BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Klaim,Fakta,dan Kebebasan Berpendapat

Klaim,Fakta,dan Kebebasan Berpendapat

Written By gusdurian on Selasa, 18 Januari 2011 | 11.20

Ada beberapa peristiwa yang terjadi secara kebetulan pada pekan kedua
Januari 2011.Kendatiterjadisecara kebetulan, semuanya tetap menarik
perhatian publik.

Sebaliknya, peristiwa-peristiwa itu mungkin kurang menyenangkan bagi
pemerintah. Pekanlalu, pemerintah memang seperti diguyur kritik yang
sangat keras.Senin (10/1) menjelang siang, perhatian sebagian
masyarakat tertuju ke acara HUT PDIP di Lenteng Agung. Banyak orang
menyimak pidato Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Bisa ditebak,
mantan presiden itu melancarkan kritik pedas ke pemerintah.Dia menilai
pemerintah lebih mementingkan pencitraan.

Perilaku yang kemudian disebutnya sebagai bencana mental. Masih di
hari yang sama, para tokoh lintas agama tidak lagi sekadar
mengkritik.Mereka bahkan mengecam dan menuduh pemerintah melakukan
kebohongan publik. Esensi dari kecaman dan tuduhan para tokoh agama
itu sama dengan kritik Megawati. Hanya, pilihan kata-katanya yang
berbeda. Di luar dugaan, tokoh-tokoh lintas agama menggunakan katakata
sangat tegas-lugas dalam menyuarakan pendapatnya.

Itulah jadinya jika klaim pemerintah bertolak belakang dengan realitas
kehidupan rakyat. Dua hari kemudian,Rabu (12/1), giliran Mahkamah
Konstitusi (MK) yang “mencuri” perhatian publik. Melalui Putusan Nomor
23- 26/PUU-VIII/2010, MK mengabulkan seluruh permohonan pengujian
terhadap UU No 27/2009 tentang MPR, DPR,DPD, dan DPRD (UU MD3).
Putusan MK ini otomatis menggugurkan Pasal 184 ayat (4) UU 27/2009
tentang Mekanisme Pengusulan Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPR.

Me-nurut MK, syarat pengambilan keputusan DPR untuk usul menggunakan
HMP tidak boleh melebihi batas persyaratan yang ditentukan Pasal 7B
ayat (3) UUD 1945. Pasal ini menetapkan, usul menggunakan HMP ke MK
harus memperoleh 2/3 dukungan dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Pernyataan para tokoh agama harus dilihat sebagai aktualisasi
kebebasan atau hak menyatakan pendapat. Sementara keputusan MK tentang
HMP DPR itu tak lebih dari koreksi MK atas hambatan DPR menggunakan
HMP itu.HMP DPR merupakan hak konstitusional DPR untuk melaksanakan
fungsi checks and balances.

Fondasi Klaim

Tidak ada yang menghalangi pemerintah, ketika baik Presiden maupun
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa memuji kinerja
pengelolaan ekonomi negara tahun 2010.Presiden melukiskan posisi
Indonesia di peringkat ketiga dalam lingkungan anggota G-20,di bawah
China dan India.Sedangkan Hatta menggambarkan Indonesia sebagai 18
besar perekonomian dunia dan sudah menjadi raksasa ekonomi. Rakyat
menghormati hak pemerintah membuat pernyataan atau klaim.

Sebaliknya,pemerintah pun mestinya menghormati hak rakyat, termasuk
tokoh agama, menyatakan pendapat. Pemerintah jelas berhak merespons
pernyataan para tokoh agama. Tetapi, respons itu tidak penting,bahkan
salah alamat karena para tokoh agama bertindak atas nama umatnya,
rakyat Indonesia. Jadi, kalau yakin 100% dengan klaim tentang kinerja
ekonomi negara 2010, pemerintah mestinya bertanya langsung kepada
rakyat sebab rakyat kebanyakanlah yang merasakan langsung kinerja
pemerintah dalam mengelola ekonomi negara.

Bertanyalah, “Siapa yang berbohong? KlaimPemerintahatau penilaian para
tokoh agama?” Ketika merespons pernyataan tokoh agama,Menko Polhukam
menandaskan klaim pemerintah berdasarkan data statistik. Sepengetahuan
saya, tidak ada yang membantah klaim atau statistik pertumbuhan versi
pemerintah.Persoalannya adalah klaim dan statistik itu tidak
mencerminkan realitas kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia.
Ekstremnya, statistik pertumbuhan itu bahkan bertolak belakang dengan
fakta kehidupan rakyat di akar rumput.

Mengacu pada alokasi volume Raskin yang masih tinggi, pemerintah
secara tidak langsung sebenarnya sudah dan terus mengakui bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu tidak bertransmisi pada aspek
kesejahteraan rakyat. Inilah yang selalu dipersoalkan para pemerhati
dan para tokoh agama itu.Kalau pengelolaan ekonomi negara diibaratkan
ujian kelulusan, pemerintahan ini mungkin mendapatkan nilai tinggi.

Namun, jika pengelolaan ekonomi negara dimaknai sebagai pengabdian
aparatur negara membangun harkat dan martabat manusia Indonesia
seutuhnya, nilai untuk pemerintahan ini jeblok. Pemerintah selalu
menutupi kegagalannya dengan argumentasi yang itu-itu juga atau banyak
kemajuan telah diraih, tetapi ada juga program yang belum dicapai.
Bagi saya, program menyejahterakan rakyat itu bukan hanya belum
dicapai, tetapi juga terabaikan.

Mengabaikan program kesejahteraan rakyat itulah titik lemah
pemerintahan ini. Mudah-mudahan, para menteri pernah mendengar
penilaian berbagai kalangan tentang data warga miskin dan
pengangguran. Pernyataan pemerintah bahwa kemiskinan dan pengangguran
berhasil diturunkan dinilai sebagai klaim yang manipulatif. Banyak
orang bahkan hanya bisa senyum sinis ketika pemerintah mengatakan daya
beli rakyat terus menguat.

Membuka Kebuntuan

Sebelumnya dan masih dalam konteks yang sama, saya pun mengecam klaim
Hatta Rajasa. Saya menilai Hatta lari dari tanggung jawab dengan
meniupkan angin surga dan mengajak rakyat bermimpi. Padahal, akibat
lonjakan harga kebutuhan pokok, jutaan anak terancam kekurangan gizi.
Saya mengimbau Hatta agar lebih peduli pada persoalan yang dihadapi
rakyat saat ini seperti lonjakan harga beras, cabai, dan minyak goreng
sebab itulah tugas utama Menko Perekonomian.

Jadi, per esensi,kritik para tokoh agama itu sama dan sebangun dengan
kritik para ekonom independen yang menilai buruknya kualitas
pertumbuhan ekonomi kita. Seperti para tokoh agama,saya pun telah
berulangkali menggunakan hak saya untuk menyatakan pendapat, baik
sebagai individu maupun sebagai anggota DPR mewakili partai dan
konstituen.Karena itu,saya pun merasa wajib mendorong semua komponen
bangsa untuk tak ragu menggunakan hak berpendapat, termasuk mengkritik
pemerintah.

Pernyataan para tokoh agama itu mestinya mengilhami dan memotivasi
kita semua. Dengan penyederhanaan proses mengusulkan HMP DPR, saya dan
kawan-kawan makin termotivasi. Perlu ditegaskan bahwa ketika menggagas
dan mengajukan uji materi atas Pasal 184 ayat (4) UU No 27/2009, tak
pernah ada agenda pemakzulan presiden di benak kami. Kebuntuan proses
hukum skandal Bank Century-lah yang mendorong kami mengambil inisiatif
uji materi itu.

Kami tidak berpikir kerdil. Jadi, keputusan MK itu sebaiknya tidak
ditafsirkan terlalu jauh. Mengacu pada konstruksi kekuatan politik di
DPR, kami tahu bahwa usul penggunaan HMP DPR tetap tidak mudah.
Tetapi, keputusan MK itu layak dimaknai sebagai pesan kepada Presiden.
Pesan bahwa Presiden tidak bisa lagi menyederhanakan setiap persoalan
yang berkaitan langsung dengan ke-pentingan rakyat. Kalau Presiden
terus bertindak minimalis dalam merespons persoalan rakyat, anggota
DPR tak segansegan mengambil inisiatif mengusulkan HMP.

Akumulasi Kekecewaan

Saya merekam kekecewaan mendalam masyarakat karena institusi DPR
terkesan tidak peduli pada penderitaan rakyat akibat lonjakan harga
bahan pangan. Masyarakat pun menilai perilaku institusi DPR sama saja
dengan pemerintah yang minimalis.Ketua DPR malah sibuk dengan proyek
gedung baru. Padahal, rakyat berharap DPR merekam, menghayati, dan
membantu rakyat mencari jalan keluar.

Dengan sejumlah hak konstitusional yang melekat padanya,wakilwakil
rakyat di Senayan mestinya menghardik pemerintah.DPR bisa saja
menggunakan HMP-nya karena pemerintah tidak maksimal melindungi rakyat
dari cengkeraman harga bahan pangan yang mahal.Kewajiban pemerintah
melindungi rakyat itu titah konstitusi. Dengan begitu, pemerintah
layak dikenakan pasal melanggar konstitusi jika membiarkan rakyat
menderita akibat lonjakan harga bahan pangan.

Institusi DPR mestinya merasa dipermalukan karena penderitaan rakyat
itu justru disuarakan para tokoh agama.Padahal,apa yang dilakukan para
tokoh agama itu mestinya dilakoni institusi DPR sebagai lembaga
perwakilan rakyat. Pernyataan tokoh agama dan keputusan MK tentang
syarat HMP DPR memperkuat keyakinan saya dan rekan. Kami tak segan
mengusulkan HMP jika pemerintah melakukan pembiaran atas masalah yang
dihadapi rakyat.

Selain persoalan harga pangan, saya mencatat pemerintah pun melakukan
pembiaran dalam kasus ledakan kompor gas. Dalam kasus hukum,
pemerintah melakukan pembiaran ketika penegak hukum tidak memproses
skandal Bank Century sebagaimana seharusnya. Pemerintah pun tak
berniat mengungkap ketidakberesan proses penawaran perdana saham PT
Krakatau Steel.

Untuk skandal Bank Century, kasus Gayus Tambunan,dan mafia perpajakan,
kami harus bersabar dan memberi kesempatan kepada pemerintah dan
penegak hukum. Namun, jika masalahnya berlarutlarut karena
pembiaran,tak ada pilihan lain bagi kami kecuali menggagas usulan
menggunakan Hak Menyatakan Pendapat DPR.(*)

Bambang Soesatyo
Anggota DPR Fraksi Partai Golkar,
Bendahara Umum KAHMI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/376396/
Share this article :

0 komentar: