BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Jika Bankir Serakah

Jika Bankir Serakah

Written By gusdurian on Senin, 11 April 2011 | 15.05

Dengan sangkaan primer tindak pidana pencucian uang, kasus Inong Malinda Dee menjadi lebih menarik lagi. Jika awalnya sangkaan primernya adalah tindak pidana perbankan berdasarkan Pasal 49 ayat (1) UU No 10/1998, maka fokus tindak pidana pencucian uang mewajibkan kepolisian mengungkapkan siapa yang mencuci uang.

Yang terpenting, bagaimana Malinda Dee melakukan tindak pidana ini selama tiga tahun, padahal dia sudah berkarier di Citibank selama 22 tahun. Wanita yang suka berpenampilan mewah dan berlenggak- lenggok di peragaan busana ini tentu mempunyai jurus tersendiri bagaimana dia dipercaya orang-orang berduit sehingga mereka menempatkan dananya di Citibank. Ini kata kunci seorang relationship manager, yakni menarik dana besar dari calon nasabah tertentu untuk ditempatkan di bank tempat dia bekerja.

Makin besar dana yang disimpan dan makin banyak dia memperoleh nasabah,makin tergantung bank yang bersangkutan kepada dirinya. Sudah biasa bank selalu berusaha mencari dana besar dan murah.Sangkaan Inong Malinda melakukan kejahatan perbankan menunjukkan bahwa mitigasi risiko bank terfokus pada perkreditan atau penempatan dana, pengendalian internal tidak berfungsi, audit internal tidak efektif, dan manajemen risiko bank tidak memadai.

Secara eksternal, Bank Indonesia (BI) gagal dalam mengawasi dan memeriksa bank. Kesalahan utama ada pada Malinda didukung oleh rekan kerjanya. Tapi lain lagi jika sangkaan utamanya tindak pidana pencucian uang dan sangkaan sekundernya tindak pidana perbankan. Sangkaan tindak pidana pencucian uang bisa diibaratkan ada pihak yang hendak mencuci pakaian (uang) yang kotor, membutuhkan wadah pencuci (bank),mesin atau alat pencuci (instrumen bank/ keuangan), dan pembersihnya (bankir yang mencucinya). Ini berarti Malinda tidak sendiri.

Karena itu tidak mungkin hanya memasalahkan hasil (output) sebagi buah dari pekerjaan Malinda tanpa masukan (input) dan proses.Kalau begitu siapa yang memiliki dana itu dan kenapa polisi menyebutnya sebagai pencucian uang? Sebab sebutan pencucian uang ini menunjukkan bahwa uang yang berhasil digaet Malinda untuk ditempatkan dan diputar di Citibank adalah uang kotor yang dalam perumpamaan saya tadi sebagai pakaian kotor.

Ini lebih kurang penjelasan kenapa Malinda menghendaki pemberitaan yang imbang saat pertama kali di Mabes Polri berjumpa dengan wartawan. Saat yang sama, selain kelemahankelemahan di atas ada pada Citibank dan pada BI, kasus ini juga mengindikasikan bahwa regulasi know your customer tidak dilaksanakan dengan baik.

Jika regulasi tentang hal iti dilaksanakan, menjadi mustahil sangkaan utamanya tindak pidana pencucian uang. Situasi ini pula yang membuahkan kecurigaan banyak kalangan bahwa Malinda sebenarnya mencuci uang dari beberapa orang yang mempunyai rekening “gendut”. Apakah kecurigaan ini spekulatif atau tidak, yang pasti uang itu di tempatkan di Citibank, bank yang sebagian sahamnya dimiliki Pemerintah AS.

Dana Siapa?

Lalu kenapa setelah tiga tahun baru dilaporkan saksi pelapor ke polisi? Sebagai fund managerdengan gaya hidup mewah dan penampilan glamor, Malinda sangat mungkin dipercaya untuk menjual beli valuta asing (valas) dengan menggunakan dana dari mereka yang mendapat layanan private banking Citibank. Dalam catatan saya, sejak krisis kapitalisme AS 2008, rupiah memang terus menguat jauh melampaui target APBN sebesar Rp9200/ USD1.

Jika sebelumnya memainkan rupiah dengan valas AS menguntungkan pemilik dana besar,sejak derasnya hot money mengalir ke Indonesia, keuntungan tidak lagi pada jual beli valas, tapi pada pasar modal yang pada 2010 saja memberi keuntungan di atas 35%.Sementara sebagai fund manager, Malinda sebagai kuasa nasabah memainkan dana nasabah-nasabah itu mungkin saja lebih pada jual beli valas (money market line) dalam jumlah tertentu.

Kenapa jumlahnya juga ditentukan? Karena dalam dua tahun sebelumnya kecenderungan merugi sudah terlihat sehingga jumlah rupiah yang dimiliki makin menurun. Sebutlah bottom lineyang ditentukan pemilik dana dan Malinda adalah Rp8.900/ USD1. Ternyata malah Rp8.720-8.820/ USD1 sebagaimana berlangsung selama Februari-Maret. Akibatnya tentu saja merugi.

Lalu, bagaimana bisa dana tersebut mengalir ke rekening perusahaan yang dimilikinya? Jawabnya sederhana. Suatu saat Malinda juga memperoleh keuntungan besar baik karena valas maupun karena investasi di pasar modal.Sebagai contoh dimandatkan bermain dengan volume USD250.000,walau dana yang ada USD300.000. Sangat potensial Malinda memainkannya melampaui mandat.

Saat untung, Malinda hanya membagi keuntungan sesuai dengan induk USD250.000. Padahal dia bermain dengan volume di atas itu. Induknya tetap dia kembalikan, tapi labanya terbatas pada mandat pemilik dana. Yang repot adalah saat merugi dengan volume perdagangan di atas mandat. Saya menduga hal yang terakhir inilah yang terjadi sehingga pemilik dana merasa uang induknya berkurang.

Uraian di atas menunjukkan bahwa ada moral hazard pada bankir, bankir bank sentral, dan nasabah. Heads I win, tail you lose,kata Paul Krugman atau bebankan kerugian kepada rakyat dan privatisasikan keuntungan, kata Joseph E Stiglitz. Bagi Willliam K Black, itulah perampokan bank oleh bankir. Nah,jika kita membenarkan bank beroperasi dengan basis filosofi serakah,saya kira kasus Malinda Dee akan terus berulang dengan modus yang beda. Begitulah yang terjadi di AS.

Lalu, senada dengan yang diumumkan Bareskrim Polri kemarin, maka disertasi saya membuktikan bahwa moral hazard bankir sulit dihapus karena hal itu merupakan perilaku yang didasarkan pada nilai dan sikap serakah seperti yang mereka perlihatkan pada persoalan kartu kredit. Paling tidak, kesulitan itu terjadi karena didasari semangat mengambil untung dengan merugikan pihak lain sebagaimana blankeet guarantee pada kasus BLBI. Inilah bukti rawannya perbankan jika tidak berpijak pada seimbang dan sinerginya modal sosial dengan modal finansial.

ICHSANUDDIN NOORSY
Deklarator Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia (AEPI)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/392238/
Share this article :

0 komentar: