BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Misteri Kejahatan Korporasi

Misteri Kejahatan Korporasi

Written By gusdurian on Jumat, 21 Januari 2011 | 10.39

Rinie Amaludin Pengamat hukum dan politik



K ESAKSIAN Kwik Kian Gie di Gedung Bundar Kejaksaan Agung beberapa
waktu lalu (5/1) dalam kasus Sistem Administrasi Badan Hukum
(Sisminbakum) kian memberi sinyal skenario sistematis kejahatan
korporasi (corporate crime). Mantan Menteri Koordinator Ekonomi,
Keuangan, dan Industri itu menyebut keuntungan bombastis oleh PT
Sarana Rekatama Dinamika (SRD) terlihat akal-akalan (Media Indonesia,
6/1). Investasi Rp20 miliar plus Rp512 juta yang dikeluarkan korporasi
ini dapat menghasilkan keuntungan Rp420 miliar. "Kalau begitu, ya
memang bukan biasa, sifatnya diakali, karena marginnya sudah terlampau
besar. Karena saya kebetulan mengetahui baik teori maupun praktik,"
tegas Kwik.

Meski Kwik tak langsung menyebut adanya kerugian negara, putusan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan dana Sisminbakum sebagai
penerimaan negara bukan pajak (BNPB) yang tak pernah masuk ke kas
negara sudah jelas-jelas merugikan negara.

Kini kasus ini memang telah menetapkan beberapa terdakwa, di antaranya
Direktur Utama PT SRD Yuhanes Waworuntu dan beberapa mantan Ditjen
Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Meski kasus ini masih terus bergulir, banyak pihak menyangsikan
pengadilan mampu menuntaskan kejahatan korporasi ini hingga ke akar-
akarnya.
Hantu korporasi Musti diakui, rumitnya mengurai benang kusut kasus Sis
minbakum dilatari oleh kian sistematisnya rekayasa kejahatan oleh
korporasi. Akal-akalan korporasi, meminjam istilah Kwik Kian Gie,
sepertinya telah direncanakan dan strateginya diatur secara matang dan
canggih sehingga aparat hukum pun tampak kesulitan menjerat para
pelaku utamanya. Penulis menyebut kasus Sisminbakum sebagai
representasi kejahatan tercanggih yang pernah ada di negeri ini.
Betapa tidak, selain belum adanya dokumen penting dalam alat bukti
menyebut keterlibatan para konglomerat yang diduga sebagai aktor
utama, modus operandi kasus ini telah mampu menyiasati `ruang kosong'
dalam tata kelola birokrasi yang selama ini dianggap sangat rumit.

Apalagi yang dipermainkan adalah Kementerian Hukum dan HAM, sebuah
instansi negara yang mengurusi permasalahan hukum itu sendiri.
Telah sedemikian canggihkah kejahatan korporasi di negeri ini?
Menurut Bismar Nasution, Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU,
kejahatan korporasi (corporate crime) merupakan fakta yang timbul oleh
semakin majunya kegiatan perekonomian dan teknologi.
Kasus Sisminbakum menjadi modus bagi metamorfosis pencanggihan
kejahatan korporasi, sebuah kategori kejahatan paripurna (the perfect
crime).

Karena kecanggihannya itulah, ketentuan hukum pidana yang berlaku di
Indonesia belum dapat menjangkau jenis kejahatan macam ini, atau
paling tidak, senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Seperti
tindak pidana pencucian uang (money laundering) yang baru dikrimi
nalisasi secara resmi pada 2002.
Lalu kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai saat ini
pengaturannya masih mengundang tanda tanya.

Akibatnya, banyak bermunculan tindakan ilegal, tapi tidak dapat
dikategorikan sebagai tindak kriminal. Dalam konteks Sisminbakum,
supremasi hukum di Indonesia sedang mempertaruhkan kemampuan nya
mengusut tuntas kasus yang menyeret nama mantan Menteri Kehakiman dan
H A M Yu s r i l Ihza Mahendra dan konglomerat Hartono Tanoesoedibjo.

Dari pengalaman di berbagai negara terkait kejahatan korporasi, jika
dibandingkan dengan hukum Indonesia, terdapat beberapa keterbatasan
hukum dalam menjerat para aktor kejahatan korporasi ini.

Pertama, hu kum hampir tak menjangkau aktor utama (dalang) di balik
kejahatan korporasi. Dakwaan atas kejahatan ini selalu dijatuhkan
kepada jajaran elite struktural korporasi, seperti direktur utama,
jajaran direksi dan manajer, bahkan karyawan. Namun, para konglomerat
yang seolah menjadi hantu korporasi yang secara de facto mempunyai
mahakewenangan, kian tak tersentuh. Memang dalam aturan korporasi di
Indonesia, sebagaimana dalam ketentuan UU No 40/2007 tentang Perseroan
Terbatas, jajaran elite korporasi adalah para pemegang saham itu
sendiri dengan kewenangan masing-masing sesuai keten tuan internal (AD/
ART).

Namun, tak boleh dilupakan bahwa modus operasional korporasi modern
kini kian canggih. Para pemegang saham yang sekaligus berada di
jajaran elite struktur korporasi kerap kali hanya sebagai agensi atau
jaringan yang sengaja diposisikan oleh konglomerat tertentu untuk
menjalankan bisnisnya.
Mereka, para direksi ini, secara de jure diposisikan mempunyai
kewenangan penuh.

Padahal, sejatinya mereka tak mempunyai kebijakan apa pun dalam
mengatur jalannya korporasi. Jika ada kesalahan, pihak-pihak pemegang
kebijakan de jure inilah yang akan kena batunya (dikorbankan).
Kondisi semacam itu ditemui dalam kasus Sisminbakum, dengan Yohanes
Waworuntu selaku direktur utama, dalam testimoni dan kesaksiannya di
pengadilan mengakui tak mempunyai kewenangan apa pun dalam pengelolaan
PT SRD. Ada man behind the gun dengan kewenangan superpower mengatur
kendali perusahaan.
Jangankan di Indonesia, dalam berbagai kasus kejahatan korporasi di
berbagai belahan dunia, para hantu korporasi ini hampir-hampir tak
tersentuh oleh hukum (kebal hukum).

Inilah keterbatasan UU No 40/2007 yang mengadaptasi doktrin fiducial
duty. Doktrin ini dimaksudkan sebagai standar untuk menentukan apakah
seorang direktur dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam tindakan t
yang diambilnya, yaitu y didasarkan pada standar duty of loyality dan
duty of care.
Kewajiban utama direktur adalah kepada perusahaan secara keseluruhan,
bukan kepada pemegang saham baik secara individu maupun kelompok.

Atas dasar fiducial duty ini, alasan memenjarakan Yohanes Waworuntu
memang sudah tepat. Namun lagi-lagi, doktrin ini hanya dapat
diberlakukan bagi jajaran elite struktural korporasi saja, tidak
menyentuh pihak-pihak di atasnya (the big boss) yang justru mengontrol
dan memainkan peran kunci pelanggaran korporasi.

Kedua, rumitnya mengurai jaringan korporasi dan agensi yang beroperasi
melakukan tindak kejahatan. Pendekatan directing mind, yang efektif
diterapkan di Inggris, misalnya, dimaksudkan mencari atau menemukan
seseorang yang merupakan otak dan kehendak untuk mengarahkan
(directing mind and will) dari korporasi tersebut.

Namun, dalam kasus Sisminbakum, tampak kelemahan pendekatan ini yang
tak menyentuh master mind, meminjam istilah anggota Satgas
Pemberantasan Mafia Hukum Mas Agus Santoso. Master mind kasus ini
berada di luar struktur korporasi PT SRD yang justru mengontrol
kebijakan korporasi tersebut. Sebuah investigasi Media Indonesia
menyebutkan PT Bhakti Aset Management (BAM) diduga kuat sebagai
pengendali PT SRD. Selanjutnya BAM merupakan anak perusahaan PT Bhakti
Investama.
Aliran dana Rp512 miliar pun kini masih dalam penyelidikan pihak-pihak
berwajib, yang di duga masuk ke rekening BAM dan Bhakti Investama
untuk berbagai pembiayaan megaproyek mereka.

Bukti lain bahwa Yohanes hanyalah pion yang ditaruh dalam permainan
ini adalah surat tertanggal 17 Juni 2010, nomor 001/KOM-SRD/VI/2010
berisi pemecatan atas dirinya sebagai Direktur Utama PT SRD yang
diteken Gerard Yakobus dan Yuli Dwi Kusnadi. Ini tak masuk akal, sebab
jika memang ia mempunyai 70% saham SRD, sebagai pemegang saham tak
berlaku pemecatan. Ini dijamin oleh Undang-Undang PT No 40/2007.
Artinya, Yohanes hanyalah pegawai yang diklaimkan sebagai pemegang
saham mayoritas.

Di sinilah pekerjaan rumah besar menjawab kebuntuan hukum agar
keadilan bisa menyentuh para hantu korporasi.
Artinya, jika corporate liability (tanggung jawab korporasi) terbatas
bagi tindakan yang dilakukan anggota direksi dan beberapa karyawan
lain setingkat manajer yang memiliki kewenangan dan memberikan
perintah, hal ini secara tidak adil memberikan keuntungan pada
konglomerat pemilik korporasi besar karena akan dapat menghindarkan
diri dari pertanggungjawaban pidana akibat skenario tingkat tinggi
yang mereka perankan.

Dijeratnya seorang big boss dan mantan menteri sebagai tersangka kasus
ini memberi angin segar perlawanan hukum terhadap para hantu
korporasi.
Kita pun berharap hukum negeri ini tak lagi menjadi alat penyelamatan
konglomerat dan oknum pejabat yang telah merugikan negara hingga
ratusan miliar rupiah itu!

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/21/ArticleHtmls/21_01_2011_021_003.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: