BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kemiskinan Bukan Sekadar Angka!

Kemiskinan Bukan Sekadar Angka!

Written By gusdurian on Selasa, 18 Januari 2011 | 11.20

Sebagai peneliti dan penekun kajian ilmu-ilmu sosial,saya sungguh
prihatin setiap kali ada pejabat negara yang mengklaim— bahkan
acapkali melawan nalar publik—bahwa tingkat kemiskinan mengalami
penurunan dalam hitungan angka: persentase atau jumlah orang miskin.

Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa,
dengan bangga mengatakan jumlah penduduk miskin menurun dari 32,5 juta
jiwa (14,1%) menjadi 31 juta jiwa (13,3%).Namun, bersamaan dengan
klaim ini muncul serangkaian peristiwa memilukan yang sungguh-sungguh
menyayat hati. Sesaat ketika dunia membuka lembaran tahun baru, 1
Januari 2011,diberitakan bahwa di Desa Jebol, Kecamatan Mayong,
Kabupaten Jepara, enam bersaudara anak pasangan Jamhamid,45,dan Siti
Sunayah, 41, meninggal dunia sehabis makan tiwul yang mengandung racun
mematikan.

Menjalani hidup dalam tekanan kemiskinan yang sangat hebat,pasangan
suami-istri itu tidak mampu menghidupi anggota keluarganya dengan
memberi makanan yang sehat, bernutrisi, dan aman.Karena tak punya uang
untuk membeli beras dan lauk-pauk,mereka terpaksa makan tiwul beracun
yang mengantarkan pada kematian bagi enam anak mereka. Hanya berselang
empat hari, 5 Januari 2011,diwartakan bahwa di Desa Tanjunganom,
Kecamatan Pesaleman, Kabupaten Cirebon, pasangan suami-istri Maksum,
35, dan Rohani, 33,bunuh diri dengan meninggalkan tiga orang anak yang
belum dewasa:

Tatun,14,Wusnama, 9, dan Sanes, 4. Motif bunuh diri lagi-lagi adalah
masalah kemiskinan karena mereka tak kuasa menanggung derita panjang
dalam menjalani kehidupan yang penuh nestapa. Sebagai buruh tani tebu
dengan penghasilan per hari hanya Rp25.000, Maksum tak mampu
menghidupi keluarga secara layak. Uang upah sebesar itu jelas sangat
tidak mencukupi untuk memberi nafkah bagi keluarga beranggota lima
jiwa. Dalam situasi ekonomi keluarga yang sulit itu, mereka mengalami
tekanan hidup teramat berat yang membuat mereka putus harapan.

Keputusasaan karena tak mampu mengatasi beban ekonomi keluarga membuat
pasangan suami-istri itu mengambil jalan pintas: bunuh diri! Dua
peristiwa sosial memilukan yang muncul dalam pemberitaan di
mediamasaitubukanceritadongeng dalam film, sinetron, atau teater.
Peristiwa yang mengoyak nurani tersebut adalah kisah nyata dalam
kehidupan masyarakat,yang sudah terjadi berulang kali di berbagai
wilayah di Tanah Air.Masih segar dalam ingatan publik, pada Agustus
2010,di Sleman,seorang ibu muda,Umi Latifah,25,nekat membakar diri
hidup-hidup bersama dua orang putranya yang masih balita, Lindu Aji,
4, dan Dwi Arya Saputra,2,5,juga karena tak kuat menjalani hidup
sengsara akibat kemiskinan ekstrem.

Semua kisah nyata tersebut jelas merupakan tragedi kemanusiaan yang
sangat mengerikan dan menguras air mata.Sungguh ironis, peristiwa ini
berlangsung siklikal di sebuah negeri dengan kekayaan alam yang
melimpah.Tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat miskin nan papa itu
menjadi sangat kontras di tengah-tengah: (1) Kemewahan hidup di
sebagian kelompok masyarakat kaya.

(2) Para penyelenggara negara dan politisi yang tiada henti menguras
uang rakyat melalui praktik korupsi yang menggurita. (3) Wakil rakyat
yang tumpul nurani dengan bersikukuh membangun gedung megah bernilai
triliunan rupiah, bahkan halaman parkir Gedung Senayan pun sudah
berubah laksana showroom mobil-mobil mewah. (4) Aparat penegak hukum
yang berkolusi dengan para mafioso untuk mengeruk uang dan menumpuk
kekayaan dengan memperjualbelikan hukum dan keadilan.

Realitas yang serbaparadoksal dalam kehidupan sosial semacam inilah
yang membuat masyarakat menjadi apatis, yang bila terakumulasi akan
berubah menjadi frustrasi sosial yang sangat berbahaya. Bagi individu
bersangkutan, frustrasi bisa berujung pada tindakan bunuh diri. Bagi
masyarakat, frustrasi bisa berkembang menjadi kemarahan publik yang
menjelma dalam aneka bentuk aksi-aksi destruktif.

Statistical Trap

Patut disesalkan, banyak pejabat negara acapakli terperosok pada apa
yang disebut statistical trapkarena mereka cenderung berorientasi pada
kalkulasi statistik semata dalam menangani masalah kemiskinan. Dengan
lirih kita patut menggugat, apa makna penurunan angka kemiskinan bila
kita melihat dengan kasatmata: (1) Balita menderita gizi buruk dan
busung lapar bertebaran di seluruh pelosok negeri.(2) Anak-anak usia
sekolah hidup menggelandang dan mengemis di jalanan. (3) Para pemulung
mengais sisa-sisa makanan di tumpukan sampah.

(4) Orangorang sakit terkapar di gubukgubuk reot tanpa bisa berobat.
(5) Kaum perempuan desa terpaksa bekerja sebagai buruh migran di luar
negeri,dianiaya majikan bahkan sampai meninggal dunia, dan hidup
berdiaspora dalam keadaan terlunta-lunta. (6) Rumah-rumah kumuh
bertengger di bantaran sungai dan di tepi rel kereta di tengahtengah
gedung pencakar langit dengan segala kemegahan kota metropolitan?

Kontradiksi klaim penurunan angka kemiskinan dengan penggalan fragmen
kisahkisah pilu di masyarakat masih bisa diperpanjang lagi untuk
mengonfirmasi kenestapaan yang tak terbilang. Dengan terus berbangga
hitungan angka-angka statistik, para pejabat negara telah
mendemonstrasikan ketidakmampuan mereka dalam menghayati makna dan
hakikat kemiskinan dari sudut pandang paling manusiawi. Makna esensial
kemiskinan adalah orang tak mampu memenuhi kebutuhan hidup paling
mendasar: pangan, sandang, dan papan.

Jika orang-orang miskin tak bisa makan, tak punya pakaian yang layak
dikenakan, dan tak memiliki hunian yang layak untuk tempat tinggal,
berapa pun jumlah yang terbilang bukan merupakan isu pokok. Inti
masalah yang semestinya menjadi pokok perhatian adalah orang-orang
miskin itu tidak bisa makan karena mereka tak punya sumber pendapatan
untuk menopang kehidupan.Apalagi pemerintah selalu saja merujuk ukuran
biaya hidup sebesar Rp10.000 per hari,ketika harga-harga barang
kebutuhan pokok terus melonjak naik setiap waktu dan tak pernah turun.
Daya beli masyarakat pun menjadi kian terpuruk.

Tak Ada Parameter Tunggal

Karena itu,pemerintah sebaiknya mengubah pandangan terhadap masalah
kritikal kemiskinan ini dengan tidak bertumpu pada hitungan angka
semata.Kemiskinan merupakan isu multidemensional dan kesejahteraan
bagi setiap orang mencakup pula hal-hal di luar pendapatan.Penting
pula dicatat, tak ada parameter tunggal untuk mengukur tingkat
kesejahteraan mengingat kemiskinan merupakan gejala sosial yang amat
kompleks.

Dalam banyak kajian akademis lintas disiplin, para sarjana termasuk
bidang ilmu ekonomi sudah mengadopsi non-income dimensions dalam
melihat masalah kemiskinan. Mark McGillivray, ekonom Universitas
Glasgow, Scotland,menulis dengan terang: “The recognition of non-
income dimensions reflects a greater acceptance that wellbeing and
poverty are multidimensional and,in particular,that no single uni-
dimensional measure adequately captures the full gamut of well-being
achievement” (Inequality, Poverty, and Well-being,2006).

Di negara-negara maju yang menganut paham welfare state, masalah
kesejahteraan merupakan isu sentral dalam kebijakan publik dan layanan
sosial. Bila ditemukan ada satu saja warga negara yang meninggal dunia
karena kelalaian pejabat dalam memberikan layanan publik, akan menjadi
skandal politik besar yang bisa meruntuhkan kredibilitas pemerintah.
Di Indonesia,sudah tak terhitung lagi orang miskin yang meninggal
dunia karena kelaparan seperti yang pernah terjadi di Papua, atau
akibat makan tiwul beracun, atau lantaran nekat bunuh diri.

Peristiwa tragis ini tak pernah dianggap sebagai skandal politik dalam
penyelenggaraan negara.Di tengah tragedi sosial yang memilukan, para
pejabat negara justru pamer angka penurunan jumlah penduduk miskin.
Mereka perlu diingatkan agar tak terpukau pada perhitungan angka-angka
statistik belaka, merujuk ungkapan bijak: numbers speak many
things,but they can also be nothing. Kemiskinan jelas bukan sekadar
masalah angka!(*)

Amich Alhumami
Peneliti Sosial,
Department of Anthropology,
University of Sussex, UK

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/376410/
Share this article :

0 komentar: