BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Illusionary Wealth

Illusionary Wealth

Written By gusdurian on Kamis, 04 Juni 2009 | 11.43

Illusionary Wealth

SEWAKTU menyelesaikan studi di Amerika Serikat (AS) saya sering tertegun
melihat nama-nama jalan yang sama di setiap kota.Tentu saja bukan nama
orang atau pahlawan seperti yang sering kita lihat di sini, melainkan
nama-nama seperti Green Street, Apple Street, First Street, dan seterusnya.

Namun ada nama jalan yang selalu saya temui di mana pun saya berada,
yaitu Market-Street, dan hanya sedikit kota yang punya jalan bernama
Wall-Street. Itulah nama dua jalan yang sekarang menjadi persoalan di AS
dan menjadi hujatan di sini.

Di AS, mereka mempersoalkan krisis keuangan, di kita berkibar asap-asap
pedih yang diteriaki sekelompok kecil politisi sebagai ”neolib”. Supaya
tidak tambah ruwet, kita kupas perlahan-lahan dan mohon buka pikiran
Anda sebersih-bersihnya, sebab berbahaya sekali menghantubirukan ekonom
sebagai neolib, apalagi kalau neolib dimaknai hantu busuk.

Pasar dan Ekonomi pasar

Kalau kita belajar ekonomi, di mana-mana di dunia ini (saya kira selain
di Korea Utara) yang Anda dapatkan hanyalah ekonomi pasar.
Sebagaiekonom,meskibukanorang makro, saya pun kecipratan belajar tentang
pasar.Jadi belajar ekonomi yaekonomi pasar,kecuali Anda yang belajar
teori ekonomi tahun 1950 atau 1960,saat aliran-aliran ekonom
alternatifnya masih bertempur memperoleh pengakuan.

Dalam filosofinya tentu setiap ideologi turut mewarnai teori ekonomi.
Berbagai orang kini mempersoalkan seakan-akan ekonom itu sudah sangat
propasar.Teman-teman yang belajar tentang ekonomi balik bertanya, apa
salahnya dengan pasar? Bukankah pasar itu bagus? Pasar itu artinya
demokrasi. Kalau di pasar politik kita menyebut kekuatan itu ada di
tangan rakyat, maka di dalam perekonomian rakyat itu kita sebut konsumen.

Kalau dalam pemerintahan ada pemerintah, dalam bisnis ada perusahaan.
Perusahaan tentu tidak sekelas dengan pemerintah, karena mereka terdiri
atas badanbadan hukum yang bersifat terbatas dan bermotif bisnis. Kalau
pemerintah mengurus kebijakan, bisnis menjadi operator usaha.

Lantas apakah yang dimaksud dengan motif bisnis? Motif bisnis di
Market-Street berbeda dengan motif bisnis yang digaung-gaungkan di
Wall-Street.Di Market-Street orang-orang membantingtulangbekerjasiang-
malam mencari sesuap nasi.Mereka adalah para wirausaha yang mengelola
usaha keluarga dan membentuk badan-badan hukum. Ada yang
berdagang,berjualan baju,kerajinan, membuathasil-hasilriset, inovasi
sampai menjual hasil produksi (pabrikan) dan jasa-jasa.

Di setiap kota kecil, setiap kali mengunjungi Market-Street, saya selalu
bertemu para aktivis komunitas yang dihormati masyarakat. Mereka
bersama-sama membiayai fasilitas publik, menjadi sponsor
kegiatan-kegiatan komunitas. Seorang teman, yang dibesarkan pada
keluarga yang memiliki toko peralatan memasak/ membuat kue, bercerita,
ayahnya selalu mengatakan ia berbisnis untuk melayani komunitas.

Toko mereka adalah rumah mereka. Kalau malam ada yang menggedor toko,
ayahnya pun membukakan pintu. Karena bagi mereka pembeli adalah tamu dan
mereka adalah tetangga yang perlu dilayani.Mereka terpaksa menggedor di
malam hari karena mereka sangat memerlukan bantuan. Misalnya seorang ibu
alat masaknya rusak,padahal dia sudah memegang kontrak mengirim masakan
ke sebuah pabrik.

Kalau toko tak dibuka,celakalah si ibu. Itulah ekonomi pasar. Terdiri
atas para pelaku usaha yang melayani konsumen, yang saling bersaing
merebut pelanggan.Mereka hanya akan bertahan kalau mereka memberikan
pelayanan, berinovasi dan beradaptasi terhadap kebutuhan pelanggan.

Wall-Street

Lain mereka, lain pula suasana yangsaya lihatdiNew York.Diantara
bangunan-bangunan besar yang megah terdapat sebuah jalan bernama
Wall-Street. Di jalan ini selalu kita temui orang-orang muda yang
serbasibuk,berjas,dan berdasi. Ekonomi Wall-Street adalah ekonomi yang
berbasiskan keuangan. Mereka juga mengenal istilah pasar, tapi pasar
bagi mereka adalah pemilik uang, yaitu mereka yang ingin memperbesar
uangnya dari uang yang mereka kuasai.

Bagi mereka uang adalah magic. Orang-orang di Market-Street berpikir
tentang ekologi dan hubungan. Di Wall-Street hubungan tidak penting.Yang
lebih penting adalah kinerja, yaitu financial performance atau rate of
return. Maka bagi mereka, return, score, rating,ranking,dan ratio,lebih
penting. Sekalipun ada suatu negara, sebut saja Indonesia di tahun 1998-
1999, yang sangat menderita dan sangat memerlukan uang, mereka belum
tentu tergerak menuju ke sana, kecuali lembaga-lembaga ratingmemberi
rekomendasi.

Ekonomi Wall-Street adalah ekonomi uang dan di antara pemain- pemain
keuangan itu selalu saja muncul derivatif-derivatif baru yang bersifat
predator. Sejak John Edmunds (1996) menulis cara baru menciptakan
kekayaan melalui securities dalam jurnal terkenal Foreign Policy, para
predator itu pun memainkan jurus-jurusnya.

Mereka menjadikan segala kebutuhan masyarakat dalam bentuk securities
yang selalu bisa diperdagang kan. Dua tahun terakhir ini masyarakat
seluruh dunia dibuat pusing karena energi dan properti diperdagang kan
melalui ”paper”. Mereka berhasil mengomando ”pasar” riil karena mereka
menguasai dalam bentuk paper, sehingga harga di pasar riil mengikuti
harga sekuritas.

Sifat-sifat harga yang semula mengikuti kehendak hukum ekonomi, yaitu
supply-demand, tibatiba bergeser mengikuti pola harga securities. Harga
bisa melambung tinggi sekali dan tidak ada hubungannya dengan
supply-demand, namun ia juga bisa kempis tiba-tiba saat ”bubble”-nya
pecah. Anda mungkin masih ingat harga minyak mentah tahun lalu hampir
menembus USD200/barel.

Menurut data dari NYMEX,sejak 2006 porsi perdagangan securities dalam
bidang energi telah mencapai 50%. Padahal pada 2003 porsinya baru
sekitar 4,6%. Goldman Sach, Morgan Stanley, dan Citibank, bahkan tahun
lalu mempunyai cadangan yang sangat besar dalam paper energyini.

Di Singapura, beberapa di antara para pelaku utama di sektor keuangan
bahkan sengaja memiliki ”storage” sekadar agar bisa ikut ”bidding”
menentukan harga minyak yang diatur Plats. Perilaku goreng-menggoreng
yang bersifat predatory ini jelas sangat membahayakan perekonomian.
Karena perilaku seperti itu pulalah ekonomi AS collaps dilanda krisis
yang sangat destruktif.

Uang dan Cepat Kaya

Sifat-sifat predatory yang ada di Wall-Street, yang dibawa oleh para
spekulator, sekarang menjalar ke mana-mana. Ia bukan hanya merasuki area
corporate finance dan securitiessaja, melainkan sudah memasuki area
personal finance.Di manamana saya bertemu orang yang berbicara soal
uang,uang,dan uang.

Uang seakan-akan menjadi magic.Mereka termakan kata-kata Robert Kiyosaki
yang memprovokasi, ”Jangan bekerja untuk uang, tapi buatlah uang bekerja
untuk Anda.”Yang mereka lupa, kehidupan ini berisi hal-hal yang lebih
dari sekadar uang, yaitu hubungan, kekeluargaan, dan mutual-caring
(saling memeliharasaling menjaga) sehingga membebaskan manusia dari
ketergantungan dengan uang.

Dalam paradigma Wall-Street manusia hanya berbicara tentang rate of
return dan kinerja ekonomi. Dalam kehidupan yang sehat, kita berbicara
tentang kontribusi ekonomi yang berkelanjutan,yang terdiri atas makanan
yang sehat, air yang bersih dan mengalir,tanah yang subur, dan
nilai-nilai yang kooperatif. Kalau manusia sudah ingin cepat kaya, maka
ia terperangkap dalam illusionary wealth, yaitu seakan-akan kekayaan itu
hanya uang.

Dengan cara yang demikian orang akan saling telan sebagaimana predator.
Di perusahaan mereka melakukan perampingan, outsourcing ke luar negeri,
sehingga banyak pengangguran. Harga sahamnya naik, tapi kesenjangan
meningkat.Konflik pun meluas dan dunia dihantui terorisme.

Kalau Anda mengajarkan orang cepat-cepat kaya,Anda juga harus ingat,Anda
menaburkan kekacauan karena kekayaan tak bisa diperoleh tanpa kerja
keras dan pengorbanan. Tuhan memberi kesempatan kita berjuang,agar
memperoleh kekayaan plus kearifan dari tempaan hidup.(*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/244201/38/
Share this article :

0 komentar: