BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tidak Menyatakan yang Benar

Tidak Menyatakan yang Benar

Written By gusdurian on Selasa, 18 Januari 2011 | 11.52

Albiner Siagian

Selain berita mengenai mafia pajak, ada berita hangat akhir-akhir ini.
Sejumlah tokoh agama dan lembaga swadaya masyarakat menuduh rezim SBY
melakukan kebohongan.

Tidak tanggung-tanggung, menurut mereka ada 18 jenis kebohongan yang
dilakukan rezim yang sedang berkuasa ini. Tuduhan ini menjadi lebih
serius karena yang menuduh adalah orang-orang yang selama ini menjadi
panutan masyarakat. Mereka dipercaya tidak memiliki agenda politik di
balik tuduhannya.

Mereka membagi kebohongan itu menjadi dua kelompok: kebohongan lama
dan kebohongan baru, yang masing-masing jumlahnya sembilan. Contoh
kebohongan lama adalah mengenai angka kemiskinan. Pemerintah
mengatakan jumlah masyarakat miskin adalah 31,02 juta, sedangkan
jumlah penerima raskin 70 juta. Itu berarti ada yang tidak beres
dengan angka ini. Sementara itu, janji mengenai penuntasan
pemberantasan korupsi adalah contoh kebohongan baru.

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi online mengartikan bohong sebagai
tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya atau bukan yang sebenarnya
(palsu). Maka, dengan pengertian ini, berbohong berarti menyatakan
yang tidak sebenarnya.

Berdasarkan bentuk dan motifnya, bohong banyak macamnya. Ada yang
dikenal sebagai bohong besar (big lie). Bohong besar berupaya untuk
mengelabui korban untuk memercayai yang sebenarnya kontradiktif dengan
apa yang dia ketahui, atau pemahaman umum. Ini adalah bentuk
pemutarbalikan fakta. Konon, Adolf Hitler adalah tokoh kebohongan ini.

Contoh berikutnya adalah bohong dengan pengabaian (lie by omission).
Kebohongan ini terjadi ketika seseorang gagal menyatakan yang
seharusnya dia katakan. Lebih tepatnya, kebohongan dengan pengabaian
adalah kegagalan menyatakan yang benar yang seharusnya dia katakan.
Jika hal ini terjadi secara sadar atau sengaja, maka itu dianggap
sebagai perbuatan dosa.

Jenis bohong lainnya, antara lain, adalah bersaksi palsu dan tidak
menepati janji.

Terlepas apakah tuduhan para tokoh agama dan LSM itu benar,
berdasarkan bentuk kebohongan, secara umum saya membagi kebohongan itu
menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah kebohongan dengan
pengabaian. Contohnya adalah klaim pemerintah atas jumlah penduduk
miskin saat ini. Berdasarkan angka statistik, pemerintah menyatakan
bahwa jumlah penduduk miskin adalah 31,02 juta. Akan tetapi, faktanya
ada 70 juta masyarakat yang antre untuk mendapatkan jatah beras untuk
rakyat miskin (raskin). Sulit bagi masyarakat untuk memahami perbedaan
angka yang sangat mencolok ini. Bagaimana mungkin ada 70 juta rakyat
penerima raskin, sementara yang miskin hanya 31 juta? Ada apa
sebenarnya di balik angka-angka ini? Pemerintah tidak menyatakan apa
yang sebenarnya terjadi.

Contoh kebohongan pengabaian kedua adalah mengenai pertumbuhan
ekonomi. Pemerintah dengan bangga menyatakan bahwa perekonomian tumbuh
5,8 persen dan indeks harga saham gabungan terus meningkat. Faktanya,
sebagian masyarakat tidak menikmati dampak pertumbuhan itu. Ini adalah
”permainan” angka. Sebagian besar rakyat tidak tahu bahwa angka 5,8
persen itu disumbang oleh perekonomian segelintir orang saja. Lagi-
lagi, pemerintah gagal menyatakan yang sebenarnya terjadi?Lying by
omission.

Kelompok kebohongan kedua adalah tidak atau belum menepati janji.
Contohnya adalah pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia,
dan kebebasan beragama. Sebagian masyarakat merasa pedang hukum hanya
tajam bagi rakyat kecil, tetapi tumpul bagi pejabat atau orang
berduit. Setiap hari masyarakat disuguhi pemandangan bagaimana hukum
dipermainkan oleh mafia hukum. Teramat banyak contoh untuk ini.

Pemerintah juga gagal melindungi rakyatnya. Kebebasan untuk beribadah,
suatu hak asasi yang dilindungi oleh konstitusi. Pemerintah seolah-
olah tidak berdaya membiarkan sekelompok masyarakat menindas
masyarakat lain ketika menunaikan kewajiban agamanya. Ini adalah
sebuah ironi di negeri yang mengaku menjunjung tinggi kebebasan
beragama.

Saya memaknai tuduhan ini sebagai bentuk keluh kesah tokoh masyarakat
yang peduli kepada bangsa ini. Mungkin, para tokoh kita ini merasa
cara dan pernyataan inilah yang paling pantas untuk diungkapkan untuk
menyikapi karut-marut keadaan bangsa ini. Ungkapan ini lebih kepada
pesan moral yang mengentakkan.

Karena itu, pemerintah tidak perlu kebakaran jenggot. Katakanlah yang
benar! Karena tidak mengatakan yang benar, sama bohongnya dengan
mengatakan yang tidak benar.

Albiner Siagian Guru Besar Tetap USU, Medan

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/17/04234933/tidak.menyatakan.yang.benar
Share this article :

0 komentar: