeri tanpa skill itu, kemudian jadi kuli dan bahkan jadi budak di Negara lain, kemudian kita sering mendengar nasib mereka terancam, baik keselamatan, maupun hak-hak dasarnya sebagai manusia. Dan ini tentu saja membuat citra Indonesia di dunia internasional akhirnya menjadikan pandangan dunia bahwa Indonesia memang negara yang mengekspor tenaga-tenaga tanpa skill, yang kemudian ada istilah Indonesia menjadi bangsa kuli itu tadi.

Bagaimana menurut Anda, biaya pendidikan di Indonesia kok sangat mahal, sehingga rakyat kecil tidak mampu menyekolahkan atau memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anaknya?

Kembali kepada yang saya katakan itu tadi, bahwa sistem Negara Indonesia, apakah itu sistem ekonomi, sistem politik, termasuk di dalamnya sistem pendidikan ini sudah berorientasi kepada sistem ekonomi pasar.

Demokrasi kita sudah bergeser dari sosio-demokrasi , sosio-nasionalisme dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang diajarkan oleh Bung Karno, yang dirumuskan dalam pidatonya 1 Juni 1945 sudah menjadi demokrasi liberal. Padahal ketika Bung Karno pidato pada tanggal 1 Juni 1945 itu sudah jelas, bahwa kita tidak hendak membangun demokrasi liberal, bahkan disebut contoh-contoh negaranya. Demokrasi kita itu adalah demokrasi musyawarah, demokrasi mufakat. Sekarang ini demokrasi kita adalah demokrasi free fight liberalism. Semua orang bertempur dengan kepentingan-kepentingan dengan dukungan modal untuk mendapatkan suara rakyat. The winner take all. Itu adalah demokrasi liberal. Jadi pendidikan kita juga berorientasi begitu. Pendidikan kita diserahkan kepada mekanisme pasar. Padahal janji negara di dalam alenia keempat UUD 1945 jelas sekali untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kemudian pilar keempat Bhineka Tunggal Ika, pluralisme di Indonesia. Dalam prakteknya sekarang ini kita melihat dengan adanya gerakan-gerakan fundamentalisme yang seperti Anda kemukakan, maka kemudian, antara lain, berbagai peristiwa yang berlatar belakang kekerasan agama sampai dengan isu adanya Negara Islam Indonesia (NII) terjadi dan ini jelas membahayakan pilar keempat tersebut. Komentar Anda?

Para pendiri Republik ini telah merumuskan dasar negara dan konstitusi negara. Dirumuskanlah dasar negara kita Pancasila. Bung Karno pada saat menyampaikan pidato 1 Juni 1945 sila yang ditawarkan pertama kali adalah persatuan. Kenapa persatuan Indonesia , karena wilayah Indonesia yang begitu besar, suku, bahasa, etnik, agama dan sebagainya yang begitu plural ini harus diikat dengan sebuah ikatan yang namanya persatuan nasional. Ini embrionya sudah muncul sejak zaman pergerakan Budi Oetomo, Supah Pemuda dan Bung Karno merumuskan itu dengan baik. Kedua, founding father merumuskan bentuk negara sebagain negara kesatuan. Karena di dalam negara kesatuan itulah suku-suku bangsa, agama dan segala macam sub-sub suku ini hidup dalam taman sarinya nasionalisme Indonesia.

Lalu kemudian, aturan main dasarnya diikat oleh sebuah konstitusi yang di dalamnya ada Pancasila, bentuk negara dan sebagainya. Nah kemudian yang terakhir Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang ada di burung Garuda. Apa maknanya? Maknanya adalah bahwa untuk menjaga kebhinekaan dalam rangka satu tujuan itu pertama negara harus kuat. Oleh karena itulah digunakan sistem presidensial. Maksudnya negara kuat itu apa? Ya dalam rangka negara dapat menunaikan janjinya untuk melindungi bangsa dan segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Artinya apa? Kalau negara ini lemah, atau secara lebih khusus pemerintah ini lemah, atau lebih spesifik lagi presidennya lemah, maka dia tidak bisa mengawal Negara Republik Indonesia yang begitu besar, begitu besar, begitu kompleks berbagai macam permasalahannya. Jadi persoalan-persoalan yang mencuat tadi - isu separatisme, konflik agama, terorisme dan segala macam itu, kunci utama adalah karena pimpinan nasional kita pada saat sekarang ini sangat lemah. [yan]

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=27272

Merumuskan Ulang Jaminan Sosial (Tinjauan Buku)

Vladimir Rys, Merumuskan Ulang Jaminan Sosial: Kembali ke Prinsip-prinsip Dasar, Penerjemah: Dewi Wulandari, Editor: Wendratama, Cetakan 1 — Jakarta: Pustaka Alvabet, April 2011, 208 halaman.
Di tengah-tengah langkanya literatur berbahasa Indonesia yang membahas soal jaminan sosial, buku karya Vladimir Rys yang aslinya bertitel Reinventing Social Security Worldwide: Back to Essentials ini patut kita sambut dan beri apresiasi. Apalagi, saat ini banyak pihak tengah memusatkan perhatian pada pembahasan Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) di gedung parlemen.

Buku yang penerbitannya didukung oleh PT Jamsostek ini diawali kata pengantar oleh Hotbonar Sinaga, Direktur Utama PT Jamsostek, yang mengupas praktek jaminan sosial di Indonesia. Menurut Hotbonar, dalam bentuknya yang masih sangat awal, jaminan sosial, terutama kesehatan, sudah diterapkan sejak jaman kolonial. Ia juga sekilas memaparkan lintasan sejarah program jaminan sosial, semenjak pasca Indonesia merdeka hingga diundangkannya UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional atau lebih dikenal dengan UU SJSN (halaman x).

“UU SJSN mencakup jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Melihat cakupan program jaminan sosial di dalamnya, undang-undang ini bisa dikatakan nyaris sempurna,” kata Hotbonar. Namun demikian, ujarnya lebih lanjut, lantaran idealisme seperti itu pula yang membuat sebagian ahli menganggap SJSN proyek yang terlalu ambisius yang mungkin belum mampu dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.

Hotbonar kemudian menebalkan sinyalemen di atas, bahwa hingga saat ini pemerintah belum berhasil membentuk dewan pelaksana SJSN yang diamanatkan oleh UU Nomor 40 tahun 2004, sehingga SJSN ini belum bisa dilaksanakan. Kendati ia merujuk bahwa tanpa adanya pelaksanaan SJSN ini pun program-program jaminan sosial sudah berjalan, sebagian bahkan berjalan dengan cukup baik dengan cakupan yang sangat besar, seperti halnya Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).

Tentang nilai berharga buku yang sedang kita tinjau ini, Carmelo Mesa-Lago, Profesor Emiritus Ekonomi Universitas Pittsburgh Amerika Serikat mengatakan bahwa buku ini akan selalu bermanfaat karena membahas hal-hal dan perangkat analitis yang bersejarah yang telah mampu melewati perjalanan waktu. Dikatakan pula, buku ini sangat berguna bagi para pembuat kebijakan, staf organisasi keuangan dan sosial baik internasional maupun regional, begitu juga bagi para peneliti, dosen, mahasiswa, profesional, dan pengelola jaminan sosial (halaman 9).

Selanjutnya, kata Carmelo Mesa-Lago, “Buku ini bisa menjadi buku pelajaran yang luar biasa untuk berbagai kursus kesejahteraan sosial dan sebagai buku tambahan dalam mata pelajaran ekonomi, sosiologi, ilmu politik, dan sejarah yang berkaitan dengan kebijakan sosial, pembangunan, serta tema-tema sejenis. Saya berharap Rys senantiasa dapat mengilhami generasi ahli jaminan sosial di masa mendatang.”

Sebelum kita mengupas buku ini, ada baiknya kita mengenal sedikit mengenai apa dan siapa Vladimir Rys. Rys lahir pada 1928 di negara yang dulu dikenal sebagai Cekoslovakia. Pasca kudeta komunis tahun 1948, ia menghentikan kuliahnya di Charles University, Praha, lalu pindah ke Inggris. Setelah bekerja beberapa waktu, ia mendapat beasiswa untuk belajar sosiologi di London School of Economics and Political Science (LSE).

Selanjutnya Rys melanjutkan studi doktoralnya di Sorbonne, menulis disertasi yang membandingkan jaminan sosial di Perancis dan Inggris. Kembali ke LSE, ia bekerja sebagai asisten peneliti senior untuk Profesor R.M. Titmuss.

Pada 1960, Rys menjadi pegawai pada International Social Security Association (ISSA) di Jenewa, Swis. Ia bertanggungjawab atas kegiatan riset dan dokumentasi pada lembaga dunia di bidang administrasi jaminan sosial ini. Pada 1975, Rys diangkat menjadi Sekretaris Jenderal ISSA.

Setelah pensiun pada 1990, Rys kembali terjun ke dunia akademis dalam suatu studi sosiologis yang terutama diperuntukkan bagi perbaikan jaminan sosial di Eropa Tengah. Ia tetap meneliti. Saat ini, fokus penelitiaannya tertuju pada masalah jaminan sosial di tingkat global.

Bagi pembaca yang ingin mengetahui hasil kajian Vladimir Rys mengenai perbaikan jaminan sosial di Eropa Tengah, silakan download: Social Security Developments in Central Europe: A Return to Reality.

***


Buku Merumuskan Ulang Jaminan Sosial: Kembali ke Prinsip-prinsip Dasar ini merupakan rangkuman dari berbagai topik penting menyangkut jaminan sosial yang disusun dengan baik sekali, sebuah tinjauan yang bermanfaat, informasi terbaru tentang andil terdahulu dari penulis terhadap penggunaan analisis makro-sosiologis pada jaminan sosial, dan usulan untuk merumuskan kembali jaminan sosial guna menyelamatkan jaminan tersebut.

Tesis utama Rys dalam buku ini adalah “melestarikan asuransi sosial sebagai dasar teknik jaminan sosial, yang disusun menurut bentuk aslinya sebagai sebuah kontrak antara indivudu dan masyarakat” (halaman 14).

“Mengingat aturan perekonomian yang berlaku, penting sekali untuk mempertahankan asuransi sosial sebagai teknik jaminan sosial dasar, yang disusun menurut bentuk aslinya sebagai sebuah kontrak antara individu dan masyarakat, juga agar dapat benar-benar menjamin kondisi kehidupan minimum bagi setiap orang. Negara harus terus menyediakan kerangka kerja dasar bagi asuransi sosial wajib yang membutuhkan partisipasi keuangan dari seluruh warganya dalam sebah skema, yang dapat melindungi mereka dari konsekuensi terjadinya resiko sosial yang besar. Berdasarkan pengalaman yang baru saja terjadi, sangat tidak bertanggungjawab untuk menyerahkan tugas itu kepada pengaturan pribadi. Hanya tunjangan-tunjangan tambahan yang menjamin kelangsungan taraf hidup yang diinginkan saja yang harus diserahkan sepenuhnya pada usaha setiap individu,” tandas Rys.

Rys juga berpendapat bahwa tujuan-tujuan awal jaminan sosial tidak lagi memiliki kelayakan finansial, mengingat pertumbuhan perekonomian yang lebih rendah di negara-negara industri, penduduk yang semakin tua, dan jatuh temponya skema pensiun yang semakin menambah biaya hingga ke tingkat yang tidak dapat ditoleransi lagi.

Oleh karena itu, sambung Rys, perlunya”merumuskan kembali” asuransi sosial untuk menjamin diperolehnya tunjangan paling minimum bagi semua penduduk, mengurangi fungsi redistribusinya, dan memastikan transparansinya agar setiap orang dapat menilai tunjangan-biaya dari partisipasi mereka, bergantung kepada prinsip hak sosial, dan berpulang kepada setiap individu serta sektor swasta (berdasarkan peraturan negara) menyangkut ketentuan tunjangan tambahan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang diinginkan.

Buku ini dibagi dalam tiga bagian. Terdiri dalam 7 Bab, dengan Sub-Bab mencapai 29 item. Rys memulai bahasannya di Bagian Satu yang berkaitan dengan perkembangan jaminan sosial di dunia. Antara lain ia menulis tentang Sejarah Singkat Jaminan Sosial, Hal-hal Penting dalam Perlindungan Sosial di Masyarakat, Masalah Integrasi Kebijakan Sosial dan Ekonomi, dan Perbandingan-perbandingan Jaminan Sosial.

Bagian Kedua mengulas metodologi untuk memahami jaminan sosial dalam lingkup kemasyarakatan. Sementara pada Bagian Tiga dijelaskan cara-cara menyesuaikan jaminan sosial dengan lingkungan masyarakat yang baru, terutama di tengah krisis perekonomian global, dan dalam mengupayakan kesinambungan finasial jangka panjang.

Rys mengakhiri pembahasan buku ini dengan sebuah “Refleksi Akhir” yang cukup menawan. Menurut Rys, sejarah jaminan sosial terhubung langsung dengan dengan gagasan keadilan sosial. Sebagian prinsip asuransi sosial menarik bagi kepentingan diri seseorang, yang memberi jaminan akan akses mendapatkan keuntungan yang biasanya tidak bisa diperoleh melalui cara-cara pribadi, dan juga bagi solidaritas mereka dan rasa hormat terhadap manusia lain.

Dikatakan pula, sebagian besar konflik di dunia yang kacau sekarang ini berawal dari keraguan tentang martabat manusia yang dihina, dengan tidak adanya peraturan dan norma-norma bersikap yang diterima secara umum. “Menghormati integritas seseorang dan martabat manusia memberi andil bagi pemeliharaan kedamaian sosial di dalam suatu bangsa, begitu juga pencarian tanpa henti untuk mendapatkan keadilan sosial dan cara-cara demokratis dalam mengatur masyarakat.” ujar Rys.

Saya sudahi tinjauan buku kali ini yang cukup panjang. Namun sebelum itu, ada baiknya kita simak ungkapan Pierre Laraque, pendiri sistem jaminan sosial Perancis, yang dikutip Rys di akhir bukunya (halaman 179) sebagai berikut, “Di dalam diri setiap manusia ada kebutuhan untuk memiliki rasa aman. Di seluruh penjuru dunia, di setiap saat, di segala peradaban dan budaya, orang takut menghadapi ketidakpastian akan hari esok. Jika bagi sebagian orang ketidakpastian seperti itu adalah tantangan yang menggairahkan, bagi sebagian besar lelaki dan perempuan hal itu merupakan sumber kekhawatiran yang melumpuhkan.”

*****



--
Dwiki Setiyawan
http://dwikisetiyawan.wordpress.com/

Plus-Minus Pembentukan KPK Daerah

Un d a n g - U n d a n g Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa salah satu pertimbangan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena lembaga pemerintah yang menangani perkara korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien.


Padahal kejahatan korupsi telah sangat merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Kelemahan lain dari institusi yang menangani korupsi selama ini adalah rendahnya kepercayaan publik terhadap kemampuan dan independensi lembaga seperti kejaksaan dan kepolisian. Diakui bahwa baik dalam soal independensi maupun dalam hal meraih kepercayaan publik, KPK mungkin berada pada urutan teratas dibandingkan dengan lembaga penegak hukum lainnya. Ada yang menarik dengan langkah KPK yang akan “membuka cabang” di daerah. KPK berencana membuka cabang di tujuh daerah.

Ketujuh daerah itu adalah Surabaya (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara), Palembang (Sumatera Selatan), Semarang (Jawa Tengah), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Makassar (Sulawesi Selatan),dan Jayapura (Papua). Salah satu tujuannya adalah untuk memperkuat KPK. Pertanyaan mendasar dari rencana ini apakah membuka KPK di daerah akan memperkuat KPK atau justru akan memperlemah lembaga yang selama ini telah berada pada posisi yang kuat baik secara kelembagaan maupun dari aspek kepercayaan masyarakat?

Alasan Pembentukan KPK Daerah

Ada beberapa alasan mengapa direncanakan pembentukan KPK di daerah. Tinggi dan rentannya korupsi di daerah menjadi salah satu alasan pembentukan KPK daerah. Selama ini KPK hanya ada di Jakarta.Akibatnya, selain terjadi penumpukan perkara di Jakarta, sulit pula bagi pihakpihak yang beperkara untuk beracara di Ibu Kota.Pembentukan KPK di daerah akan mengurangi beban kerja “KPK pusat”karena perkara-perkara korupsi dapat didistribusikan kepada “KPK daerah.” Namun, ada beberapa sisi yang mesti diantisipasi agar pembentukan KPK di daerah tidak justru melemahkannya.

Dalam laporan tahunan KPK 2010 diungkapkan bahwa tantangan berat KPK adalah ekspektasi publik yang begitu tinggi. Harapan demi harapan untuk mengungkap kasus-kasus yang menjadi perhatian publik. Padahal di sisi lain secara kuantitas KPK memiliki kekuatan yang terbatas. Selama ini memang salah satu kekuatan KPK adalah pada kemampuan mengungkap kasus-kasus korupsi secara cukup profesional dan kemudian memproses tindak pidana itu dan melahirkan terpidana. Hal ini yang sering tak ditemukan pada institusi penegak hukum lainnya. Repot memang apabila ketidakpercayaan publik sudah sangat tinggi terhadap aparat hukum di daerah.

Apabila akan dibentuk KPK di daerah,harus diantisipasi bahwa nasib KPK di daerah ini nanti tidak sama saja dengan lembaga kepolisian dan kejaksaan level daerah yang selama ini memiliki kewenangan dalam bidang tindak pidana korupsi, tetapi kurang mendapat kepercayaan dari masyarakat. Itu sebabnya harus diperhatikan benar di mana KPK daerah itu urgent untuk dibentuk,apa yang menjadi kewenangan KPK daerah, bagaimana pola rekrutmen sumber daya manusianya. Pemilihan wilayah di mana KPK akan dibentuk harus atas dasar pertimbangan yang hatihati. Bukan sekadar atas dasar banyaknya pengaduan dari masyarakat.

Harus juga diwaspadai ada sebagian kelompok masyarakatyang “ringantangan” untukmelaporkanoranglaintanpa ia tahu kejadian yang sesungguhnya. Apalagi jika pengaduan itu atas dasar sakit hati,dendam, atau terkait dengan politik. Malah ada juga pengaduan itu dengan tujuan pemerasan. Atas dasar motif ekonomi semata. Beberapa abdi negara di daerah dibikin repot hanya atas dasar pengaduan yang tidak berdasar dengan implikasi kerepotan yang luar biasa untuk mengklarifikasi pengaduan itu. Apa yang menjadi kewenangan KPK daerah patut juga dikaji secara hati-hati.Apakah KPK daerah hanya berwenang menerima pengaduan tanpa ada kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan? Jika ini yang terjadi,fungsi KPK daerah tidak lebih sekadar “loket pengaduan”.

Padahal selama ini masyarakat lancarlancar saja mengadu ke KPK. Alternatif lain, apakah KPK daerah memiliki kewenangan sama persis dengan KPK pusat. Hanya wilayah tugasnya yang berbeda.Kewenangan itu disertai dengan ketiadaan wewenang KPK pusat untuk melakukan intervensi terhadap kasus-kasus yang ditangani KPK daerah. Jangan sampai KPK daerah menjadi bawahan KPK pusat dengan berbagai implikasinya.

Menjaga Kekuatan KPK

Selama ini kekuatan KPK tumbuh justru karena KPK itu bersifat tunggal. Sulit bagi mereka yang bersalah di daerah untuk melakukan berbagai manuver di KPK pusat. Senyatanya, selama ini untuk level daerah mereka mampu melakukan berbagai manuver. Lemahnya penegakan hukum di daerah antara lain karena ada interaksi antara mereka yang bermasalah dan aparat hukum. Walaupun terkadang interaksi itu justru diperlukan untuk mengklarifikasi hal-hal yang bersifat fitnah. Tapi, tidak jarang ada link kekuasaan dan pendanaan menjadikan kasus-kasus korupsi di daerah terhenti.Kekhawatiran saya,kehadiran KPK di daerah menjadikannya “sama saja” dengan aparat hukum di daerah yang telah ada selama ini.

Dalam pemikiran saya, kehadiran KPK itu hanya bersifat sementara. Tidak permanen. KPK hadir sebagai lembaga alternatif yang akan memicu cara kerja aparat kepolisian dan kejaksaan yang dinilai lemah dalam memberantas korupsi. Negara telah membentuk secara rapi dan permanen lembaga kepolisian dan kejaksaan dengan berbagai perangkatnya sampai ke tingkat daerah. Kewibawaan KPK justru karena “jumlahnya hanya satu, tunggal” di Jakarta dengan berbagai sisi positifnya. Termasuk tertutupnya kesempatan orang-orang bermasalah di daerah untuk berinteraksi, berkomunikasi, atau bentukbentuk kesepakatan lain yang biasanya dengan mudah dilakukan di daerah. Kekhawatiran saya, pembentukan KPK di daerah justru akan memperlemah KPK, bukan memperkuat sebagaimana yang menjadi tujuan pembentukannya.

Bukan itu saja,pembentukan KPK di daerah juga mengaburkan kewenangan para jaksa dan polisi di daerah untuk mengurusi soal korupsi. Sangat mungkin akan memunculkan persaingan antarlembaga penegak hukum di tingkat daerah. Meski demikian, jika KPK telah berketetapan hati membentuk KPK daerah,harus secara sangat selektif. Harus ada jaminan kualitas KPK daerah sama persis dengan KPK di pusat. Jika tidak, jangan heran jika kepercayaan dan pengharapan publik akan berkurang. Jangan sampai pembentukan KPK di daerah justru akan melemahkan KPK.●

PROF AMZULIAN RIFAI PHD
Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/399648/

Nasionalisme Baru Generasi

Secara sosiologis, parameter identitas nasional suatu bangsa di samping mempunyai nilai konkret berupa budaya dan keragaman suku bangsanya, juga mempunyai roh persatuan dalam berbahasa dan kondisi geografis yang merupakan identitas yang bersifat alamiah.

Identitas kebangsaan dapat pula diartikan sebagai identitas yang memiliki kesatuan geografis dengan masyarakat yang plural dan selalu terikat satu sama lain. Hal menciptakan karakter bangsa, tradisi, dan kesadaran politik yang tumbuh dari tantangan yang sama yang memiliki ciri yang khas yang membedakan dengan bangsa lainnya. Inilah yang seharusnya menjadi kebanggaan bagi generasi muda saat ini. Identitas kebangsaan merupakan sesuatu yang terbuka untuk diberi makna baru agar tetap relevan dan fungsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat.

Namun, makna baru tersebut harus tidak boleh keluar dari prinsip yang telah kita anut seperti ideologi Pancasila, UUD 1945,NKRI,dan Bhineka Tunggal Ika. Melihat perkembangan situasi yang melanda seluruh kawasan Tanah Air akhir-akhir ini, tampak sangat jelas telah terjadi pergeseran makna dan perubahan-perubahan terhadap kesadaran kebangsaan yang kita anut selama ini.Tidak terkecuali terhadap generasi muda Indonesia. Di satu sisi, kerja sama antarwarga masyarakat terus meningkat.Tetapi di sisi lain terdapat kecenderungan paham- paham baru dengan berbagai bentuk dan pola ingin terus memengaruhi dan menguasai pola pikir generasi muda.

Menghadapi fenomena seperti ini tentu saja mengusik kita untuk menanyakan apakah generasi muda Indonesia memiliki ketahanan nasional yang kuat atau kita perlu memikirkan dan menelaah kembali nasionalisme yang telah lahir dari sejarah panjang perjuangan bangsa dan dibangun dengan susah payah oleh para pendiri republik ini. Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana membangun nasionalisme baru di tengah semakin menurunnya kesadaran kebangsaan di kalangan generasi muda dewasa ini.

Faktor Penghambat

Setelah negara berdiri, nasionalisme seharusnya menjadi kekuatan sosial dan masih tetap berfungsi dalam pembangunan negara dan karakter bangsa. Sementara dalam praktik selama ini terbatas pada retorika dan ketentuan formal sehingga penerapannya banyak melenceng dari sasaran. Faktor penghambat utama tumbuhnya nasionalisme adalah masalah keadilan sosial yang belum tercapai.Apabila masalah keadilan sosial tersebut dilihat secara kasatmata, itu sudah cukup memberi contoh tentang bagaimana cara mengurus dan mengisi kemerdekaan yang salah kepada generasi muda.

Tentu saja hal tersebut pada akhirnya akan memperlemah nasionalisme generasi muda, sehingga nasionalisme yang telah membawa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan tampaknya tinggal kerangka sejarah yang tidak mampu lagi menyentuh kehidupan berbangsa dan bernegara karena eksistensinya tidak dapat menyelesaikan setiap masalah yang timbul. Faktor penghambat lainnya yang dapat menjadi tantangan terhadap nasionalisme bangsa adalah adanya keinginan mendirikan negara agama, serta ada pemimpin yang tidak dapat memimpin.

Selain itu, ada isu-isu demokratisasi, HAM, lingkungan hidup,liberalisme, dan universalisme yang telah menembus dan merasuki cara pandang dan cara berpikir pragmatis generasi muda Indonesia. Kondisi demikian bukan hanya meminggirkan Pancasila sebagai ideologi negara,tetapi juga UUD 1945,NKRI,dan Bhineka Tunggal Ika yang telah menjadi konsensus nasional yang kita anut.Tetapi juga bisa menghadirkan sistem nilai dan idealisme baru yang dianggap sesuai tantangan dan kebutuhan zaman serta lebih mampu memenuhi setiap aspirasi generasi muda. Itulah sebenarnya yang menjadi kekhawatiran kita bersama saat ini.

Dengan kondisi demikian, bisa saja solidaritas agama menggeser kesetiaan nasional. Universalisme ideologi agama menggeser nasionalisme dan pada akhirnya menghilangkan identitas nasional. Di sinilah pentingnya kita mempertahankan kesatuan ideologi dalam berperilaku,bertindak dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Membangun spirit cinta Tanah Air dengan tujuan membangun generasi yang berbudaya unggul, bangga berbangsa, dan berbahasa Indonesia pada saat ini menjadi masalah pokok dan penting. Terutama dalam membentuk karakter bagi generasi muda Indonesia yang memiliki daya tahan dalam menghadapi dinamika perubahan tersebut.

Nasionalisme Baru

Patriotisme bagi generasi muda harus terus ditingkatkan, yaitu ada suatu generasi yang berpikir integralistik dalam hubungan kesatuan dan keutuhan wilayah dengan semangat otonomi daerah, berbudaya unggul, berpikir rasional, kritis, inovatif, terbuka, dan dinamis yang didasari semangat kepentingan nasional.

Hal itu diperlukan untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial yang sesuai cita-cita dan tujuan nasional. Dalam konsep nasionalisme baru diyakini generasi muda sebagai bagian elemen bangsa akan mendapatkan atau menikmati apa yang menjadi jati dirinya sesuai keadilan dan harkat martabat mereka sebagai generasi muda Indonesia. Setiap keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif yang dimiliki harus dikelola dengan baik sehingga menjadi kekuatan yang dapat mendorong bagi kemajuan bangsa.

Kebijakan apa pun yang menyangkut pembangunan karakter generasi muda harus menyentuh segala bidang yang dapat memberdayakan dan meletakkan generasi muda agar dapat diarahkan untuk mempertebal semangat kebangsaan dan nasionalisme Apabila kekuatan sosial dan kelebihan alamiah ini tidak dikelola dengan baik akan berdampak sangat besar dan dahsyat bagi bangsa. Karena itu, tugas mempersiapkan generasi penerus bangsa dengan mendidik generasi muda dengan nasionalisme baru adalah sangat penting, karena memang mereka bakal hidup bukan pada zaman kita.

Sebetulnya generasi muda Indonesia telah memiliki kesatuan tekad untuk membangun masa depan bersama yang akan mengurus terwujudnya aspirasi dan kepentingan bersama secara adil. Tinggal sekarang bagaimana kita mengatalisasi kemajuan pembangunan oleh generasi muda tersebut.●

RASYID SALIMAN
Dosen ABFII Perbanas Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/400227/

Menjernihkan Tafsir Pancasila

“Kembalikan Pancasila dalam Kurikulum”

Dr. Adian Husaini


HARIAN Republika, Rabu (11/5) menurunkan berita berjudul: “Kembalikan Pancasila dalam Kurikulum”. Berita itu mengungkap pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mempertanyakan mengapa Pendidikan Pancasila hilang di kurikulum pendidikan. Kata Aburizal, Pancasila tidak boleh dikerdilkan dengan hanya menjadi bagian dari pendidikan kewarganegaraan.

“Sikap Partai Golkar jelas, kembalikan materi pendidikan Pancasila menjadi bagian dari kurikulum pendidikan secara khusus, karena materinya harus diajarkan secara tersendiri,” kata Aburizal Bakrie.

Menurut Aburizal Bakrie, penghapusan pendidikan Pancasila adalah sebuah upaya memotong anak bangsa ini dari akar budayanya sendiri. Pancasila adalah pintu gerbang masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong, budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan, dan toleransi beragama.

Demikian seruan Partai Golkar tentang Pancasila sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umumnya. Akhir-akhir ini kita sering mendengar seruan berbagai pihak tentang Pancasila. Tentu saja, ini bukan hal baru. Berbagai seminar, diskusi, dan konferensi telah digelar untuk mengangkat kembali “nasib Pancasila” yang terpuruk, bersama dengan berakhirnya rezim Orde Baru, yang sangat rajin mengucapkan Pancasila.

Partai Golkar atau siapa pun yang menginginkan diterapkannya di Pancasila, seyogyanya bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.

Contoh terkenal dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang sempat berpengaruh besar dalam penataan kebijakan politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru. Mayjen TNI (Purn) Ali Moertopo yang pernah menjadi asisten khusus Presiden Soeharto merumuskan Pancasila sebagai “Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah agama. “Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh negara, maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau melarang siapa saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja.”

Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang masalah ini:

“Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan bahwa Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); atau bahwa Tuhan berjumlah banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila. Pun pula jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila.” (J.B. Soedarmanta, Pater Beek S.J., Larut tetapi Tidak Hanyut).

Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Drs. R.M. S.S. Mardanus S.Hn., dalam bukunya, "Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila", (1968), menulis: “Begitu pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan tidak sekaligus harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan, yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu agama, karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan.”

Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya, "Ketuhanan di Indonesia" (Semarang, 1968), menulis: “Apakah orang yang tidak beragama harus dipandang ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit yang percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu.” (Dikutip dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, (Semarang: Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35).

Padahal, jika dicermati dengan jujur, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo, menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125.)

Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

Sebenarnya, sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot dalam mempertahankan rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. Ia, misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Tapi, karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar “Ketuhanan”, sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk akal dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan. (Ibid).

Dalam bukunya, "Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin" (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”. Syafii Maarif selanjutnya menulis: “Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam.” Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masing-masing. (hal. 31).

Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan Tauhid, juga ditegaskan oleh tokoh NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan:

“Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (Dikutip dari buku Kajian Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama 1975-1990, disunting oleh Sudjangi (Jakarta: Balitbang Departemen Agama, 1991-1992).

Jika para tokoh Islam di Indonesia memahami makna sila pertama dengan Tauhid, tentu ada baiknya para politisi Muslim seperti Aburizal Bakrie dan sebagainya berani menegaskan, bahwa tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia, haram hukumnya disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya, men-SATU-kan Allah. Yang SATU itu harus Allah, nama dan sifat-sifat-Nya. Allah dalam makna yang dijelaskan dalam konsepsi Islam, yakni Allah yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan; bukan Allah seperti dalam konsep kaum Musyrik Arab, atau dalam konsep lainnya.

Kata “Allah” juga muncul di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah….”. Sulit dibayangkan, bahwa konsepsi Allah di situ bukan konsep Allah seperti yang dijelaskan dalam al-Quran. Karena itu, tidak salah sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut.

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah "Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam", yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).

Kaum Muslim perlu mencermati kemungkinan adanya upaya sebagian kalangan untuk menjadikan Pancasila sebagai alat penindas hak konsotistusional umat Islam, sehingga setiap upaya penerapan ajaran Islam di bumi Indonesia dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Dalam ceramahnya saat Peringatan Nuzulul Quran, Mei 1954, Natsir sudah mengingatkan agar tidak terburu-buru memberikan vonis kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam akan menghapuskan Pancasila. Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada Proklamasi. ”Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi,” kata Natsir. Lebih jauh Natsir menyampaikan, ”Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita”

Natsir juga meminta agar Pancasila dalam perjalannya tidak diisi dengan ajaran-ajaran yang menentang al-Quran, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar bangsa Indonesia. (M. Natsir, Capita Selecta 2).

Contoh penyimpangan penafsiran Pancasila pernah dilakukan dengan proyek indoktrinasi melalui Program P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar Negara. Tetapi, lebih dari itu, Pancasila dijadikan landasan moral yang seharusnya menjadi wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah berlebihan. Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, mantan anggota DPR dari PPP, Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala Perongrongan Agama”. Sejarawan dan budayawan Betawi ini mengupas dengan tajam pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4.

”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”

Kuatnya pengaruh Islamic worldview dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 – termasuk Pancasila – terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting. Salah satu makna adab adalah pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad saw sebagai Nabi, utusan Allah. Menserikatkan Allah dengan makhluk – dalam pandangan Muslim – bukanlah tindakan yang beradab.

Meletakkan manusia biasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan utusan Allah SWT tentu juga tidak beradab. Menempatkan pezina dan penjahat lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan orang yang bertaqwa, jelas sangat tidak beradab.

Jadi, jika Golkar atau siapa pun bersungguh-sungguh menegakkan Pancasila di Indonesia, siapkah Golkar menegakkan Tauhid dan adab di bumi Indonesia? Wallahu a’lam bil-sahawab.*
Paparan lebih lengkap tentang Pancasila bisa dilihat dalam buku: Adian Husaini, "Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam" (Jakarta: GIP, 2010).

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM
Red: Cholis Akbar
http://hidayatullah.com/read/17026/16/05/2011/%E2%80%9Cmenjernihkan-tafsir-pancasila%E2%80%9D.html