BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Salahkah Vonis Hakim atas Gayus?

Salahkah Vonis Hakim atas Gayus?

Written By gusdurian on Jumat, 21 Januari 2011 | 10.33

Neta S Pane

Vonis tujuh tahun yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan kepada Gayus Halomoan Tambunan membeliakkan publik.
Rasa keadilan masyarakat terusik. Salahkah majelis hakim dalam
menjatuhkan putusannya kepada Gayus?

Memang apa yang benar dan yang salah bisa berbeda menurut kepentingan
pihak yang terlibat. Dalam kasus Gayus, ada rujukan yang bisa jadi
yurisprudensi. Hakim Muhtadi Asnun yang dapat suap 20.000 dollar AS
dari Gayus hanya divonis dua tahun penjara. Gubernur Aceh Abdullah
Puteh yang korupsi Rp 13,8 miliar hanya divonis 10 tahun.

Dari yurisprudensi ini—mungkin—majelis hakim merasa pantas memvonis
Gayus tujuh tahun. Soalnya, perkara yang diusut Polri dan dilimpahkan
jaksa ke pengadilan sebatas keterlibatan Gayus dalam kasus pajak PT
Surya Alam Tunggal yang merugikan negara Rp 570 juta.

Salahkah hakim dengan putusannya? Salahkah hakim hanya berkutat pada
pelanggaran hukum yang dilakukan terdakwa berdasarkan berita acara
pemeriksaan yang dibuat Polri? Salahkah apabila hakim berkutat pada
batas-batas regulasi yang bisa dikenakan secara pantas dan benar.

Haruskah hakim memaksakan diri menyamakan hukuman antara korupsi Rp
13,8 miliar dan korupsi Rp 570 juta?

Pembelajaran

Vonis perkara Gayus ini hendaknya jadi pembelajaran, khususnya bagi
Presiden SBY yang selalu ”bersemangat” dalam pemberantasan korupsi dan
mafia hukum. Vonis Gayus harus dapat membuka mata hati bangsa ini
bahwa hulu pembicaraan mengenai penegakan hukum adalah kepolisian.
Hulu tercemar membuat muara juga kotor. Untuk itu, Polri perlu
prioritas pembenahan dengan kontrol ketat.

Sejak awal, dalam menangani kasus Gayus, Polri sudah terjebak dalam
aksi permainan mafia hukum. Informasi rekening yang mencurigakan milik
Gayus yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) kepada Polri justru berbuah vonis bebas di pengadilan.
Rekening Gayus Rp 28 miliar yang diblokir bisa dibuka tanpa proses
hukum. Gayus yang ditahan di Rutan Brimob bisa lenggang kangkung 68
kali, bahkan sempat pelesir ke luar negeri.

Ironisnya, di saat publik menyoroti kaburnya Gayus ke Bali, Polri
hanya menjeratnya dengan perkara ringan, perkara yang merugikan negara
Rp 570 juta. Padahal, secara terbuka publik tahu persis Gayus punya
dana Rp 28 miliar ditambah Rp 75 miliar yang masih diblokir Polri.
Hasilnya, hakim memvonis tujuh tahun. Salahkah majelis hakim?

Sejak awal perkara ini dilimpahkan ke pengadilan, banyak kalangan yang
memprediksi bahwa hukuman yang diterima Gayus tak akan maksimal dan
tak memuaskan rasa keadilan publik. Soalnya, perkara dan dakwaannya
tak menyentuh substansi perkara Gayus: menyangkut mafia hukum dan
mafia pajak.

Evaluasi Polri

Sejak awal, banyak kalangan yang tak percaya terhadap profesionalisme
Polri dalam menangani perkara ini. Desakan agar KPK segera mengambil
alih kasus Gayus pun bermunculan. Sayangnya, Presiden yang diharapkan
ikut memberikan kekuatan moral kepada KPK justru mengeluarkan
pernyataan agar Polri tetap melanjutkan penanganan kasus Gayus.

Dari vonis Gayus ini diharapkan Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo
mau introspeksi. Sudah saatnya pula Presiden segera mengevaluasi
kinerja Polri secara ketat. Jikapun Polri masih harus menangani kasus
Gayus, seperti dugaan pemalsuan paspor, perlu ada perombakan yang
kentara terhadap Badan Reserse Kriminal Polri. Tujuannya agar lembaga
itu tak terjebak konflik kepentingan yang dapat menyeret Polri jadi
tak profesional.

Inti kasus Gayus sesungguhnya adalah pembukaan blokir terhadap dana Rp
28 miliar yang diduga melibatkan oknum perwira tinggi Polri. Jika
kasus ini dibongkar, akan terungkap empat hal penting. Pertama, aliran
dana Rp 28 miliar terungkap. Kedua, siapa yang jadi tulang punggung
bagi Gayus bisa diketahui. Ketiga, dari mana asal-usul uang Gayus,
terbuka. Keempat, mafia hukum dan mafia pajak di balik Gayus pun jadi
terang-benderang.

Namun, untuk mengungkap inti kasus Gayus, kita tak dapat berharap lagi
kepada Polri. Konflik kepentingan yang mencengkeram dan membelenggu
Polri sudah sangat kuat. Yang diharapkan membongkarnya untuk kemudian
membawa pihak-pihak yang terlibat ke pengadilan tindak pidana korupsi
tentulah KPK.

Bagaimanapun, kita tak ingin energi bangsa ini terkuras habis hanya
mengurusi kasus Gayus. Kita juga tak ingin melihat penegakan hukum
serta pemberantasan mafia hukum dan mafia pajak hanya bertumpu pada
retorika-retorika kosong. Kita ingin melihat anak-anak bangsa ini
menjalankan penegakan hukum yang berkeadilan dan membangun moral sebab
hukum yang tidak adil bukanlah hukum yang sesungguhnya.

Neta S Pane Ketua Presidium Indonesia Police Watch

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/21/04350094/salahkah.vonis.hakim.atas.gayus


Kontroversi Vonis Gayus


Eddy OS Hiariej

Nemo prudens punit, quia pecatum, sed ne peccetur (orang bijak tidak
menghukum karena dilakukan dosa, tetapi agar tidak lagi terjadi dosa).
Demikian Seneca merujuk ajaran filsuf Yunani, Plato.

Ajaran tersebut adalah landasan filsafati tujuan pidana sebagai upaya
pencegah umum (general prevention). Artinya, seseorang harus
mendapatkan hukuman yang setimpal atas kejahatan untuk mencegah orang
lain melakukan kejahatan yang sama. Perihal berat-ringannya pidana,
ada tiga faktor yang amat memengaruhi.

Pertama, faktor undang-undang. Undang-undang mengatur maksimum pidana
yang boleh dijatuhkan hakim. Maka dapat saja dalam perkara pidana,
hakim menjatuhkan pidana melebihi tuntutan jaksa. Ini berbeda dengan
perkara perdata yang mana hakim tidak boleh menjatuhkan putusan
melebihi gugatan penggugat (nonultra petita).

Kedua, motivasi seseorang melakukan kejahatan. Dari motivasi diketahui
keseriusan seseorang melakukan kejahatan berikut modus operandinya.
Motivasi ini pula yang menentukan apakah kejahatan dilakukan karena
niat jahat (dolus malus) dari dirinya atau ada faktor lain yang sangat
memengaruhinya untuk melakukan kejahatan.

Ketiga, persepsi masyarakat terhadap kejahatan yang dilakukan. Faktor
ketiga ini bersifat dilematis. Di satu sisi, hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana hanya berdasarkan opini publik. Di sisi lain,
persepsi masyarakat menggambarkan rasa keadilan yang wajib
diperhatikan hakim saat menjatuhkan putusan. Itu sebabnya, Amerika
sampai saat ini masih mempertahankan sistem juri untuk menentukan
benar-salah seseorang. Selama persidangan berlangsung, para juri
diisolasi agar obyektif.

Vonis terhadap Gayus

Dalam konteks vonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta yang
dijatuhkan terhadap Gayus, pertanyaannya adalah apakah vonis sudah
memerhatikan ketiga faktor di atas?

Ada sejumlah anotasi terhadap putusan itu. Pertama, dari segi undang-
undang. Jaksa penuntut umum memaksimalkan tuntutan sesuai ancaman
terberat atas kejahatan yang dilakukan, yakni 20 tahun penjara.

Dalam konteks pembuktian, jaksa penuntut umum sangat percaya diri
karena berdasarkan bukti yang valid, ia berhasil meyakinkan hakim atas
kejahatan serius yang dilakukan Gayus.

Ketika hakim hanya menjatuhkan tujuh tahun penjara kepada Gayus,
hampir dapat dipastikan jaksa penuntut umum akan melakukan banding.
Jika putusan pengadilan berada di bawah dua pertiga tuntutan jaksa,
umumnya ada upaya hukum terhadap putusan itu.

Kedua, motivasi Gayus melakukan kejahatan adalah untuk memperkaya diri
sendiri dengan menggelapkan pajak yang seharusnya disetor ke kas
negara. Gayus memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang ada padanya
terhadap 149 perusahaan. Hal ini menunjukkan tingkat keseriusan
kejahatan dengan modus operandi yang hanya dapat diketahui oleh
internal Direktorat Jenderal Pajak. Tingkat kejahatan Gayus kian
serius karena melibatkan sejumlah oknum polisi, jaksa, dan hakim ke
dalam kubangan mafia peradilan.

Ketiga, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa dalam melakukan
pidana Gayus tidak sendirian sehingga dianggap sebagai hal yang
meringankan, padahal seharusnya justru sebaliknya. Dalam hukum pidana
ketika twee of meer verenigde personen (dua atau lebih orang
bersekutu) melakukan kejahatan berarti ada delik penyertaan. Ini jelas
menunjukkan tingkat keseriusan kejahatan dari adanya perencanaan dan
niat jahat untuk bertindak korup. Dapat dikatakan bahwa kejahatan yang
dilakukan Gayus adalah kejahatan sistematis yang terorganisasi
sehingga harus dianggap memberatkan.

Keempat, masih terkait pertimbangan hakim yang meringankan bahwa Gayus
belum pernah dihukum. Pertimbangan demikian terlalu sumir mengingat
bebasnya Gayus di PN Tangerang adalah rekayasa jaksa penuntut umum dan
hakim, yang telah divonis bersalah karena menerima suap dari Gayus.

Kelima, hal lain yang seharusnya dipertimbangkan hakim sebagai sesuatu
yang memberatkan adalah bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi
PBB mengenai antikorupsi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Berdasarkan
konvensi tersebut, kejahatan yang dilakukan Gayus masuk kualifikasi
illicit enrichment, yaitu memperkaya diri sendiri secara ilegal dan
menyuap pejabat publik, yang notabene sebagai kejahatan internasional.

Keenam, rasa keadilan yang dipersepsikan masyarakat terhadap kejahatan
yang dilakukan oleh Gayus sama sekali tidak dipertimbangkan hakim.

Hukum porak poranda

Seorang mantan narapidana menciptakan lagu ”Andaiku Jadi Gayus
Tambunan” dengan syair sinis, mencerminkan bagaimana Gayus
memorakporandakan penegakan hukum di Indonesia.

Selama proses persidangan, status Gayus adalah tahanan. Salah satu
syarat subyektif penahanan adalah agar tersangka tidak mengulangi
tindak pidana yang disangkakan. Fakta ironis justru terjadi pada
Gayus. Meskipun dalam status tahanan, dia tetap mengulangi kejahatan
yang disangkakan dengan menyuap aparat sehingga bebas bertamasya ke
Bali, Kuala Lumpur, dan Makau, belum lagi terlibat memalsukan paspor.
Aneh bin ajaib, hal-hal ini sama sekali tidak masuk yang memberatkan
Gayus.

Sebagai catatan akhir, kalau kasus mafia pajak dan mafia hukum hanya
berhenti sampai di sini tanpa menyentuh para koruptor kelas kakap di
atasnya, maka vonis Gayus tidak akan mampu mencegah orang lain berbuat
demikian sebagaimana dimaksud pada awal tulisan.

Hukuman tujuh tahun terlalu ringan bagi Gayus, belum lagi ditambah
remisi dan pembebasan bersyarat dari negara yang tidak jelas
parameternya. Semua hanya akan semakin mencederai rasa keadilan
masyarakat.

Eddy OS Hiariej Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/21/04343094/kontroversi..vonis.gayus
Share this article :

0 komentar: