BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Buaya Vs Cecak, Merpati Vs Gagak

Buaya Vs Cecak, Merpati Vs Gagak

Written By gusdurian on Minggu, 06 Maret 2011 | 10.05

Toeti Adhitama

Bila teori-teori mereka kita jadikan pedoman atau pertimbangan, semoga kita lebih mampu menjaga kesetiakawanan antarkita lewat komunikasi yang sejuk, damai, dan elegan."
BEDA pendapat ten tang kebijakan publik sering membangkit kan berbagai debat.
Ada yang menyampaikan tanggapan dengan lugas dan bernas, ada yang dengan halus dibungkus-bungkus. Tujuannya sama: menyampaikan saran-saran alternatif atas kebijakan yang dianggap kontroversial. Rakyat banyak yang mengikuti bisa menilai mana pilihan terbaik bagi mereka.
Mereka tidak pilon seperti yang orang kira.

Dalam rangka adu argumen tentang suatu perilaku yang merugikan publik, suatu kali tersebutlah kelompok yang dianalogikan dengan `cecak', yang katanya akan melawan kelompok yang dianalogikan dengan `buaya'. Itu berkaitan dengan mafia hukum dan soal suap-menyuap. Publik tidak banyak berkomentar. Mereka melihat bahwa mengibaratkan oknum-oknum korup dengan binatang reptil yang berjalan dengan menempelkan perut di tanah itu tepat sekali. Reptil menjijikkan; bukan jenis binatang piaraan. Manusia yang diibaratkannya pun melakukan perbuatan yang menjijikkan.

Mengibaratkan manusia sebagai binatang rupanya bukan gejala baru dalam sejarah peradaban manusia. Mungkin itu akibat desakan emosi yang ingin menggambarkan situasi secara cepat dan tepat, tanpa larut dalam rangkaian katakata yang belum tentu mampu menjelaskan maksudnya. Bila pengibaratannya benar, seperti kasus cecak versus buaya, masyarakat gampang mencernanya. Cepat dan tepat.

Lain keadaannya bila pengibaratan hanya mengandalkan dorongan emosi. Yang kemudian tampil adalah warna emosinya. Misalnya tersebutlah pengibaratan tokoh-tokoh penting pemerintahan dan masyarakat dengan binatang kerbau dan sekawanan gagak.
Kalau dipikir-pikir dengan merujuk ke situasinya, analogi itu tidak enak di telinga dan tidak enak untuk perasaan siapa pun. Publik pasti menengarai pengandaian itu lebih banyak didasarkan rasa kesal.

Namun, beruntunglah kita karena hidup di negara demokrasi yang masih memiliki toleransi untuk hal-hal kecil yang tidak relevan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita juga beruntung tidak diperintah autokrat yang bertindak sewenang-wenang.
Hikayat rujukan Sejarah terulang dan berulang lagi. Dalam hal ini, rujukan ke dunia binatang untuk membuat analogi perilaku manusia sudah ada dalam per adaban di wilayah India dan Laut Tengah ribuan tahun lalu.
Baru setelah muncul karyakarya pengarang fabel dari Yunani, Aesop (abad 6 SM), fabel menjadi bagian dalam tradisi kesusastraan Barat. Fabel, yang menyindir perilaku manusia dengan antara lain menggambarkannya dalam kehidupan binatang, biasanya membawa pesan moral. Tradisi itu merebak selama Abad Pertengahan yang merentang dari abad V sampai seribu tahun kemudian.

Di Indonesia, ratusan fabel atau dongeng binatang gaya Aesop yang membawa pesan moral itu banyak dikenal di waktu-waktu lalu, yang masuk lewat buku-buku impor. Kita sendiri memiliki `Kancil mencuri ketimun'. Kancil mengibaratkan kecerdikan. Binatangbinatang lain yang mencirikan sifat-sifat baik maupun buruk manusia tampil dalam peribahasa-peribahasa seperti serigala berbulu domba; semut di seberang lautan, gajah di pelupuk mata; seperti cacing kepanasan; pungguk merindukan bulan; dan harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gadingnya. Banyak lagi binatang yang melambangkan sifat-sifat tertentu: tikus mengibaratkan koruptor, ular melambangkan kelicinan dan kelicikan, mer pati lambang perdamaian, kumbang lambang petualang cinta, dan seterusnya.
Binatang sebagai lambang Mengapa manusia merujuk ke dunia binatang untuk menggambarkan dirinya?
James Thurber (1894-1961), humoris dan pengarang fabel yang banyak menulis di The New Yorker, pernah mengatakan tentang dirinya sebagai pengarang fabel: "Fabel mengungkap kebinatangan yang ada dalam diri saya."

Pernyataan itu, sekalipun disampaikan dalam nada humor, mengingatkan pada teori unik yang disodorkan Paul Maclean (1913-2007), ahli saraf dan fisiologi Universitas Yale. Secara sederhana, inti teorinya menyatakan dalam proses evolusi dari binatang menjadi manusia, terjadi perubahanperubahan dalam wilayah otak kita. Wilayah otak lama (binatang) ditumpuk dengan wilayah otak baru (manusia).
Akibatnya koordinasi antara yang lama (yang emosional) dengan yang baru (yang rasional) berjalan tidak mulus.

Menurut ilmuwan itu, di kepala kita sekarang bertengger `tiga otak'. Demikian menurut teori triune brain yang menjadi landasan riset Maclean sepanjang kariernya: Otak paling tua berperilaku seperti otak reptil, berikutnya berperilaku seperti otak mamalia tingkat rendah, dan yang terbaru bersifat khas manusia. Karena koordinasi yang tidak mulus itu, kadangkadang sifat kebinatanganlah yang mencuat, termasuk nafsu seks, rasa lapar, ketakutan, dan sikap agresif. Kadang-kadang muncul sifat manusiawi yang berlandaskan akal. Sumbernya otak yang khas manusia. Itu barangkali bisa menjawab mengapa banyak terjadi perilaku paradoksal dan inkonsisten dalam masyarakat manusia umumnya.

Penjelasan ilmuwan terpandang itu, walaupun kedengaran aneh, patut dipikirkan.
Mengapa, misalnya, orang yang kita kenal selalu bersikap baik tiba-tiba berubah watak demikian rupa sehingga mengagetkan?
Namun, pendapat ahli saraf dan fisiologi lain, Jose Manuel Rodriguez Delgado (1915....), PhD tamatan Institut Cajal di Madrid, berbeda dengan pendapat Maclean. Menurut Delgado, tidak ada yang salah mengenai anatomi dan fisiologi otak kita. Problem kita bersumber pada pola-pola kultural dan edukasional yang diterima otak. Teorinya itu sekaligus menolak tesis bahwa secara alamiah kita tidak bisa menghindarkan diri dari perbuatan jahat/buruk. Penjelasan-penjelasan tadi bisa diperas menjadi beberapa kesimpulan. Antara lain bila kita menjadi tidak rasional, tidak manusiawi, tidak berbudi, patut kita ingat teori Paul Maclean bahwa yang sedang pegang kendali mungkin otak binatang yang ada di kepala. Akibatnya, kita menjadi serakah, sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah karena yang menentukan bukan manusia yang berakal budi, melainkan reptil atau mamalia rendah.

Kesimpulan lain pola-pola kultural dan edukasional, khususnya yang dipelopori orang-orang terdidik, sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat. Orang-orang terdidik itulah yang diteladani masyarakat sekitarnya. Itu sesuai dengan teori Delgado, yang rasanya lebih bisa diterima pikiran awam.

Paparan tersebut mencoba melihat dari sisi lain mengapa hidup manusia penuh kontradiksi. Untuk jawabannya, teori kedua ilmuwan itu patut direnungkan. Bila teori-teori mereka kita jadikan pedoman atau pertimbangan, semoga kita lebih mampu menjaga kesetiakawanan antarkita lewat komunikasi yang sejuk, damai, dan elegan. Kita bukan banal seperti binatang-binatang yang kita jadikan rujukan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/03/04/ArticleHtmls/04_03_2011_019_028.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: