M SOBARY :
Betul namanya panjang: Suyudhono,Joko Pitono, Gendariputro, Dastoputro, Duryodhono. Dur itu buruk. Dhana itu pemberian. Disebut buruk karena dhana, pemberian, hadiah, juga penempatan orang, pemberian pangkat dan jabatan, hanya tertuju pada keluarga dan familinya sendiri.
Dia curiga, penuh prasangka, dan tak pernah menaruh rasa percaya pada orang lain. Bahkan gurunya, kakeknya, atau pamannya, yang berbicara lain, dan tak mengikuti keinginannya,dijauhi.Mereka tak pernah mendapat apa pun dari raja ini. Tampangnya, juga isi dan semangat pembicaraannya, tak sedikit pun menyiratkan suatu sifat keterpelajaran.
Otaknya agak “beku”. Perasaannya tidak begitu tajam—tidak sensitif— dan kelihatan lebih tak peduli. Apalagi bila tak menyangkut kepentingannya sendiri secara pribadi, ataupun kepentingan keluarganya. Solidaritas perkawanan? Tidak ada. Apalagi terhadap kawan yang tampak kritis, mandiri, dan memiliki sikap yang jelas bertentangan dengan arah politik yang dimilikinya.
Dia kelihatan setia menjaga persahabatan dengan Karna, bukan karena kesetiaan, melainkan lebih karena takut. Dia tak bakal berdaya menghadapi Karna. Namun, dia juga licik. Dalam urusan ini agak kelihatan kecerdasannya.Tapi mungkin bukan kecerdasan beneran.
Mungkin lebih berupa kelicikan. Segala hal yang mengarah dan berkecenderungan menyangkut urusan pribadinya, dengan mudah membuatnya tangkas memikirkan strategi berkhianat. Dengan patih Sengkuni,dia secara chemistry matched. Sengkuni itu lebih lihai daripada lelembut—setan, iblis, dan sejenisnya—dalam merencanakan kejahatan bagi sesama manusia.
Berkat selalu bisa “bertemu” dengan Sengkuni, itulah sebabnya maka Sengkuni dijadikan patih, orang dalam,lingkaran khusus, dan kepercayaannya yang lebih dihormati daripada istrinya sendiri, atau Bhisma, yang waskita, dan Widura yang bijaksana. Kita tak begitu paham,adakah dia ini si dungu,si pemalas, atau si tak empunya tanggung jawab atau dia si cerdik, yang memiliki visi masa depan.
Tapi kita tahu, dia penikmat kehidupan. Urusan judi, minum arak, waragan, dan jenis-jenis minuman keras pada masanya, atau main perempuan dan mengatur kelicikan buat mencelakai pihak lain, mungkin menjadi kegemarannya. Dia hidup untuk semua itu. Juga kekuasaan.
Badannya besar, tapi kendur, kurang berotot, kurang liat, tanda secara fisik tak terlatih. Mudah dan selalu cepat tidur, karena tak doyan prihatin, kurang suka berolah jiwa, jauh dari kebiasaan tirakat, mesu diri, dan jenis-jenis olah rohani lainnya. Padahal, seorang raja harus sensitif terhadap hidup.
Seorang raja harus juga berkualitas pandita, karena di dalam tradisi di zamannya, seorang raja yang telah lama bertahta dan ingin menyerahkan kekuasaan secara suka rela pada penggantinya, maka raja itu lalu ‘mandhito’.
Dia menjadi pandita, dan cerdik pandai yang hidup di bukit-bukit, dalam pondok sederhana untuk memusatkan perhatian dan seluruh hidupnya pada dunia batin, dunia rohani sambil memberi fatwa dan nasihat pada generasi penerusnya yang memegang kendali kekuasaan di kerajaannya agar kekuasaan diabdikan buat bangsanya,buat rakyatnya dan buat kemanusiaan pada umumnya.
Namun,dia tak berpikir untuk melakukan itu. Dia menikmati kekuasaan. Dia menikmati dunianya,dan bangga atas posisinya.Orang diminta bicara sejalan dengan aspirasi dan pemikirannya. Orang harus bersedia taat, patuh, dan menjadi bayangannya, siang atau malam. Mereka yang berani bersuara lain,atau melaporkan hasil pemandangan atas keadaan negara yang tak sesuai keinginannya,dibenci. ***
Tampangnya seperti agak lugu,tapi nakal.Gerak-geriknya lamban dan seperti penurut, tapi hakikatnya pembangkang. Dia, di atas segalanya, hidup dalam kesepian.Sudah puluhan kali rencana jahatnya membunuh dan mencelakai sepupu-sepupunya sendiri, yaitu putraputra Pandu,yang disebut Pandhawa.
Tak pernah membawa hasil. Sebaliknya, Pandhawa selalu bisa keluar dari bahaya. Dan bukan hanya itu. Mereka juga memperoleh anugerah para dewa. Dan menjadi satria-satria sakti. Di sini pangkal persoalannya. Dia selalu dipenuhi sikap iri dan dengki tak berkesudahan. Ini dengki ini belum teratasi, dia juga disergap rasa tak bahagia dan rendah diri karena hubungan dengan keluarga mertua dan kakak-kakak iparnya.
Baladewa itu kakak ipar tertua,raja sakti,dan luar biasa kebesarannya. Karna, kakak ipar, yang kesaktiannya tak mungkin bisa diatasinya. Dia merasa bukan apa-apa di hadapan kedua ipar itu.Apalagi di depan mertuanya: Prabu Salya, yang kekuasaannya besar dan mahasakti. Istrinya pun tak memberi “harga” terlalu tinggi pada dirinya.
Bala bencana apa lagi yang lebih besar dan lebih berbahaya, dibandingkan perkara sensitif yang satu ini? Istrinya lebih melirik Arjuna. Dan dia tahu sang istri sering bertemu diam-diam, di suatu tempat yang jauh,dengan Arjuna. “Pukulan”ini telak dan mematikan harga diri seorang laki-laki,apalagi bila ditambah predikat laki-laki “sejati”.
Kekecewaan yang membuatnya lebih minder, ialah anak-anaknya. Anak tertuanya itu bukan hanya idiot, tapi juga peminum, pemabuk,penjudi,dan doyan madon. Artinya main perempuan. Ditaruh di dalam jabatan apa pun, anaknya tak cocok. Suaranya keras, melengking, dan selalu salah.Tata kramanya nol besar.
Keberaniannya di bawah nol.Kalaupun zaman itu ada partai,maka ditaruh di partai pun anaknya hanya akan menjadi beban. Nah, ini dia: baginya, ternyata hidup ini hanya beban demi beban yang menekan pundak, punggung, pinggang, dan urat-uratnya. Juga batin dan jiwanya.Masalah demi masalah, bencana demi bencana berdatangan, seolah para dewa sengaja menimbunnya dengan kesulitan.
Ini berat baginya. Hidup, sekali lagi, jadinya hanya beban. Lalu beban itu terasa menjadi semakin berat, karena dia iri, dan dengki pada Arjuna yang ganteng,yang bahkan membuat istrinya terkagum- kagum.Dia iri dan dengki pada Bima, yang tabah, dan prihatin, dan kekuatan badaniahnya ibarat bisa memindahkan gunung Mahameru ke tanah Jawa.
Dia iri,dengki,cemas, mindah,Dan tak bahagia. Tak ada prestasi yang dicapainya. Tak ada pekerjaan yang digarap secara tuntas.Tak ada orang yang memberinya pujian.Tidak juga istrinya.Dia mau bunuh diri,tapi tak berani menghadapi kematian.Dia tak bisa apa-apa. Lalu merasa bukan siapa-siapa.
Baginya, hidup hanya beban.Dan beban. Namanya Duryudhono.Dan nama itu pun dirasanya hanya beban. Duryudhono, dengan kata lain, identik dengan beban...● M SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.comThis e-mail address is being protected from spam bots, you need JavaScript enabled to view it
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/408718/
Duryodhono
Written By gusdurian on Rabu, 29 Juni 2011 | 02.02
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar