meningkat sangat signifikan. Kini hampir semua aspek kehidupan
masyarakat bahkan turut ditentukan oleh orangorang parpol.
Ironisnya, tidak ada upaya serius para politisi parpol membenahi dan
mereformasi diri. Mengapa reformasi kepartaian cenderung berjalan di
tempat? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa parpol adalah salah satu
pilar sistem demokrasi.Secara teoritis, parpol adalah wadah bagi
rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya serta memilih
para wakil dalam jabatan publik di lembaga legislatif dan eksekutif.
Namun, dalam realitasnya di negeri kita, alih-alih berjuang demi
kepentingan rakyat, para politisi parpol di Parlemen dan pemerintahan
justru sibuk melayani diri, keluarga,dan kelompok sendiri. Meskipun
tiga momentum pemilu demokratis telah berlangsung sejak 1999 hingga
2009,dan sistem pemilu semakin langsung,ternyata kualitas kinerja
parpol dan para politisi tidak kunjung lebih baik.
Korupsi dan suap yang berkembang di kalangan anggota DPR dan DPRD,
serta juga kolusi politik antara pemerintah dan Parlemen, di pusat dan
daerah,kini menjadi berita sehari-hari di tengah kesulitan sebagian
rakyat kita yang masih terhimpit kemiskinan. Pada saat yang sama
penyelesaian berbagai kasus besar seperti skandal Bank Century dan
kasus Gayus Tambunan tidak pernah tuntas karena terpenjara oleh
kepentingan parpol.
Skandal bailout Rp6,7 triliun terhadap Bank Century konon tak bisa
diungkap karena diduga melibatkan Partai Demokrat yang tengah
berkuasa. Sementara kasus mafia pajak di balik kasus Gayus belum bisa
dibongkar tuntas lantaran diduga melibatkan kelompok usaha keluarga
Aburizal Bakrie,Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua Harian
Sekretariat Gabungan Parpol pendukung Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Penumpang Gelap
Sebenarnya tidak begitu sulit mencari penjelasan di balik karutmarut
negeri kita yang kini sangat ditentukan oleh kalangan politisi
parpol.Pertama,sejak awal kalangan parpol sesungguhnya tidak pernah
memiliki agenda dan haluan politik yang jelas mengenai arah negeri
kita setelah tibatiba mantan Presiden Soeharto mengundurkan pada 21
Mei 1998. Agenda reformasi lebih dimiliki oleh para aktivis organisasi
masyarakat sipil, akademisi, dan para aktivis mahasiswa ketimbang para
politisi parpol.
Dalam bahasa yang sudah sering dikemukakan, para politisi parpol
adalah penumpang gelap yang kemudian mengambil alih kemudi reformasi
yang sebelumnya diperjuangkan dengan darah para aktivis mahasiswa dan
berbagai gerakan masyarakat sipil. Kedua, sebagai konsekuensi faktor
pertama,kehadiran puluhan parpol pasca-Soeharto tampaknya semata-mata
berorientasi perebutan kekuasaan yang ditinggalkan unsur-unsur Orde
Baru (Golkar, militer, dan birokrasi) ketimbang perubahan kehidupan
bangsa kita ke arah yang lebih baik.
Semula memang ada sejumlah parpol yang memiliki komitmen besar
membenahi negeri kita, tetapi sebagian gagal dalam pemilu dan sebagian
lainnya justru turut larut dalam gelimang nikmat kekuasaan. Ketiga,
hampir tidak pernah ada perdebatan mengenai arah sistem kepartaian
yang dianggap tepat ketika demokrasi presidensial dipilih MPR sebagai
skema sistem pemerintahan yang dianut negeri kita. Perdebatan baru
muncul beberapa tahun terakhir, yakni tatkala “kawin campur” yang
dipaksakan antara presidensialisme dan sistem multipartai ternyata
berimplikasi pada tidak efektifnya pemerintahan.
Reformasi Kepartaian
Sulit dipungkiri bahwa faktor penting dibalik karut-marut bangsa kita
dewasa ini adalah rendahnya komitmen moral para politisi parpol di
satu pihak, dan realitas “kawin campur” antara presidensialisme dan
sistem multipartai di pihak lain. Karena itu, problem reformasi
kepartaian tidak hanya terkait upaya membentuk sistem multipartai
sederhana dalam rangka efektivitas pemerintahan, tapi juga perlunya
upaya serius “mendidik” para politisi parpol agar lebih peduli dan
bertanggung jawab terhadap masa depan negeri ini.
Dilemanya kesadaran para politisi untuk mengubah perilaku mereka dapat
dikatakan masih nol besar.Fenomena pelesir atas nama studi banding
yang tak pernah berhenti, tingkat kehadiran yang sangat minim dalam
persidangan, dan transaksi kekuasaan dengan motif berburu rente adalah
beberapa contoh betapa bobroknya moralitas para politisi parpol di DPR
dan DPRD.Kritik dan protes keras publik yang bertubi-tubi melalui
berbagai media tak pernah digubris dan dianggap angin lalu yang
mengganggu kenyamanan mereka menikmati kekuasaan.
Ironisnya, perubahan atau revisi UU Parpol dan UU Pemilu yang
dilakukan setiap menjelang pemilu hampir tidak pernah menyentuh soal-
soal penting seperti ini.Seperti tercermin dalam pembahasan RUU Parpol
(yang sudah disahkan) dan UU Pemilu dewasa ini, perhatian para
politisi parpol hanya terfokus pada upaya mereka merebut dan
mempertahankan kekuasaan. Isu parpol masuk KPU misalnya mencerminkan
hal ini.Padahal, reformasi kepartaian menuju sistem multipartai
sederhana yang dianggap cocok dengan skema presidensialisme tak akan
pernah bermanfaat jika perilaku, kualitas komitmen, dan moralitas para
politisi parpol masih buruk seperti sekarang.
Konsolidasi Masyarakat Sipil
Masih adakah peluang bagi reformasi kepartaian? Peluang tersebut
sebenarnya cukup besar jika konteks reformasi terbatas pada
pembentukan sistem kepartaian yang mendukung efektivitas sistem
presidensial.Wacana ambang batas parlemen yang persentasenya
diperbesar, ataupun besaran daerah pemilihan yang diusulkan
diperkecil, adalah beberapa contoh rekayasa institusional yang
mengarah ke sana. Hanya saja, problematika dan tantangan terbesar yang
dihadapi bangsa kita dewasa ini adalah reformasi kepartaian dalam
konteks perubahan perilaku dan moralitas para politisi parpol itu
sendiri.
Problematika itu berpangkal pada fakta bahwa segenap perubahan
perundang-undangan akhirnya ditentukan oleh para politisi parpol di
DPR.Akibat itu, setiap upaya rekayasa institusional yang mengarah pada
perubahan perilaku dan moralitas para politisi hampir selalu dihambat
oleh mereka sendiri. Karena itu,satu-satunya harapan untuk memaksa
para politisi mengubah perilaku, komitmen, dan moralitas mereka adalah
semakin meningkatnya kerja sama dan konsolidasi masyarakat sipil.
Berbagai cara bisa ditempuh seperti melakukan gugatan secara class
action terhadap politisi busuk tertentu yang dianggap korup ataupun
tidak memperjuangkan aspirasi konstituennya. Kalau tidak, negeri ini
akan semakin terperangkap seperti dikhawatirkan Bung Hatta, yakni
ketika “partai menjadi tujuan dan negara menjadi alatnya”.(*)
Syamsuddin Haris
Kepala Pusat Penelitian
Politik LIPI
http://www.seputar-indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar