Rohmad Hadiwijoyo Direktur Eksekutif Cides Indonesia
PERSETERUAN antara Sekretaris Kabinet Dipo Alam dan Media Group, yakni Metro TV dan Media Indonesia, seharusnya tidak perlu terjadi jika para pihak mengetahui posisi masingmasing. Konflik itu hanya akan menguras energi yang tidak perlu atau ibaratnya berebut balung tanpa sumsum.
Media yang merupakan pilar keempat demokrasi bukan hanya sebagai sumber berita atau informasi, melainkan juga sebagai pembawa dan penyambung suara rakyat. Lebih penting lagi, keberadaan media memiliki kemampuan sebagai daya tekan atau penyeimbang bagi tiga pilar demokrasi lainnya.
Bisa dibayangkan, bagaimana kinerja tiga pilar lainnya, yakni legislatif, yudikatif, dan eksekutif, jika tidak ada kontrol dari media.
Kita bisa belajar dari kasus terbongkarnya kebobrokan pionir demokrasi, Amerika Serikat, oleh jejaring sosial WikiLeaks.
Dengan kemajuan teknologi, Julian Assange, pendiri WikiLeaks, mampu menelanjangi perilaku para birokrat dan politikus di negara adidaya itu.
Di era informasi digital saat ini, rakyat tidak dapat lagi dikekang atau dikendalikan penguasa atau pemerintah. Itulah arti sebenarnya dari sebuah demokrasi, yakni suatu kebebasan untuk mengemukakan pendapat yang dilandasi kejujuran dan keterbukaan.
Pasal 52 Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), jelas jelas sudah mengatur tentang keterbukaan informasi publik suatu lembaga negara oleh masyarakat.
Mengelola informasi global untuk kemaslahatan masyarakat luas merupakan tugas dari negara. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatakan kejujuran tentang segala informasi kepada rakyatnya. Yang terjadi kebanyakan rakyat saat ini tidak mendapatkan informasi secara benar sehingga hal itu menciptakan permasalahan di masyarakat.
Kalangan yang bisa mendapatkan dan memanfaatkan akses informasi secara benar akan mendapatkan kemudahan dalam berusaha atau berkarya.
Dengan demikian mereka mampu mendapatkan tingkat kehidupan yang lebih baik secara ekonomi.
Akan tetapi, bagi sebagian besar rakyat yang tidak mendapatkan informasi secara benar, itu akan menciptakan kesenjangan ekonomi dan muncullah kemiskinan. Kemiskinan itulah yang memicu ketidakadilan ekonomi di masyarakat.
Kekerasan horizontal yang terjadi di beberapa daerah saat ini merupakan bukti dari tidak meratanya ekonomi yang disebabkan tidak mendapatkan informasi yang sebenarnya.
Lebih parah lagi, kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan keadilan secara ekonomi tersebut akan membentuk kelompok yang militan dan ekstrem. Kelompokkelompok itulah yang sering menjadi provokator dan pelaku atas konflikkonflik yang terjadi belakangan ini.
Local wisdom Karena itulah, langkah Dipo Alam memboikot media massa, apakah itu perintah untuk tidak pasang iklan maupun melarang staf khusus presiden menjadi narasumber, merupakan langkah keliru. Lebih dari itu, perintah tersebut sudah melebihi kewenangannya sebagai sekretaris kabinet.
Apa yang dilakukan orang internal Istana Presiden itu ternal Istana Presiden itu ternyata hampir mirip dengan lakon dalam dunia pedalangan wayang kulit (local wisdom). Itulah episode ketika Raja Astina Prabu Duryudono gelisah dengan banjir kritik baik dari rakyatnya sendiri maupun dari kawula Kerajaan Amar ta akibat tidak konsistennya dalam memerintah. Di antara sikap menclamencle Duryudono itu ketika ia ingkar janji (bohong) dengan keputusannya semula yang akan mengembalikan separuh Kerajaan Astina kepada saudara sepupunya, Pandawa. Ia mencabut keputusannya secara sepihak sehingga kepercayaan rakyat terhadap kewibawaannya turun drastis.
Dalam perjanjian Bale Segala gala, jika Pandawa lulus men jalani hukuman 12 tahun di Hutan Kamiyaka dan ditambah satu tahun nawur kawula, Prabu Duryudono harus mengembalikan separuh Kerajaan Astina kepada Pandawa.
Pandawa mulus menjalani semua hukuman itu. Bahkan ketika Kurawa dengan segala upaya meng gagal kan ma sa hu kum a n itu, semuanya menjadi siasia. Sesuai dengan perjanjian, kalau dalam masa hukuman nawur kawula itu keberadaan Pandawa diketahui Kurawa, mereka harus kembali dihukum 12 tahun lagi di hutan.
Karena itulah, tidak ada ala san lagi bagi Duryudono untuk tidak menyerahkan separuh Kerajaan Astina itu ke Pandawa.
Namun, kenyataan tidak. Duryudono kukuh menggenggam Kerajaan Astina seutuhnya.
Bahkan ia berseru, jangankan separuh, sejengkal tanah pun tidak akan diberikan kepada Pandawa.
Duryudono tidak mau in trospeksi dengan hujan kritik yang tidak henti h e n t i menerpa di rinya itu. Sebaliknya, ia justru semakin jengkel dan ke hilangan akal sehat. Kemarah annya sudah di ubunubun kare na merasa pemerintahannya dikuya kuya kawulanya sendiri dan kawula Kerajaan Amarta.
Untuk memberangus semua kritikan itu, Duryudono memanggil Patih Sengkuni dan semua menteri serta staf khusus dalam rapat tertutup. Karena semua pembantunya itu bermental penjilat, keinginan busuk Duryudono berjalan mulus tanpa interupsi.
Singkat cerita, rapat memutuskan staf khusus yang bernama Begawan Dora Wacana diberi tugas membereskan para pengkritik Duryudono dan pemerintahannya. Tanpa berpikir panjang, Dora langsung melaksanakan tugas tersebut. Apalagi i sendiri sudah mengidentiia fikasikan tiga pihak yang dianggap berbahaya, yakni Prabu Kresna, Semar Badranaya, dan Puntadewa.
Strategi yang diterapkan Dora Wacana untuk Kresna dan Semar adalah bumi hangus. Artinya harus dilibas dan kalau perlu, dibinasakan.
Untuk Puntadewa, karena dianggap bermental lemah dan tanpa daya, Dora menerapkan strategi lobi atau bujuk rayu atau mediasi.
Semar sebagai simbol kekuatan marginal atau masyarakat luas, rupanya, sudah tanggap atas ancaman Dora Wacana.
Karena itu, ia menempuh jalur hukum, yakni menggugat ke Dewa Ruci sebagai penguasa keadilan di Kahyangan Alang Alang Kumitir.
Semar tidak terima. Ia menyatakan cara-cara yang dilakukan penguasa Astina terhadap para Pandawa itu tidak adil.
Dia mempertanyakan kenapa momongannya, Pandawa, sebagai yang berhak mendapatkan kembali Kerajaan Astina, tetapi terus dizalimi Duryudono. Dirinya sebagai pamong bahkan akan dibinasakan lewat tangan Dora Wacana.
Dewa Ruci menjelaskan kemunculan Dora Wacana itu memang ujian bagi Pandawa untuk mendapatkan hak mereka kembali. Untuk itu, Semar diminta kembali ke Astina untuk menolong Puntadewa dan Kresna yang nyawanya terancam. Sebagai bukti dukungan, Dewa Ruci memberikan pusaka sakti berupa panah kepada Semar untuk menghancurkan Dora Wacana. Untuk mempermudah laku ke Astina, Semar diminta menyamar sebagai pandita sepuh bernama Begawan Ismaya Jati.
Ketika Semar berada di Kahyangan, rupanya Puntadewa telah ditahan di Astina untuk dihabisi secara perlahan lahan. Para putra Pandawa sudah berusaha untuk menyelamatkan Puntadewa, tetapi mereka gagal karena kalah melawan Dora Wacana.
Kresna kemudian mencari bala bantuan. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Begawan Ismaya Jati. Kresna mengutarakan niatnya untuk membasmi keangkaramurkaan Duryudono yang dilakukan Dora Wacana. Ismaya Jati bersedia membantu.
Kemudian terjadilah perang tanding antara Ismaya Jati dan Dora Wacana. Hampir saja Ismaya Jati kalah. Seketika itu ia ingat pusaka sakti pemberian Dewa Ruci. Tanpa membuang waktu, dilepaskanlah pusaka tersebut dan menembus dada Dora Wanaca.
Terjadilah keajaiban, pusaka sakti tersebut ternyata merupakan jelmaan Resi Anoman dari pertapaan Kendali Sada dan Dora Wacana merupakan jelmaan sukma Rahwana. Bisa dipastikan, kebaikan menang atas keangkaramurkaan.
Sari pati cerita kearifan lokal itu adalah tindakan sewenang wenang penguasa terhadap rakyat pasti dapat dikalahkan kekuatan rakyat itu sendiri. Dengan kata lain, bagaimanapun kekuatan boikot untuk membatasi akses informasi dibangun pasti akan hancur.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/03/04/ArticleHtmls/04_03_2011_019_003.shtml?Mode=0
Cara Duryudono Boikot Pengkritik
Written By gusdurian on Minggu, 06 Maret 2011 | 10.08
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar