BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Parameter Kebahagiaan

Parameter Kebahagiaan

Written By gusdurian on Jumat, 21 Januari 2011 | 10.39

Derek Bok

REKTOR HARVARD UNIVERSITY PADA 1971-1991 DAN 2006-2007, PENGARANG BUKU
THE POLITICS OF HAPPINESS (PRINCETON UNIVERSITY PRESS, 2010) Orang
yang mengaku bahagia cenderung panjang usia, kecil kemungkinan bunuh
diri serta terlibat narkoba dan alkohol.

Mereka lebih sering mendapat kenaikan pangkat di tempat kerjanya serta
menikmati hidup dengan banyak teman yang baik dan perkawinan yang
langgeng.
Pada saat ketatnya anggaran dan P krisis keuangan, para politikus di
banyak negara sekarang meman dang pertumbuhan ekonomi sebagai titik
sentral program kebijakan di dalam negeri. Produk domestik bruto (PDB)
dianggap sebagai indikator utama kesejahteraan rakyat.Tapi, sementara
kita memandang ke depan, 2011 dan selanjutnya, kita sebaiknya bertanya
kepada diri kita sendiri: apakah benar-benar bijaksana menganggap PDB
itu segala-galanya?' Taruhlah, banyak studi menunjukkan negara-negara
kaya cenderung lebih bahagia daripada negara-negara miskin dan orang-
orang kaya umumnya merasa lebih bahagia daripada mereka yang hidup
dalam serba kekurangan. Tapi ada temuan-temuan lainnya dari beberapa
negara yang relatif makmur, seperti Korea Selatan dan Amerika Serikat,
yang menunjukkan bahwa banyak orang di negara-negara tersebut sekarang
ini merasa tidak lebih bahagia daripada 50 tahun yang lalu, kendati
pendapatan per kapita rata-rata sudah meningkat dua kali lipat atau
empat kali lipat ketimbang sebelumnya.

Dalam sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini di Kanada, ternyata
orang-orang yang merasa paling bahagia di negeri itu tinggal di daerah-
daerah yang paling miskin, seperti Newfoundland dan Nova Scotia,
sedangkan mereka yang tinggal di daerah-daerah yang kaya, seperti
Ontario dan British Columbia, termasuk di antara mereka yang merasa
tidak bahagia. Karena kebahagiaan itu merupakan sesuatu yang paling
diidam-idamkan orang dan kekayaan itu hanyalah jalan untuk mencapai
kebahagiaan tersebut, maka anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi itulah
yang paling utama adalah tidak benar.

Tampak jelas dari penelitian yang telah dilakukan bahwa manusia tidak
begitu pandai memprediksi apa yang sebenarnya bakal membuat mereka
bahagia atau sedih. Mereka terlalu berfokus pada respons awal terhadap
perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka dan melupakan betapa
cepatnya nikmat memiliki mobil baru atau mendapat kenaikan gaji atau
pindah ke daerah yang lebih nyaman itu sirna, sehingga membuat mereka
tidak merasa lebih bahagia dari sebelumnya. Maka itu, berbahaya sekali
bagi para politikus untuk semata-mata mengandalkan pada jajak pendapat
dan semacamnya untuk mengetahui apa yang sebenarnya membuat orang
bahagia.

Dalam temuan-temuan yang diperoleh, sampai saat ini ada dua kesimpulan
yang tampaknya sangat berguna dan patut direnungkan para pembuat
kebijakan. Pertama, kebanyakan hal-hal yang memberikan kepuasan kepada
seseorang juga bisa membawa kepuasan kepada orang-orang lain--
perkawinan yang kokoh dan kedekatan hubungan satu sama lain, menolong
orang lain, ikut dalam kegiatan sosial dan pemerintah yang efektif,
serta jujur dan de mokratis. Maka itu, kebijakan memajukan
kesejahteraan individu-individu juga cenderung membawa manfaat kepada
masyarakat secara keseluruhan.

Kedua, pengalaman-pengalaman yang membawa kebahagiaan atau
ketidakbahagiaan yang langgeng tak selalu mendapat prioritas utama di
kalangan pemerintah. Misalnya, tiga gangguan medis yang menimbulkan
kepedihan yang akut dan langgeng--depresi klinis, nyeri yang kronis,
dan gangguan tidur-semuanya adalah kondisi yang sering bisa berhasil
diobati. Tapi orang-orang yang mengalami gangguan seperti itu sering
kali tidak memperoleh pengobatan yang memadai dalam sistem layanan
kesehatan pemerintah.

Respons yang biasanya diberikan kepada semua ini adalah mempertanyakan
apakah riset mengenai kebahagiaan itu benar-benar cukup andal untuk
digunakan para pembuat kebijakan. Para peneliti telah memberikan
perhatian yang cermat kepada persoalan ini dan setelah melakukan
banyak pengujian, menemukan bahwa jawaban yang diberikan banyak orang
pada pertanyaan mengenai kebahagiaan dalam kehidupan ini selaras benar
dengan bukti-bukti obyektif yang ada.

Orang yang mengaku bahagia cenderung panjang usia, kecil kemungkinan
bunuh diri serta terlibat narkoba dan alkohol. Mereka lebih sering
mendapat ke naikan pangkat di tempat kerjanya ser ta menikmati hidup
dengan banyak teman yang baik dan perkawinan yang langgeng. Penilaian
yang me reka lakukan atas kesejahteraan hidup mereka juga sangat
selaras dengan pendapat teman-teman dan anggota keluarganya. Karena
itu, secara keseluruhan, statistik mengenai kebahagiaan tampaknya
tidak beda akurasinya, seperti ba nyak di antara statistik yang
biasanya digunakan para politi kus, yakni jajak pendapat pub lik,
tingkat kemiskinan, atau, da lam hal ini, pertumbuhan PDB yang
semuanya mengandung ba nyak ketidaksempurnaan.

Sudah tentu penelitian me ngenai kebahagiaan ini masih baru. Banyak
pertanyaan belum terjawab, beberapa studi tidak me nunjukkan bukti
yang cukup tegas, sedangkan yang lainnya, seperti studi mengenai efek
pertumbuhan ekonomi, memberikan hasil yang bertentangan satu sama
lain. Demikianlah, terlalu dini untuk meletakkan kebijakan baru yang
berani hanya berlandaskan riset mengenai kebahagiaan saja, atau
mengikuti contoh yang diberikan negara kecil seperti Bhutan, dengan
mengadopsi gross national happiness (kebahagiaan nasional bruto),
sebagai tujuan utama negara. Namun temuan-temuan itu mungkin berguna
juga bagi para pembuat undang-undang pada saat ini-misalnya, dalam
memberikan prioritas kepada inisiatif-inisiatif tertentu di antara
beberapa inisiatif yang tampaknya bisa diwujudkan atau dalam mengenali
kemungkinan-kemungkinan intervensi kebijakan yang pantas diteliti
lebih lanjut.

Setidak-tidaknya, pemerintah harus mencontoh Inggris dan Prancis serta
mempertimbangkan diterbitkannya secara reguler statistik mengenai
kecenderungan kesejahteraan warganya.Temuan-temuan ini pasti bakal
merangsang diskusi publik dan menghasilkan data yang berguna untuk
para peneliti. Di luar itu semua, siapa tahu? Penelitian lebih lanjut
pasti bakal menghasilkan informasi yang lebih terperinci dan andal
mengenai jenis kebijakan yang bisa meningkatkan kebahagiaan serta
kesejahteraan masyarakat.

Pada suatu hari nanti, mungkin, para pejabat publik bahkan akan
menggunakan hasil-hasil riset itu untuk memberitahukan keputusan-
keputusan yang mereka ambil. Bukankah apa yang lebih penting bagi
konstituen mereka itu tidak lain adalah kebahagiaan. Dalam sebuah
negara demokrasi, ini pasti besar artinya. HAK CIPTA: PROJECT
SYNDICATE/INSTITUTE FOR HUMAN SCIENCES, 2011.

http://epaper.korantempo.com/KT/KT/2011/01/21/ArticleHtmls/21_01_2011_012_012.shtml?Mode=1
Share this article :

0 komentar: