Indonesia memiliki konsumen terbesar pengguna BlackBerry dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lain sehingga posisi tawar Indonesia
semakin diperhitungkan. Sudah wajib bagi pemerintah menekan RIM agar
membuka cabangnya di Indonesia.
olemik Research In MoP tion (RIM), perusahaan pemilik BlackBerry, de
ngan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring masih
berlanjut. Pihak RIM memprotes keras anggapan Tifatul Sembiring bahwa
mereka tidak membayar pajak. Sebelumnya, dalam tweet @tifsembiring,
Tifatul Sembiring mengatakan bahwa RIM tidak pernah sepeser pun
membayar pajak di Indonesia. Menurut dia, setiap tahun RIM dapat
mengeruk keuntungan Rp 2,268 triliun. Lantas, bagaimana seharusnya
perlakuan perpajakan bagi RIM?
Ketika menjual BlackBerry kepada konsumen, sebenarnya RIM telah
berhasil menjual dua produk sekaligus, yaitu handset atau perangkat
telepon seluler itu sendiri dan layanannya. Handset BlackBerry masuk
ke Indonesia melalui mekanisme impor, sehingga telah dikenai pajak.
Namun, untuk layanannya, atau dikenal dengan BlackBerry Internet
Services (BIS) dan BlackBerry Enterprise Service (BES), masih ada
kemungkinan luput dari pengenaan pajak.
Yang dimaksudkan oleh Tifatul Sembiring adalah pajak atas layanan BIS
dan BES ini, bukan atas impor handset-nya, seperti yang dikatakan oleh
Gregory Wade, Managing Director RIM untuk AsiaPasifik.
Layanan yang ada pada BlackBerry, BIS dan BES, dioperasikan di atas
jaringan seluler milik operator di Indonesia. Saat ini tercatat 3 juta
pelanggan menggunakan BlackBerry pada enam operator seluler di
Indonesia. Menarik, karena semua layanan disediakan langsung oleh RIM,
yang berpusat di Waterloo, Ontario, Kanada. Pihak operator diharuskan
menyetorkan semua biaya sehubungan dengan layanan tersebut, yaitu
biaya list line untuk koneksi dari operator ke RIM dan ada juga biaya
lisensi yang dibayar ke pelanggan.
Sumber pendapatan lain dari RIM adalah biaya software dan airtime bagi
pelanggan korporasi yang memerlukan server khusus. Perlakuan pajak
Penghasilan RIM terbagi menja di dua, yaitu dari penjualan handset
serta setoran dari operator lokal hasil pemakaian layanan BIS dan BES.
Agak unik mekanisme penjualan handset RIM ini, karena mereka mempunyai
agen khusus penjualan yang menangani penjualan handset di Indonesia.
Nah, agen inilah yang kemudian bekerja sama dengan operator lokal
untuk memasarkan handset-nya. Kalau agen khusus itu melakukan impor,
sudah pasti dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) impor, pajak
penjualan atas barang mewah impor, dan pajak penghasilan (PPh) pasal
22 impor.
Yang patut diwaspadai adalah adanya pasar gelap, black market.
Dari 3 juta pelanggan BlackBerry di Indonesia, sekitar 1 juta meng
gunakan unit BlackBerry yang berasal dari pasar gelap.
Setidaknya triliunan rupiah uang pajak raib aki bat penjualan handset
BlackBerry yang ilegal ini.
Jenis pajak yang mungkin dikenakan kepada layanan RIM adalah pajak
penghasilan final dan PPN.
Setiap jasa yang disediakan oleh RIM dibayarkan oleh pelanggan melalui
operator seluler di Indonesia. Operator seluler inilah yang kemudian
membayar biaya-biaya sehubungan dengan sewa jaringan (list line), sewa
lisensi, atau biaya lainnya. Caranya sangat seder hana, pi hak ope
rator di wajibkan memotong pajak atas biaya jasa yang dibayar kan
tersebut.
PPh final, merujuk pada Pasal 23 UU PPh, dikenakan atas jasa sewa ja
ringan dan jasa instalasi peranti lunak (software) dengan tarif 2
persen dari jumlah bruto yang dibayarkan.
Sehingga, apabila setiap tahunnya RIM memperoleh penghasilan, tidak
termasuk hasil penjualan handset, sebesar Rp 2,268 triliun, PPh final
yang wajib dipotong oleh operator seluler lokal di Indonesia sebesar
Rp 45,6 miliar per tahun. Selain PPh final, pajak lain yang dapat
dikenakan kepa da RIM adalah PPN atas jasa yang diberikan. Keten tuan
ini diatur dalam UU PPN, di mana jasa yang berkaitan dengan
telekomunikasi merupakan jasa kena pajak. Jasa di bidang
telekomunikasi juga tidak termasuk dalam daftar jasa negative list
pada pasal 4-A, sehingga wajib dipungut oleh pemungut PPN, dalam hal
ini operator seluler di Indonesia. Artinya, setiap tahun RIM akan
dipungut PPN-nya sebesar 10 persen dari penghasilan atas jasa yang
diberi kan atau Rp 453,6 miliar.
Sampai saat ini, RIM belum membuka cabangnya di Indonesia.
Terakhir, mereka akan membangun server terpadu level ASEAN, yang belum
ditentukan akan berada di negara mana. Indonesia memiliki konsumen
terbesar pengguna BlackBerry dibandingkan dengan negara-negara ASEAN
lain sehingga posisi tawar Indonesia semakin diperhitungkan. Sudah
wajib bagi pemerintah menekan RIM agar membuka cabangnya di Indonesia.
Keuntungannya, selain dapat mengawasi langsung kegiatan operasional
RIM, akan ada pendapatan dari pajak atas keuntungan perusahaan atau
cabang atau bentuk usaha tetapnya. Bentuk usaha tetap RIM di Indonesia
akan otomatis menjadi wajib pajak dalam negeri.
Alhasil, semua perlakuan pajak terhadap wajib pajak dalam negeri akan
juga dikenakan kepada bentuk usaha tetap RIM, seperti PPh badan dan
PPh Pasal 21/26 atas karyawan atau ekspatriat.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah mekanisme pemotongan PPh final
dan pemungutan PPN tersebut telah berjalan? Kalau belum, pihak
operator seluler Indonesia yang menjalin kerja sama dengan RIM Kanada
harus melaksanakan kewajibannya. Direktorat Jenderal Pajak harus
melakukan klarifikasi dan meneliti kewajiban pemotongan dan pemungutan
pajak ini. Apabila belum dilakukan, Ditjen Pajak dapat menagihnya.
Ada potensi penerimaan pajak yang besar di sana. Perhitungan
sederhana, yaitu selama empat tahun beroperasi, pajak yang harus
dipotong dan dipungut sebesar Rp 1,995 triliun, belum termasuk
sanksinya! Potensi penerimaan pajak dari pemanfaatan teknologi
informatika dan komunikasi harus mendapat perhatian khusus dari Ditjen
Pajak.
Selain pajak BlackBerry, perdagangan melalui Internet (e-commerce) dan
penerapan cloud computing patut dikaji, diteliti, serta digali potensi
pajaknya.
http://epaper.korantempo.com/
0 komentar:
Posting Komentar