kesangsian, menghiasi ruang politik akhir-akhir ini. Aneka pernyataan,
protes, demonstrasi dan petisi oleh aneka kelompok masyarakat terhadap
pemerintah menghiasi panggung politik harian.
Berbagai tuduhan tentang kebohongan, manipulasi, kepalsuan dan
ketakjujuran menjadi perdebatan semantik dalam wacana politik
mutakhir, yang memengaruhi persepsi, kesadaran, dan opini publik
tentang makna demokrasi.
Ada kecurigaan publik bahwa selama ini bangsa ini hidup di alam
demokrasi tak bertuan, di mana prinsip kekuasaan di tangan rakyat
justru dimanipulasi oleh para elite politik yang, dengan memainkan
aneka permainan kotor dan konsensus palsu, menyembunyikan kebenaran
dari rakyat. Rakyat, yang sejatinya tuan dari sistem demokrasi, kini
tak lain dari obyek demokrasi itu sendiri, yang suaranya tak pernah
didengar, aspirasinya tak pernah disampaikan, dan keinginannya tak
pernah diwujudkan.
Maka, aneka protes, demonstrasi, dan petisi dari aneka kelompok
masyarakat terhadap pemerintah akhir-akhir ini dapat dilihat sebagai
gejala tumbuhnya kesadaran baru tentang emansipasi demokratis, di mana
rakyat ingin menunjukkan fungsi deliberatif sebagai kekuatan korektif
penuntun demokrasi yang sejati.
Kekuatan rakyat, di satu pihak, tentu menimbulkan ketakutan pada elite-
elite politik busuk, tetapi di pihak lain memberikan sebuah harapan
akan masa depan politik yang lebih emansipatif.
Kamar gelap politik
Ruang demokrasi di atas tubuh bangsa layaknya sebuah kamar gelap, yang
di dalamnya begitu banyak fakta ditutupi, konsensus diselubungi, dan
kebenaran disembunyikan. Demokrasi adalah permainan kebenaran para
elite politik, dengan memainkan bidak-bidak kepalsuan, manipulasi dan
simulasi, serta memosisikan rakyat (demos) sebagai yang dihitung,
tetapi tak masuk hitungan. Di dalam kamar gelap itulah aneka kepalsuan
disembunyikan dari rakyat lewat politik pencitraan.
Rakyat memang selalu disebut, diatasnamakan, dan dihitung, tetapi tak
pernah diperhitungkan karena tak pernah diberi hak bicara. Seperti
dikatakan Jacques Ranciere dalam Dissensus: On Politics and Aesthetics
(2010), demokrasi adalah sebuah paradoks, di mana pandangan kekuasaan
oleh rakyat (demos) justru adalah lukisan muram rakyat yang memiliki
kekuasaan, tetapi tak ada yang memberi mereka hak untuk
menggunakannya.
Rakyat diperlakukan sebagai populasi dan tubuh politik tak bernama.
Mereka adalah surplus sosial yang dibangun oleh orang-orang tak punya
kualifikasi untuk bersuara sehingga memerlukan wakil rakyat untuk
menyuarakan aspirasinya.
Kedaulatan rakyat selama ini tak lain dari kekuatan tanpa eksistensi,
yaitu eksistensi suplemen dari mereka yang dihitung tetapi tak masuk
hitungan, yang dibagi tetapi tak punya bagian, yang punya hak suara
tetapi tak dapat bersuara.
Konsensus politik selama ini menjadi alat normalitas politik, yang
melaluinya dibangun partisi antara apa yang diterima umum dan menjadi
ukuran kualifikasi dalam politik serta apa yang tak umum. Konsensus
menyingkirkan yang tak umum ini dari ruang politik, sebagai bagian
dari yang tak memiliki kualifikasi: itulah rakyat! Karena itu,
konsensus politik kian membungkam suara rakyat yang tak umum itu.
Esensi politik adalah disensus, yaitu membuat tampak segala yang
disembunyikan, menyuarakan segala yang dibungkam, menjadikan terang
segala yang gelap. Esensi politik adalah mengganggu yang umum sebagai
produk konsensus palsu, dengan menampakkan apa yang disembunyikan dari
kamar gelap politik, memberi nama apa yang tak bernama, dan membuat
bersuara segala yang dibisukan.
Akan tetapi, fungsi mengganggu ini tak bisa diharapkan pada partai
politik karena ia menjadi bagian dari normalitas itu sendiri, dengan
segudang kepentingan yang dibangun di balik normalitas itu.
Fungsi mengganggu itu kini hanya bisa diharapkan dari demos agar
kekuasaan nyata rakyat dapat berfungsi. Fungsi nyata demos adalah
menjaga agar ketepercayaan (trust) menjadi fondasi dari demokrasi,
dengan secara permanen menyuarakan suara-suara tak umum.
Distribusi kekuasaan
Demokrasi hanya berfungsi apabila distribusi kekuasaan yang
diperebutkan di antara elite politik (pada proses pemilihan umum)
diimbangi oleh kekuasaan tandingan dari rakyat dalam aneka bentuknya.
Demos harus diberdayakan, bila demokrasi masih dipahami sebagai
kekuasaan dari rakyat. Demokrasi tak hanya urusan legitimasi kekuasaan
melalui pemilu jujur dan adil, tetapi urusan kepercayaan yang mampu
dibangun terus-menerus di antara penguasa dan yang dikuasai.
Pierre Rosanvallon, di dalam Counter-Democracy: Politics in an Age of
Distrust (2008), menyebut kekuatan rakyat ini sebagai demokrasi
tandingan (counter democracy). Kekuatan ini tidak dibangun melalui
institusi partai, tetapi di dalam kekuatan kelompok-kelompok
masyarakat itu sendiri. Ini hanya bisa dicapai dengan mengintensifkan
fungsi surveillance warga atas penguasa, yaitu secara permanen
mengawasi, memonitor, dan menyelidiki setiap gerak-gerik penguasa.
Melalui demokrasi tandingan, kekuasaan rakyat tak sekadar ditunjukkan
secara formal melalui hak suara (right to vote) dalam pemilu, tetapi
lebih penting lagi hak bersuara (right to speak).
Kepercayaan dibangun di antara penguasa dan yang dikuasai melalui
mekanisme ”tekanan permanen” terhadap pemerintah, baik berupa
demonstrasi, petisi, atau solidaritas kolektif, sebagai fungsi
pengawasan, penyelidikan, penyingkapan, dan penilaian terhadap setiap
tindakan mereka.
Demokrasi emansipatif
Demokrasi abad informasi dan digital tak bisa lagi bertumpu pada
permainan kekuasaan di kalangan para elite politik, yang di dalam
kamar gelap melakukan hitung-hitungan, negosiasi, dan konsensus palsu,
tanpa menyertakan rakyat secara nyata.
Keterbukaan informasi tak nyaman lagi bagi para elite politik busuk
karena kekuatan informasi demos yang kian dahsyat. Inilah kekuatan
dahsyat komunitas virtual seperti WikiLeaks, yang mampu menelanjangi
konsensus busuk lintas negara.
Demokrasi hanya bisa dibangun apabila suara antagonis dan tak umum
dari rakyat didengar karena itulah esensi dari yang politis. Seperti
dikatakan Chantal Mouffe, dalam The Return of the Political (1993),
negosiasi dan konsensus rasional di antara elite politik selama ini
melenyapkan seluruh dimensi kekuasaan dan antagonisme dari yang
politis, sebagai ”ruh” politik itu sendiri.
Yang politis ini tak melulu milik partai politik, tetapi segala
gerakan bersuara antagonis: gerakan antikorupsi, feminisme,
lingkungan, dan subkultur.
Akan tetapi, energi antagonisme itu selama ini tak mampu digerakkan
oleh partai politik sebagai institusi karena ia mensyaratkan keteguhan
pada perjuangan ideologis bukan kekuasaan seperti yang banyak terlihat
sekarang.
Ironisnya, orang-orang partai justru terperangkap dalam perburuan
kekuasaan dengan meminggirkan ideologi: ”Apa pun ideologinya, yang
penting kursinya!” Dalam kondisi demikian, partai sebagai institusi
politik tak dapat diharapkan menjadi pilar pembangun yang politis.
Harapan yang tersisa adalah pada demos, yaitu siapa pun yang mampu
menyuarakan pandangan antagonis terhadap kemapanan, melalui
penyelidikan, pengawasan, protes, demonstrasi, atau petisi, semata
agar makna politik tetap terjaga.
Jika tidak, politik tak lebih dari sebuah administrasi kekuasaan dalam
kamar gelap demokrasi, di mana setiap konsensus hanya berujung pada
obyektivikasi rakyat itu sendiri, yaitu demos yang akan selamanya
menjadi yang dihitung tetapi tak pernah masuk hitungan, yang
dibicarakan tetapi tak pernah mendapat kesempatan bicara, yang punya
hak suara tetapi dibuat tak pernah bersuara.
Yasraf Amir Piliang Direktur YAP Institute
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar