Greater Jakarta—yang disampaikan Rektor ITB di hadapan Presiden SBY
bersama dengan civitas academica ITB—sambil bertanya, ”apa
bedanyadengan konsep Mega(lo)politan Jakarta yang saya gulirkan sejak
lama?”Pertanyaan tersebut tentu dirasakan banyak pihak terkait dengan
ide tersebut.
Yang pasti persoalan di Jakarta tiada berhenti, bahkan kian menumpuk.
Seakan masalah di Jakarta terus berkejaran dengan seribu jurus yang
dikembangkan Pemerintah DKI Jakarta dan pihak-pihak berkompeten
lainnya dalam mengatasinya. Pemerintah DKI Jakarta mengajukan banyak
ide di tengah banyak persoalan menghimpitnya, mulai ide pajak
warteg,penertiban parkir di sejumlah ruas jalan, pengembangan monorel,
pengoperasian beberapa koridor baru Transjakarta. Bahkan sampai ide
untuk melarang menggunakan telepon seluler saat berkendara, ide untuk
“men-charge” sejumlah ruas jalan seperti layaknya jalan tol,
pembenahan manajemen PDAM, proyek banjir kanal, penghijauan,dan
kebersihan lingkungan serta ideide lain yang terus digodok.
Bukan Masalah Lokal
Masalah Jakarta tampak bukan masalah lokal kota Jakarta. Artinya
adalah bahwa persoalan yang menghimpit kota ini tidak mungkin
diselesaikan secara individual oleh manajemen pemerintahan yang
bertanggung jawab atas wilayah kota ini yang dalam hal ini adalah
Pemda Provinsi DKI Jakarta. Persoalan apa pun di Jakarta telah
beranjak menjadi persoalan yang harus ditangani oleh kerja sama
antarregional atau oleh pemerintah atasannya, yakni pemerintah pusat.
Tanda-tanda fungsi internal kota mulai dari primer hingga sekunder di
Jakarta yang kian berpola interdependensi dengan wilayah lain semakin
kuat didorong oleh perkembangan information technology( IT).Jumlah
penduduk yang terus membengkak,keberadaan kota ini sebagai pusat
bisnis dan jasa, pemerintahan, dan budaya juga membuat tidak mampunya
batas administratif wilayah kota menjadi indikator otoritatif
penyelesaian segala persoalan di DKI Jakarta.
Itulah sebabnya Bang Yos dan Rektor ITB menggulirkan ide-ide yang
terkait dengan fisik kota ini. Sebetulnya ide-ide apa pun terkait
fisik wilayah administrasi pemerintahan dalam menangani persoalan yang
berkembang di wilayah perkotaan tergolong dalam pendekatan ortodoks
atau konvensional (Prude’ homme, 2000). Pendekatan yang lebih maju
adalah pendekatan koordinasi regional dan pengembangan kelembagaan.
Dikatakan ortodoks karena kita bisa bayangkan jika Greater Jakarta
diwujudkan dan didorong oleh SBY dalam tahun 2012 katakanlah, kita
memiliki pemerintahan Jakarta yang mencakup wilayah hingga Cianjur dan
bahkan Sukabumi barangkali. Lalu, sampai kapan persoalan fungsi
internal kota yang diiringi dengan perluasan wilayahnya mampu
mengatasi masalah-masalah yang berkembang?
Bahkan kita bisa mengandai- andai bahwa pada tahun tertentu entah
kapan ke depan, seluruh Pulau Jawa bisa-bisa disebut sebagai Kota
Jakarta atau Pulau Jakarta Raya.Nanti bisa-bisa muncul istilah Jakarta
Island. Ortodoks di sini berarti mematikan wilayah lainnya. Ide
memindahkan Ibu Kota juga demikian, apakah dalam waktu yang sangat
lama dijamin kota yang ditinggalkan selesai permasalahannya? Atau kota
tujuan baru tidak timbul masalah yang sama kelak (SINDO,20/9/2010).
Bahkan kini, harus diingat bahwa kota-kota di dunia, sekecil apa
pun,adalah bagian dari globalisasi terutama akibat perkembangan IT.
Bisa jadi di wilayah terpencil manapun kini gara-gara IT terdapat
koneksi interdependensi aktor lokal dengan pemain internasional. Oleh
karena itu, jangankan dalam tingkat nasional, tingkat internasional,
penanganan perkotaan haruslah sistematis, terarah, melibatkan berbagai
stakeholder.Karena terdapatnya kedaulatan nasional, sudah pasti
pertama-tama adalah pelibatan secara aktif,komprehensif, dan pandangan
luas elemen nasional untuk sama-sama memajukan kota-kota nasional.
Bukan kota-kota tertentu, terlebih individual.Terlebih lagi diucapkan
oleh seorang presiden. Jakarta tidak sendirian. Jakarta harus
diselamatkan ya, tetapi harus melibatkan dan juga menyelamatkan
kotakota Indonesia secara bersamasama. Menyelamatkan Kota Jakarta saat
ini secara individual apakah menjamin dalam 100 atau 200 tahun akan
datang bagi kota tersebut tidak muncul kembali permasalahan yang sama?
Terlebih jaminan permasalahan yang sama tidak dihadapi oleh kota-kota
lain di Indonesia?
Pembangunan perkotaan juga merupakan barometer pembangunan
nasional.Mustahil pembangunan perkotaan tidak dikaitkan dengan
pembangunan nasional, terlebih perkotaan yang sudah saling terkait
antar wilayah. Berpikir hanya pada Jakarta, dengan Greater Jakarta
atau Mega (lo)politan Jakarta misalnya, memang mendesak saat ini
karena menumpuknya soal di Jakarta.
Harus ada jurus yang jitu untuk hal ini. Akan tetapi akan lebih baik
jika dilakukan juga secara lebih sistematis dan bersifat kelembagaan
bersama secara nasional. Berpikir hanya pada Jakarta memang dapat saja
menyelamatkan Jakarta dalam waktu dekat, tetapi dapat mengorbankan
pembangunan nasional karena pembangunan dapat menumpuk terus di Pulau
Jawa atau di Kota Jakarta saja sedemikian rupa. Dan dengan demikian
bersifat diskriminatif karena seolah mengabaikan keberadaan kota-kota
lainnya.
Penataan Kelembagaan Kekhususan
Terobosan manajemen internal Kota Jakarta sebaiknya dilakukan pada
level teknis yang menyangkut penanganan banjir dan transportasi. Ini
pun harus dengan kerja sama horizontal dan vertikal yang intensif.
Sangat dirasakan mendesaknya monorel, subway, dan mass-rapid
transportation lainnya dengan sistem transportasi terpadu. Penanganan
banjir dengan kanal barat dan timur digandeng dengan deep tunnel
sangat ditunggu- tunggu.
Tapi penanganan tersebut harus dibarengi dengan pengembangan tata
kelembagaan manajemen pemerintahan perkotaan secara nasional. Tata
kelembagaan manajemen pemerintahan perkotaan secara nasional ini di
Indonesia hingga detik ini belum ada. Yang ada adalah tata kelembagaan
pemerintahan daerah secara umum. Bahkan pemerintahan desa akan
dikembangkan lebih dalam lagi.
Dalam pemerintahan daerah,menurutUUNo32 Tahun 2004, hanya diatur dalam
satu pasal mengenai kelembagaan pemerintahan kota ini. Belum cukup
dalam pandangan saya. Jakarta adalah bagian dari tata kelembagaan
tersebut.Sebagai ibu kota RI,Jakarta mendapatkan tambahan status
karena ditempatinya pusat pemerintahan nasional. Secara fisik pusat
pemerintahan, sebagai ibu kota negara dapat saja dipindahkan. Hanya
perlu dipikirkan bagaimana kelembagaan ibu kota ini yang secara fisik
berubah, apakah UUD perlu diubah atau tidak.
Bagaimanastatuswilayahnya dalam konsep normatif, apakah ditempatkan
seperti Washington DC,atau Putra Jaya,di mana tidak ada local self
management di sana? Artinya sentralistik belaka,atau seperti apa? Jika
tidak dipindahkan, asalkan pembenahan tata kelembagaan perkotaan
secara nasional berjalan pun tidak masalah.
Tapi, terkait ibu kota negara, maka rekayasa kekhususan bagi Jakarta
ini harus dipikirkan masak-masak bersamaan dengan tata kelembagaan
perkotaan nasional tadi.Ini baru tidak pragmatis, tidak ortodoks,
tidak konvensional,dan tidak diskriminatif seperti dalam sebutan
Greater Jakarta atau Mega (lo)politan Jakarta.(*)
Prof Irfan Ridwan Maksum
Guru Besar Tetap Ilmu
Administrasi Negara FISIP UI
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar