BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Politik Bola, Bola Politik

Politik Bola, Bola Politik

Written By gusdurian on Selasa, 18 Januari 2011 | 11.05


Oleh
Indra J Piliang
Dewan Penasehat The Indonesian Institute
Akhir tahun 2010 ditandai dengan fatamorgana kebangkitan sepakbola Indonesia. Bola memasuki ruang publik sedemikian masif. Dunia infotainment yang semula diisi para artis atau kalangan yang dekat istana, kini mulai dihuni para olahragawan sepakbola. Euforia terjadi di bidang olahraga penuh talenta. Semua kalangan merasa perlu dekat dengan kalangan olahragawan ini.
Yang tak kalah penting adalah gejala – yang dikatakan sebagian orang -- politik memasuki area sepakbola. Kata sebagian orang. Padahal, dari sisi siapa yang menangani sepakbola, itu bukan fenomena baru. Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi juga memiliki klub sepakbola: AC Milan. Mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra malahan sempat membeli klub Manchester City, Inggris.
Silvio dan Thaksin pernah menghadapi situasi politik yang buruk. Kalah atau tersingkir. Atau hidup di pengasingan. Seniman dan sekaligus mantan Presiden Cekoslovakia Vaclav Havel pernah menyebut: politik itu kotor, puisi yang membersihkannya. Kini, dengan euforia bola, kita bisa juga mengatakan: politik itu kotor, bola yang menghiburnya.
Apakah betul politisi Indonesia yang terjun ke dunia sepakbola – antara lain menjadi pengurus PSSI – benar-benar sedang mencari hiburan dengan bola? Ataukah ada yang lain? Kepentingan politik, misalnya? Di sini, politik diartikan sebagai upaya untuk membuat agar kehadiran seorang politisi di dunia bola, atau dukungan yang ia berikan kepada kegiatan sepakbola, akan berimbas kepada dukungan suporter kepada kepentingan politik sang politisi. Bahwa bola akan melahirkan para penguasa.
Bagi saya, itu adalah guyonan. Tak ada korelasinya. Baik dalam praktek selama ini, ataupun dalam bentuk yang lebih ilmiah, katakanlah lewat mekanisme survei. Dalam pemilu legislatif 2009 lalu, misalnya, politisi mengeluarkan begitu banyak uang untuk membiayai beragam aktivitas olahraga. Apa lacur? Banyak politisi menjadi bangkrut, baik secara finansial, maupun secara politik. Politisi menghabiskan biaya banyak, tanpa balasan dukungan suara.
Isu bola, sebagaimana dengan pemberantasan korupsi, termasuk tak populer bagi mayoritas pemilih. Pemilih lebih memperhatikan masalah-masalah mendasar seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Bahkan, isu-isu agamapun terabaikan. Bola lebih terkait dengan keintiman pribadi, ketimbang kepentingan kolektif atas nama politik.
Jadi, upaya “men-sekuler-kan” hubungan antara bola dengan politik adalah usaha yang sia-sia. Toh, paling tidak di Indonesia, keduanya tak pernah benar-benar bersatu. Sejak lama bola dan politik tidak saling berhubungan. Rp. 500 Juta uang yang digunakan seorang kawan dalam liga sepakbola di dapilnya, hanya berbuah 4.000-an suara pemilih. Yang 4.000-an pemilih itupun bukan penonton sepakbola, tapi lebih banyak sanak-keluarga dekatnya. Nah, bandingkan kalau bantuan itu diberikan ke suatu pesantren atau komunitas tertentu, bisa jadi sebagai bentuk kesantunan sikap akan berbuah suara besar.
Kegiatan menonton bola dan menyukai klub-klub tertentu adalah area yang lepas dari nuansa turun-naik tensi politik. Saya sejak lama menyukai Chelsea di Inggris, Inter Milan di Italia dan Barcelona di Spanyol. Saya menyukai Zola, Christian Vieri dan Rivaldo. Tapi tidak mesti kesukaan itu lantas memasuki dunia politik. Saya tidak pernah mau tahu pandangan-pandangan politik Zola, Vieri dan Rivaldo.
Bola hanya mengajarkan tentang humanisme dalam bentuk yang lain. Tanpa perlu filsuf-filsuf moderen, bola memperlihatkan bagaimana kelas-kelas sosial pelan-pelan digerus dan menerima kebhinnekaan-budaya. Beberapa klub sempat menjadi rasis dengan tak menerima pemain-pemain berwarna, terutama dari Afrika. Dan itu masih di awal abad 21. Tetapi, perlahan, FIFA memperketat peraturan. Bola menjadi lebih ramah dengan kemajemukan. Bola menjadi medan perjuangan.
Share this article :

0 komentar: