BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Virus Bullying

Virus Bullying

Written By gusdurian on Senin, 11 April 2011 | 15.07

Virus Bullying
Titik Firawati

Staf pengajar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP UGM, Yogyakarta
ARENA tak kuasa m e n a h a n b e b a n malu, seorang siswi SMP di Bekasi mengakhiri hidupnya. Ejekan temantemannya sebagai anak tukang bubur memaksanya bunuh diri.

Kasus bullying semacam itu tak asing lagi di dunia pendidikan Indonesia, tapi, sayangnya, masih menjadi persoalan pinggiran. Maksudnya, sedikit pihak yang peduli masalah bullying apalagi memikirkan upaya penanganannya dengan serius.

Bullying, atau bisa juga disebut pelecehan, adalah penggunaan kekuatan oleh seorang murid untuk menyakiti murid lain atau membuat murid lain tidak berdaya.

Murid yang merasa dirinya lebih kuat, apalagi di saat berkerumun dengan temanteman satu gangnya, menunjukkan perasaan superiornya dengan cara menindas murid lain yang dianggap lemah.

Selain mencemooh seperti kasus tersebut, praktik bullying mewujud ke tindakan-tindakan kekerasan langsung (seperti mengejek nama, menatap dengan penuh ancaman, menjambak, dan memukul) dan tak langsung (seperti mengajak murid lain mempermalukan korban, menelepon korban tanpa identitas, dan menyebarkan gosip mengenai korban).

Berbeda dari bentuk kekerasan lain, bullying merupakan bentuk kekerasan khusus yang dilakukan dengan sengaja, tanpa provokasi, dan berulangulang.

Mengapa bullying perlu dibicarakan dan ditangani serius? Kekerasan antarmurid itu perlu diatasi segera karena implikasinya menyerupai dampak negatif yang ditimbulkan virus penyakit--dapat menular, melumpuhkan, bahkan membunuh korban atau orang lain, dan cenderung menahun.
Menular Virus bullying bisa ‘menular ’ dari pelaku ke korban.

S e o r a n g k o r b a n , k a re n a terancam pelaku, memendam perasaan takut itu berlarutlarut. Jika tak sanggup keluar dari rasa takut tersebut, ia dapat melampiaskan ketidakberdayaannya dengan menjadi pelaku bullying.

Bullying juga bisa melemahkan kemampuan kognisi dan afeksi pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan itu, yakni pelaku, korban, dan penonton. Pihak terakhir itu disebut penonton sebab ia melihat kejadian bullying, tapi tidak melakukan apa-apa. Secara perlahan-lahan, virus bullying menggerogoti kecerdasan intelektual dan emosional ketiga pihak itu, terutama korban.

Bagi korban, virus itu bisa memperburuk prestasi akademiknya. Jarang hadir di kelas karena takut dan sulit berkonsentrasi adalah dua contoh nyata bagaimana virus bullying menggerogoti kemampuan kognisi korban.

Selain menyerang kapasitas intelektualnya, virus bullying dapat menghambat perkembangan psikologi korban.

Korban pelecehan biasanya akan mengalami depresi dan merasa rendah diri. Akibatnya, dia akan menarik diri sepenuhnya dari pergaulan sosial.

Pelaku juga bisa mengalami ‘kelumpuhan’ akibat virus itu. Berdasarkan hasil penelitian di sejumlah sekolah di Amerika Serikat, pelaku bullying cenderung putus sekolah saat duduk di bangku SMA.

Seiring dengan usianya yang bertambah, pelaku sedikit demi sedikit ‘kehilangan’ teman sehingga kredibilitasnya sebagai pelaku pun berkurang. Karena merasa terasing, dia berhenti sekolah.

Bagaimana dengan penonton? Sama seperti yang dialami
baik oleh pelaku maupun korban, virus bullying menyerang perkembangan psikologi penonton. Saat melihat kejadian bullying, penonton acap kali dihadapkan pada situasi dilematis. Jika mengintervensi, ia dibayang-bayangi perasaan takut akan menjadi korban bullying berikutnya. Jika tidak, ia akan membiarkan peri laku bullying meneror korban. Konflik ba korban. Konflik batin itu, apabila dibiarkan begitu saja, akan mengganggu perkembangan emosi anak, antara lain merasa tidak berdaya, tidak percaya diri, dan menjadi tidak sensitif terhadap masalah bullying atau kekerasan lainnya.

Virus bullying, jika diabaikan, bisa menimbulkan kematian korban atau orang lain. Kasus bunuh diri siswi SMP yang telah disebutkan adalah contohnya.
Contoh l a i n y a n g tidak kalah mengaget kan adalah kasus Luke Wo o d h a m dari Amerika Serikat. Pada Oktober 1997, Woodham mengakhiri hidup ibunya dan dua murid dan melukai tujuh lainnya setelah tak tahan diperlakukan tidak pantas oleh teman-teman sekolahnya.

Akhirnya, virus bullying yang dibiarkan merajalela tanpa penanganan atau dengan penanganan tapi tidak maksimal dapat menciptakan sp ral kekerasan itu sendiri.

Pela k u bullying y a n g tidak segera dita ngani berpeluang besar tetap menjadi pelaku hingga ia beranjak remaja, bahkan cen derung menerapkan cara cara kekerasan dalam rumah setelah berkeluarga atau terlibat dalam tindakan kriminal. MKBS Lantas, apa yang perlu dilakukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang bebas dari virus bullying? Usaha-usaha untuk mengatasi masalah bullying bisa dikategorikan ke dua pendekatan, interventif dan preventif. Pendekatan interventif yang mengedepank an manfaat jangka pendek dilakukan untuk meng hentikan bullying yang sedang terjadi, misal melaporkan kasus bul lying saat itu juga kemu dian mengajak pelaku dan korban bicara di tempat terpisah.

Pendekatan pre ventif, yang le bih diutamakan karena mem berikan manfaat jangka panjang, bisa dilakukan melalui manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS). Istilah MKBS mu lai diperkenalkan di Indone sia saat awal pembangunan Sekolah Sukma Bangsa di Aceh pada 2006.

Mengingat Sekolah Sukma Bangsa berada di wilayah sarat dengan konflik, yaitu Aceh, keputusan manajemen untuk memperkenalkan pendekatan MKBS merupakan salah satu cara untuk menekan maraknya praktik kekerasan pada rata-rata sekolah di Aceh.
Kekerasan, baik antarsiswa, antara siswa dan guru, bahkan antara sekolah dan masyarakat perlu ditangani dengan arif dan bijaksana. Selain melatih dan memperkenalkan guru, siswa, dan manajemen sekolah lainnya dengan MKBS, orang tua juga menjadi sasaran antara demi tercapainya misi menciptakan sekolah yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Pada awalnya MKBS bisa jadi hanya serangkaian modul training tentang cara-cara menangani dan menghindari konflik di sekolah. Namun ketika sekolah berjalan, MKBS bisa langsung diimplementasikan melalui dua cara, yaitu penanaman nilai-nilai kebaikan dalam budaya sekolah serta merumuskan komitmen bersama di antara seluruh stakeholders sekolah ke sebuah bentuk statuta sekolah. Kedua cara itu sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dan keharusan bagi setiap sekolah (dalam hal ini kasus Sekolah Sukma Bangsa, misalnya), untuk mengintegrasikan pemahaman nirkekerasan di sekolah ke perilaku keseharian sivitas akademika sekolah dan menjamin kondisi sekolah tetap kondusif dan bebas dari kekerasan dan pelecehan.

Dengan contoh tersebut jelas sekali bahwa sekolah yang berwawasan MKBS akan mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan resolusi konflik ke sistem pengajaran sekolah. Salah satu tujuan MKBS adalah mewujudkan sekolah sebagai tempat belajar yang aman dan damai.

MKBS, secara ringkas, dapat dipilah ke empat komponen utama. Perinciannya budaya sekolah yang tidak menoleransi kekerasan, termasuk bullying (bisa disepakati secara tertulis dan mulai diterapkan di beberapa sekolah di Jakarta dan Yogyakarta), kurikulum yang berorientasi pada nilai-nilai perdamaian, metode belajarmengajar yang damai, dan mediasi sejawat.

Semua pendekatan tersebut harus melibatkan tiga aktor kunci dalam pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) karena, secara sadar maupun tak sadar, virus bullying muncul atas kontribusi mereka juga. Keluarga yang menerapkan hukuman fi sik, misalnya,
secara tidak langsung akan mengajarkan kepada anak bahwa kekerasan merupakah hal yang wajar. Temuan itu didukung sejumlah penelitian yang menyebutkan pelaku bullying biasanya berasal dari latar belakang keluarga yang antara lain menggunakan cara-cara kekerasan di rumah dan membiarkan sikap agresif mendominasi komunikasi keluarga.

Sekolah yang selama ini dipercayai orang tua murid sebagai tempat pendewasaan diri anak secara intelektual dan emosional juga menjadi tempat pengembangbiakan virus bullying. Anggapan itu dapat dibenarkan mengingat sebagian guru belum menyadari sepenuhnya dampak negatif bullying. Hasil survei yang dilakukan organisasi nonprofit Semai Jiwa Amini (Sejiwa) di tiga SMA di Jawa (2004-2006) menunjukkan 1 dari 5 guru menganggap pelecehan adalah hal yang biasa dalam kehidupan remaja dan tidak perlu diributkan lagi.

Di samping itu, anak-anak dengan mudah mengadopsi nilai-nilai kekerasan yang mereka lihat sehari-hari di masyarakat, misalnya melalui tayangan industri hiburan yang syarat dengan kekerasan. Sistem masyarakat yang sangat dekat dengan dunia kriminal--peredaran senjata api dan obat bius, mabukmabukan, dan tawuran antargang--juga membuat anak semakin rentan terhadap perilaku kekerasan.

Efek negatif virus bullying membahayakan masa depan anak didik kita. Sedikit demi sedikit virus itu melumpuhkan daya rasa dan daya pikir mereka dan akhirnya dapat merenggut nyawa mereka.

Cegah bullying sebelum virus tersebut membunuh anakanak Indonesia. Tidak ada cara lain yang lebih baik daripada pencegahan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/04/11/ArticleHtmls/11_04_2011_026_014.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: