KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Budiarto Shambazy, Subur Tjahjono, dan C Wahyu Haryo PS
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada periode pemerintahan
2009-2014 praktis menjadi partai yang resmi memelopori ”beroposisi”
kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Boediono. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tidak bisa
menganggap enteng posisi PDI-P dalam konstelasi politiknya.
Namun, dalam perjalanannya, upaya untuk mendekat ke pemerintah juga
dilakukan sejumlah kader PDI-P, termasuk oleh Taufiq Kiemas, suami
Megawati. Bagaimana Megawati melihat prospek politik menjelang
Pemilihan Umum 2014, berikut petikan wawancara di kediamannya di
kawasan Menteng, Jakarta Pusat, beberapa waktu yang lalu:
Proyeksi politik 2011 hingga menjelang Pemilu 2014 secara umum
bagaimana?
Saya melihatnya dari sisi internal, baik dari dalam partai maupun
kondisi nasional, serta di tingkat eksternal, segala sesuatu yang
terjadi di dunia internasional. Ke depan, menurut saya, tidak menjadi
lebih baik. Justru bisa dikatakan menjadi lebih buruk. Saya melihat
perkembangan yang terjadi waktu itu, masalah perekonomian di Amerika
dan Eropa yang saya prediksikan belum tentu bisa melakukan recovery.
Kelihatannya inilah yang terjadi. Pertanyaannya, kalau ini membawa
pengaruh ke kita, lalu bagaimana antisipasinya. Itu setahun lalu yang
harus dilakukan.
Saya sangat prihatin karena sepertinya saya tidak pernah mendapat
dukungan yang cukup besar mengenai perubahan pemanasan global ini.
Saya percaya kalau 10 tahun lalu kita sudah ribut mengenai rumah kaca,
La Nina, El Nino, dan sebagainya, kita ini sekarang sepertinya, kok,
adem ayem saja. Padahal, ketika pemerintahan saya, kami mencoba
mempertajam masalah ini sehingga kita tidak melakukan ketahanan pangan
saja, tetapi juga kedaulatan pangan. Ini masalah serius.
Saya bilang, mari kita lihat abad ke-21. Abad ke-21 pasti beda dengan
abad ke-20. Masalah konstelasi politik itu mainnya abad ke-20, tetapi
kalau abad ke-21 ini menurut saya akan lebih tertuju pada bidang
ekonomi dan hukum. Nanti ajang pertempuran untuk melegalisasi itu di
bidang hukum.
Pada Kongres III PDI-P secara tegas menyatakan ”oposisi”. Sejauh ini
berjalan seperti apa?
Jika saat itu saya mengatakan PDI Perjuangan beroposisi, itu memang
harus saya yang mengatakan sebagai ketua umum. Namun, pilihan oposisi
itu aspirasi peserta kongres yang dirangkum dari komisi-komisi yang
ada. Saya melihat bahwa betul dalam sistem presidensial dan dalam
konstitusi kita seharusnya musyawarah mufakat. Namun, dalam mencari
bentuk untuk implementasi kita, tentu kita bisa melihat. Saya tidak
terbayangkan, pertama, saya tidak mungkin menolak aspirasi partai
(tentang oposisi). Justru saya harus menjalankannya. Kedua, bagaimana
jika semua ada di pemerintahan sehingga kalau DPR kita sudah mengalami
pematangan-pematangan dari organisasinya itu jelas mengenai apa yang
dibutuhkan dalam legislatif dan eksekutif itu memang harus beradu
pikiran. Namun, itu harus menjurus pada kepentingan bangsa dan negara.
Soal partai-partai koalisi, bagaimana Anda menilainya?
Saya sendiri sering mengatakan, sebetulnya apa, sih, yang disebut
koalisi. Kalau di negara Barat yang menganut parlementer, itu ada
sistemnya. Kalau kurang sekian harus bagaimana, kalau menentukan
koalisi bagaimana. Kalau kita, ketika seorang calon didukung sekian
partai lalu dianggap sudah koalisi. Apakah begitu prosesnya? Lalu,
akibatnya setelah terbentuk suatu pemerintahan, maka partai yang
mendukung harus semuanya ikut masuk ke eksekutif. Koalisi seperti itu
menjadi pertanyaan kita bersama.
Muncul nama-nama calon presiden. Ada jajak pendapat, kalau pilpres
digelar hari ini dan ditanya siapa yang dipilih, Anda menempati posisi
tertinggi. Komentar Anda?
Itu tadi dibilang kalau pemilunya hari ini he-he-he, ya, saya tenang
sajalah. Padahal, itu, kan, baru 2014.
Dari nama-nama yang muncul itu termasuk nama Puan Maharani, seperti
apa?
Bagus saja, ya, silakan saja. Makin banyak, makin bagus. Siapa tahu
nanti yang namanya ada di bawah bisa ke atas. Itu suatu dinamika dari
kita berproses untuk mulai, mungkin, itu suatu dinamika untuk lebih
berpikir rasional, logis, untuk bisa berpikir lebih jernih, tidak pada
masa-masa kemarin yang lebih karena citra. Kalau saya melihat kendali
pemilu, masih banyak yang perlu diperbaiki, yaitu sistemnya.
Tipologi pemimpin seperti apa yang kita butuhkan ke depan?
Tidak usah lihat orang, kita yang jadi acuan itu konstitusi.
Konstitusi itu boleh diomongkan pasal mana saja, itu sebetulnya
semuanya mengacu pada pembukaan.
Mungkinkah ada kerinduan dari sebagian masyarakat yang ingin Anda
menjadi presiden kembali memimpin di 2014?
Terserah rakyat, ya. Mungkin, ya. Mungkin karena saya tenang saja,
tidak mencari pembentukan citra. Beginilah Megawati, kamu senang, ya,
syukur, ndak senang, ya, syukur. Yang pasti, kan, banyak yang
bertanya, maju pada 2004 dan 2009 lalu kalah, masa 2014 mau maju juga?
Jangan lupa lho, saya ini hanya menjalankan amanat kongres. Dua
kongres itu sangat jelas dan tegas mengatakan bahwa ketua umum
terpilih itu langsung menjadi calon presiden. Nah, yang ketiga ini
saya bilang, jangan lagi-lagilah. Lebih baik kita tenang-tenang
sajalah.
Kemungkinan koalisi itu apakah masih terbuka meskipun mungkin tidak
lagi maju sebagai calon?
Kalau menurut pengalaman kami, sebetulnya tidak ada keharusan bahwa
bagi capres itu mencari calon wakil presiden itu apakah dari parpol.
Itu tidak ada keharusannya. Tidak hanya orang independen, seperti
waktu saya dengan Pak Hasyim Muzadi. Itu, kan, dari ormas, bukan
parpol.
Itu semua bergantung pada suatu analisis, bagaimana kira-kira suara
yang bisa kami dapatkan. Namun, tetap saya ingin menegaskan bahwa dari
pengalaman berpemilu ini yang paling penting itu sistemnya. Bagaimana
sistem ini memungkinkan orang mendapatkan penilaian yang riil dari
masyarakat. Kalau saya lihat dua kali pemilu ini banyak pada hal-hal
pencitraan yang kurang membumi.
Kok, rasanya sulit sekali mencari tokoh yang memperjuangkan kita
supaya lebih makmur lagi sebagai bangsa.
Kembali saya ingin berbicara bukan sebagai ketua umum partai supaya
netral. Saya melihat kita ini seperti kurang waktu untuk perenungan,
evaluasi. Riil mempertanyakan hal-hal yang mesti kita perbaiki. Kesan
saya Indonesia seperti jadi hiruk-pikuk terus, tetapi apa yang
dijadikan hiruk-pikuknya itu sebetulnya maunya apa.
Kalau melihat SBY, betapa tidak bahagianya dia menang 61 persen, itu
luar biasa sekali, tetapi dalam setahun ini, apa yang saya prediksikan
itu sekarang terjadi.
Tentang kader muda yang berbobot, apakah bisa mendongkrak kinerja
partai?
Dari kadar kualitas, karena sekarang ini konsolidasi SDM memang
menyempurnakan bukan hanya kualitatif, kemampuan organisasi, tetapi
juga memaksimalkan kualitas SDM kader-kader yang ada. Sekarang PDI-P
punya banyak kader muda berkualitas yang sangat mempunyai harapan.
Kami sekarang sampai di tingkat anak ranting kita punya sarjana.
Anda terkesan tenang-tenang saja menghadapi Pemilu 2014?
Ya, memang itulah tujuan parpol, di mana menjadi alat perjuangan.
Jadi, memang menyadarkan diri bagaimana cara kita menjalankan program
yang berpihak kepada rakyat.
Bagaimana memelihara konstituen PDI-P jika pada 2014 Anda tidak lagi
mencalonkan?
Karena ini keputusan kongres, ya, semua harus melaksanakan. Makanya
saya sampaikan, waktu kerja konsolidasi PDI-P itu hanya tiga tahun,
semua harus selesai. Tinggal dua tahun berikutnya kita bersiap
menghadapi pemilu. Siapa yang yang dipilih untuk dicalonkan, silakan
saja dipilih. Saya tenang-tenang saja, yang penting saya bangun partai
saya. Terserah nanti siapa yang dipilih rakyat.
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar