BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Toeti Adhitama : Fasilitas Perwakilan Rakyat

Toeti Adhitama : Fasilitas Perwakilan Rakyat

Written By gusdurian on Jumat, 21 Januari 2011 | 10.36

D EWAN Perwakil an Rakyat semes tinya mendengar kan aspirasi rakyat.
Demikian komentar Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDIP, menanggapi sikap
DPR yang gigih ingin meneruskan rencana pembangunan gedung baru.
Anggaran pembangunan gedung megah dan mewah bertingkat 36 itu mencapai
sekitar Rp1,3 triliun, yang dianggap terlalu tinggi oleh masyarakat.
Antara lain Sebastian Salang, Koordinator Forum Masyarakat Peduli
Parlemen, berpendapat pembangunan gedung baru bukan kebutuhan
mendesak.
Janganlah penambahan tenaga ahli dijadikan alasan.

Yang tidak seimbang dengan kegigihan untuk mendapatkan gedung baru,
DPR sebagai badan legislatif di lain pihak dinilai gagal menuntaskan
tugas dan tanggung jawabnya. Diberitakan, dari 70 RUU prioritas tahun
2010, hanya delapan yang menjadi UU.

Selain menjalankan fungsi dan tugas rutinnya, DPR kadangkadang juga
terkesan membuat pilihan-pilihan yang berselisih dengan harapan
rakyat. Termasuk penyelenggaraan berbagai studi banding ke luar negeri
dan pembangunan fasilitas yang dinilai mengada-ada. Misalnya, Gedung
Perwakilan Rakyat bu kan hotel. Mengapa harus ada kolam renang di
sana?
Perpustakaan perwakilan rakyat Sebagai wakil rakyat, para anggota DPR
berpenghasilan memadai untuk memenuhi kebutuhannya. Namun, DPR sebagai
lembaga perwakilan rakyat wajib menyediakan berbagai fasilitas yang
dibutuhkan anggota dalam rangka menjalankan tugasnya. Yang diharapkan,
tersedia fasilitasfasilitas yang mampu mengembangkan kualitas para
anggota demi peningkatan kinerja.

Salah satu yang mungkin meminta perhatian adalah fasilitas pendidikan.
Tidak disangsikan, para anggota DPR telah memenuhi persyaratan
pendidikan formal mereka. Namun, latar belakang fokus pendidikan tidak
sama, selain misi ideologi partai juga berbeda-beda. Maka, diperlukan
pendalaman pendidikan sesuai tugas legislatifnya, termasuk pengetahuan
hukum dan kemasyarakatan. Fasilitas bisa beragam: berbentuk riset,
seminar, diskusi, atau pelatihan yang dilakukan bersama atau masing-
masing.

Sekadar untuk studi banding, tersebutlah sebuah fasilitas perwakilan
rakyat Amerika yang dianggap termegah di seluruh dunia, terkenal
sebagai lembaga kultural pemerintah federal yang tertua--berdiri pada
1800-dengan nama The Library of Congress, di Washington DC.
Sekarang koleksinya mencakup sekitar 32 juta buku dan penerbitan jenis
lain, yang terbit dalam 470 bahasa. Sekitar 130 juta selebihnya
berbentuk lain.
Bila dideretkan dalam rak buku, panjang seluruhnya mencapai hampir
1.200 km. Bandingkan dengan British Library yang memiliki koleksi 25
juta buku dan 150 juta benda koleksi perpustakaan. Bila dideretkan
dalam rak panjangnya sekitar 625 km.

Library of Congress yang kini meraksasa itu berdiri setelah Kongres
Amerika dibentuk pada 1789 berdasarkan konstitusi. Perpustakaannya
dibangun 11 tahun kemudian.
Undang-undang menetapkan alokasi dana sebesar US$5.000 untuk pembelian
buku-buku perpustakaan. Pada awalnya, buku-buku dipesan dari London.
Jumlahnya tidak lebih dari 740 buku.

Kongres waktu itu barangkali merasakan perlunya memiliki perpustakaan
untuk fasilitas riset. Sebagai badan pembuat undang-undang, koleksinya
semula hanya yang berkaitan dengan hukum. Sayangnya, akibat serangan
tentara Inggris tahun 1814, Library of Congress dengan koleksi 3.000
buku hancur. Namun dalam waktu satu bulan, Presiden AS Thomas
Jefferson menyerahkan lebih dari 6.000 koleksinya sebagai pengganti.

Menjelang penutup abad ke19, Library of Congress mengalami
reorganisasi yang membuatnya berkembang pesat.
Pada abad ke-20 dia sudah lebih terbuka dan disebut sebagai `library
of the last resort', semacam perpustakaan sentral. Dia bekerja sama
dengan perpustakaan-perpustakaan lain dan terbuka untuk publik yang
dianggap memenuhi persyaratan, termasuk para ilmuwan periset. Banyak
bahan dari negara-negara lain didatangkan untuk memperkaya koleksi.

Dalam perjalanan sejarahnya, ada usaha-usaha untuk mengembangkan peran
perpustakaan itu agar lebih melayani kebutuhan nasional daripada
legislatif.
Namun, undang-undang reorganisasi tahun 1970 mengembalikannya pada
peran melayani badan legislatif, dengan lebih fokus pada riset untuk
komitekomite Kongres. Sekarang hanya anggota-anggota Kongres, Mahkamah
Agung dan stafnya, staf Library of Congress sendiri serta pejabat-
pejabat tertentu, diizinkan memindahkan buku dan lainnya dari gedung
perpustakaan. Lain-lainnya hanya boleh meminjam untuk dibaca di ruang
baca.
Prioritas fasilitas Fasilitas-fasilitas perwakilan rakyat mencerminkan
dinamika dan kinerja para anggota. Sejak berdiri pada 1800, lebih dari
dua abad yang lalu, The Library of Congress dipimpin berturutturut
oleh 13 intelektual terkemuka. Harian New York Times menyatakan pada
tahun 1987 bahwa posisi pemimpin perpustakaan itu `perhaps the leading
intelellectual public position in the nation.' Apakah orientasi
masyarakat kita lebih berat ke depan atau ke belakang? Kelengahan
untuk sekali-sekali merenungkan hal-hal demikian membuat kita hanyut
pada kerepotan berjangka pendek, membuat kita segan menggunakan
kreativitas karena khawatir kalau-kalau merusak kemapanan, Padahal
kita punya cukup banyak orang cakap dengan ide-ide baru dan
kreativitas. Mengutip kata seorang intelektual, "Jumlah orang pintar
di Indonesia `ombyokan' (sangat banyak). Masalahnya, apakah kita sudah
memanfaatkan pemikiran mereka?" Di luar bidang ekonomi dan politik,
masih ada bidang-bidang sosial yang memerlukan sumbangan pemikiran
baru dan segar. Hasil konkretnya mungkin tidak bisa dirasakan
sekarang. Tetapi kalau diabaikan, dampaknya akan besar di masa depan.
Ambil contoh sederhana: soal minat baca. Sebagai bangsa, kita patut
prihatin melihat betapa rendahnya minat baca kita, padahal bacaan yang
mantap memberikan rangsangan pengembangan pemikiran.
Tanpa bacaan, kita akan tetap menjadi bangsa yang bertopang pada
tradisi lisan yang berjalan lamban dan pesannya sering tidak akurat.
Apakah ini perlu diprihatinkan? Rasanya perlu.
Kita bisa menghimpun ide-ide segar dan baru dari bacaan yang datang
dari segenap penjuru dunia. Kalau yang kita dengar dan katakan hanya
itu-itu saja, bukankah kita akan berjalan di tempat?
Soal minat baca ataupun fasilitas-fasilitas pendukungnya memang
kedengarannya sederhana dan tidak bersifat mendesak. Sekadar contoh,
persentase bacaan harian kita amat kecil jika dibandingkan dengan
jumlah penduduk. UNESCO menetapkan seyogianya 10%. Hal-hal sederhana
seperti ini pun sebenarnya menjadi tantangan bagi Dewan Perwakilan
Rakyat. Untuk masa depan, yang ditunggu bukan hanya warisan berbentuk
bangunan atau monumen. Rasanya masa depan justru membutuhkan warisan
spirit pemikiran. Untuk masa depan, yang ditunggu bukan hanya warisan
berbentuk bangunan atau monumen. Rasanya masa depan justru membutuhkan
warisan spirit pemikiran."

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/21/ArticleHtmls/21_01_2011_021_018.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: