BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Democracy is Noisy

Democracy is Noisy

Written By gusdurian on Jumat, 21 Januari 2011 | 10.28

DEMOKRASI itu selalu gaduh.Itu terjadi di mana-mana.Yang tidak gaduh
adalah negara yang dipimpin oleh penguasa tiran atau diktator yang
memberangus kebebasan berpendapat dan mengontrol media massa.

Hanya saja,hampir semua tiran akan dilawan dan diturunkan rakyatnya
sendiri di tengah jalan. Terlebih tiran yang korup,mencari senang
sendiri di atas penderitaan rakyat. Panggung politik Indonesia pun
semakin gaduh sejak era Reformasi dimulai.Namun, perlu dipertanyakan,
apakah topik yang membuat gaduh panggung politik itu bermutu ataukah
tidak? Memihak untuk kesejahteraan rakyat ataukah hanya untuk
sekelompok elite politik dan birokrat?

Perlu dicermati bersama, apakah kegaduhan wacana politik itu
membuahkan hasil nyata untuk kemajuan bangsa dan pematangan demokrasi,
ataukah kegaduhan yang tidak jelas ujung pangkalnya, padahal
berlangsung dengan biaya uang rakyat yang teramat mahal. Ada tiga
wacana hangat dalam pentas politik nasional yang menarik diikuti akhir-
akhir ini. Pertama, wacana seputar rencana penyederhanaan jumlah
partai politik (parpol) peserta pemilu.Semakin sedikit jumlah parpol,
akan semakin mengurangi kegaduhan dan tawar-menawar antarkekuatan
politik untuk berebut dan berbagi kekuasaan.

Semakin banyak parpol, semakin ramai dan riuh rendah pentas politik
khususnya menjelang pemilu. Kedua, tudingan sekelompok tokoh lintas
agama terhadap pemerintahan SBY yang dinilai berbohong, yaitu tidak
sesuai antara apa yang dijanjikan dalam kampanye dan berbagai
pernyataan dengan kinerjanya serta realitas sosial yang dikemukakan.
Ketiga,skandal korupsi mafia pajak dengan aktor Gayus,namun proses
penyidikannya berputar-putar di tempat, seakan pelakunya hanya aktor
tunggal Gayus Tambunan.

Tentu saja masih banyak diskusi, adu pernyataan,dan saling tuding-
menuding di kalangan elite politik dan pejabat tinggi negara untuk
membela dan membenarkan posisinya masing-masing,sehingga politik dan
demokrasi benar-benar restless and noisy,membuat suasana gerah dan
gaduh. Tetapi, lagi-lagi, kita bertanya apakah kegaduhan itu memang
fokus dan bergerak maju untuk meningkatkan kualitas demokrasi serta
menyejahterakan rakyat ataukah malah menambah kemunduran dan beban
rakyat?

Jika direnungkan, terdapat empat kategori kelompok dalam menyikapi
situasi politik dan pemerintahan sekarang ini. Pertama, mereka yang
propemerintahan SBY, yang kemudian berusaha membelanya dengan
menyampaikan data dan argumentasi atas prestasi yang diraih. Kedua,
mereka yang anti-SBY, yang selalu mencela dan menunjukkan sisi lemah
dan kegagalannya. Apa pun prestasi SBY tertutup oleh
kekurangannya,sikap ini kebalikan dari mereka yang pro-SBY.

Ketiga, mereka yang kritis dan ingin menyampaikan nasihat serta
koreksi terhadap pemerintahan SBY, namun tidak punya agenda untuk
menjatuhkan di tengah jalan.Ini dilakukan demi kebaikan pemerintah
maupun masyarakat dan bangsa. Keempat, mereka yang apatis, tidak mau
tahu terhadap panggung politik. Ini bisa saja disebabkan oleh rasa
jenuh dan putus asa atau memang sama sekali tidak tertarik panggung
politik dari sononya..

Masyarakat yang punya kenangan dan kebiasaan hidup damai, yang tak
pernah melihat perdebatan terbuka di media massa tentang pemerintahan,
tentu ada perasaan tidak nyaman dengan kegaduhan wacana politik yang
berkembang sekarang ini. Dulu di zaman ”normal”, maksudnya masa Orde
Baru,kata orang kampung, orang sangat berhatihati menyampaikan
kritik.Jangankan kritik terhadap Presiden, terhadap menteri saja
sangat hatihati dan ada rasa takut. Pada pak camat, wali kota, atau
bupati, masyarakat hanya bisik-bisik di belakang kalau tidak
senang.Siapa yang mengkritik dan mencaci penguasa bisa panjang
urusannya.

Tetapi,di era demokrasi saat ini forum untuk mengkritik terhadap
kebijakan pemerintah dan terhadap parpol pesaingnya berlangsung begitu
terbuka, tajam, dan kadangkala sinis serta sarkastik. Mungkin saja
bangsa ini lagi mengalami ”puber demokrasi”. Yang lebih ditonjolkan
kebebasan bersuara, namun aspek ketaatan pada hukum dan etika––yang
juga merupakan bagian dan karakter integral demokrasi––
diabaikan.Demokrasi yang hanya menonjolkan kebebasan, namun melalaikan
ke-tegasan hukum serta etika ujungnya akan menghancurkan dirinya
sendiri.

Dan tampaknya hal ini tengah berlangsung. Korupsi semakin merata,
sementara wibawa lembaga penegak hukum yakni kepolisian,kehakiman, dan
kejaksaan menurun.Ini sangat berbahaya karena akan mendevaluasi makna
demokrasi dan merongrong wibawa pemerintahan. Saya sendiri menunggu
dan melihat dengan cemas serta geregetan apa yang akan dilakukan
pemerintah. (*)

KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/377261/
Share this article :

0 komentar: