Polling koran SINDO hari Senin (28/3) menyebut 48% masyarakat di enam kota besar merasa cemas dan terteror bahkan cenderung paranoid, dampak dari bom yang awalnya dikenal sebagai bom buku.
Angka kecemasan itu bisa jadi benar, bahkan bisa lebih besar. Semula orang cemas dan takut dengan kiriman barangbarang yang tidak dikenal.Kecemasan itu berkembang menjadi paranoia, sebuah pikiran yang terganggu karena cemas yang berlebihan.Wujud paranoia masyarakat terlihat dari sikap yang mudah mencurigai benda-benda aneh di tempat yang tidak biasa,sebagai bom. Kondisi itu makin parah,karena memasuki pekan ketiga, belum satu pun yang diungkap tuntas.
Justru paranoia muncul di mana-mana,seperti di pusat perbelanjaan,rumah sakit,stasiun kereta api, bahkan sekolahan. Penyebarannya juga di berbagai kota,dari Jakarta,Surabaya, Bandung, hingga Palembang dan Samarinda. Masyarakat menjadi makin tidak aman,dan khawatir. Media massa,terutama televisi juga ikut andil dalam penyebaran informasi tersebut secara cepat.
Dampak televisi yang siarannya mudah ditiru, bisa jadi menambah orang bertambah cemas, seiring dengan banyaknya berita ancaman bom, termasuk benda-benda yang dicurigai sebagai bom. Efek negatif televisi juga terlihat pada kasus David, tersangka peneror Gedung SA Surabaya, pekan lalu. David mengaku meneror bom Gedung SA Surabaya memakai SMS, meniru berita ancaman teror di televisi.
Sementara, peledakan benda yang dicurigai sebagai bom di Bantul, Yogyakarta Sabtu dua pekan lalu menjadi contoh betapa kecemasan itu juga sudah terjadi hingga di sudutsudut kota kecil. Informasi itu juga menyebar cepat, karena disiarkan live melalui breaking news sebuah televisi lengkap dengan detik-detik peledakan yang dramatis. Benarkah benda itu bom, hingga harus disiarkan melalui breaking news? Ternyata setelah diledakkan, polisi menyebut itu bukan bom, melainkan alat memasak nasi.
Sementara siaran televisi “terlanjur”menduga sebagai bom. Siapa yang salah? Polisi yang mencoba meledakkan karena tidak mau ambil risiko, atau media yang terlalu cepat menyampaikan laporan? Tidak ada yang salah.Polisi sudah memverifikasi menggunakan x-Ray dan memenuhi SOP hingga akhirnya diledakkan. Sementara,wartawan berhak melaporkan secara cepat, setiap peristiwa kepada pemirsa.
Yang menjadi catatan penting, kecepatan melaporkan peristiwa, jangan sampai melupakan akurasi. Jika ini terjadi, media bisa dituduh menebar teror informasi karena liputannya berpotensi menimbulkan kecemasan, trauma, bahkan paranoia. Kondisi itu bisa jadi kronis jika reporter lapangan yang melaporkan live, kurang menguasai materi.Seperti pernah terjadi pada laporan sebuah televisi soal awan panas gunung Merapi di Yogyakarta.
Karena kurang cakapnya reporter live di televisi,menyebut awan panas menyebar hingga radius 20 kilometer.Padahal maksudnya abu vulkanik, bukan awan panas. Maksud reporter untuk menenangkan warga gagal, karena informasi salah dan tidak akurat.Tentu saja masyarakat resah. Jika awan panas menyapu 20 km dari puncak Merapi, maka akan jatuh korban lebih banyak lagi.Dalam kasus ini, opini di koran Suara Merdeka Semarang menyebutnya sebagai malapraktik liputan.
Antara Kecepatan dan Akurasi
Persaingan 11 televisi nasional memicu adrenalin reporter di lapangan untuk menghadirkan berita dengan cepat. Tetapi, seyogianya kecepatan dilengkapi dengan akurasi dan konfirmasi. Bahkan dalam hal tertentu, laporan reporter harus dikonfirmasi pada ahli atau pihak yang berwenang. Dampaknya akan berbeda, jika reporter melaporkan live soal peledakan benda yang dicurigai sebagai bom, setelah ada konfirmasi polisi.
Pemirsa akan mendapat informasi yang akurat dari sumber yang berkompeten. Di tengah ketatnya persaingan program-program berita, media tetap harus mengindahkan prinsip jurnalistik, seperti diatur pasal 15 Pedoman Penyiaran KPI 02/2007 yakni tidak membuat berita bohong, tidak menonjolkan unsur kekerasan, tidak mencampuradukkan opini pribadi, akurat dan berimbang.
Pertanyaannya, haruskah setiap berita menunggu konfirmasi, sementara publik berhak tahu dengan cepat sebuah informasi (public right to know)? Ini yang masih menjadi perdebatan. Karena menunggu konfirmasi, kadang menghilangkan faktor kecepatan. Bahkan makna peristiwa bisa berbeda. Sementara menghadirkan berita dengan cepat, dan lengkap menjadi prestasi bagi wartawan. Apalagi berita yang dihadirkan sedang menjadi perhatian publik, seperti bom buku ini. Besarnya magnitudo atau kedekatan isu berita dengan pemirsa,diharapkan juga menyedot perolehan ratingdan share,jika dihadirkan cepat.
Paranoia Polisi?
Bagi televisi yang genrenya adalah gambar,visual peledakan itu merupakan liputan yang menarik dan mendebarkan. Tidak heran peristiwa kadang diulang di beberapa program berita.Begitu seringnya media menyiarkan peledakan di lokasi penemuan, ada yang menuduh polisi juga mengalami paranoia.Alasannya beberapa kali polisi meledakkan benda yang mencurigakan di lokasi penemuan, ternyata tidak mengandung unsur bom.Apalagi Polda Metro Jaya menyebutkan, setidaknya dari 50 laporan hanya 6 yang mengandung unsur bom.
Beruntung polisi cepat tanggap. Setelah mendapat masukan dari berbagai pihak, peledakan “bom” di lokasi penemuan dikurangi.Sebuah tindakan yang patut diapresiasi. Namun hal itu belum cukup. Polisi dituntut bertindak cepat dan profesional mengidentifikasi benda tersebut dengan bantuan teknologi.
Kecepatan identifikasi dan penyampaian informasi kepada wartawan sebelum disebarkan, bisa jadi akan mengurangi kecemasan yang berkepanjangan. Selain itu, televisi bisa menyiarkan berita yang lengkap dan akurat sehingga bisa mencegah munculnya efek negatif yang bisa memicu paranoia masyarakat, termasuk polisi.
KHOIRI AKHMADI
Pemerhati Media dan
Produser Sebuah Televisi Swasta
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/392237/
Bom Buku, Media dan Paranoia Polisi
Written By gusdurian on Senin, 11 April 2011 | 15.03
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar