BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Gubernur Dipilih Rakyat atau DPRD?

Gubernur Dipilih Rakyat atau DPRD?

Written By gusdurian on Selasa, 18 Januari 2011 | 11.23

Farouk Muhammad Anggota Dewan Perwakilan Daerah



SALAH satu buah refor masi yang secara sig nifikan mengubah pola
kehidupan demokrasi bangsa Indonesia adalah penerapan sistem pemilihan
langsung kepala daerah. Pilihan berdemokrasi secara langsung ternyata
tidaklah mudah diterapkan.

Pemilu kada hampir selalu menimbulkan konflik; terhadap sebagian dapat
diselesaikan melalui prosedur hukum, tetapi sebagian tidak jarang
berdampak komunal, vertikal, dan atau horizontal.

Untuk sebagian, konflik disebabkan ketidaksiapan elite politik
menerima kekalahan, tetapi sebagian besar karena politik uang maupun
kecurangan incumbent. Yang terakhir ini umumnya berupa penyalahgunaan
fasilitas, dana, dan kepegawaian termasuk penyelenggara pemilu. Karena
itu, pemilu kada langsung yang menghabiskan biaya yang cukup besar
berubah menjadi ajang pemilihan `pemimpin berduit'.

Akibatnya, kepala daerah terpilih cenderung menjadi penguasa zalim
yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan tim sukses dan
pengembalian modal. Pada gilirannya, masyarakat mulai jenuh dan tidak
percaya pada sistem demokrasi.

Fenomena seperti diuraikan tersebut memunculkan wacana pemilihan
gubernur melalui DPRD provinsi, seperti yang pernah dipraktikkan pada
masa lalu, dengan penyesuaian seperlunya. Wacana tersebut perlu
dibahas dalam rangka penyusunan RUU Pemilu Kada. Menimbang langsung
atau tidak langsung Pemilu kada langsung ataupun tidak langsung
memiliki kelebihan dan kekurangan.
Ditinjau dari sudut konflik, harus diakui bahwa pemilu kada langsung
lebih banyak menimbulkan konflik komunal yang cenderung anarkistis. Di
lain pihak, pemilihan gubernur melalui DPRD tidak sertamerta tanpa
konflik.

Pemilihan Gubernur NTB tahun 1998, misalnya, melahirkan konflik etnis
yang cukup panas. Lebih dari itu, konflik komunal yang anarkistis
telah menjadi `merek' bangsa kita dan mencakup berbagai aspek karena
akar permasalahannya bersumber dari kondisi sosial ekonomi bersamaan
dengan lemahnya sistem politik. Karena itu, saya menduga
kelemahankelemahan dalam pemilu kada langsung hanyalah akselerator
politik yang menunggu trigger bagi terjadinya konflik yang bukan tidak
mungkin juga bisa `dibakar' oleh kecurangan akibat pemilihan melalui
DPRD.

Ditinjau dari sudut pembiayaan, pemilihan melalui DPRD praktis lebih
hemat.
Meski demikian, jika gagasan penyelenggaraan pemilu kada serentak
diterapkan, sudah barang tentu bisa menekan biaya seminimal mungkin.
Hanya saja pemilu kada serentak membutuhkan masa transisi dan harus
menghindari kampanye terbuka.

Perlu dicatat bahwa kemahalan biaya pemilu kada tidak terlepas dari
regulasi yang rancu/multitafsir, mulai dari inventarisasi pemilih dan
rekrutmen calon sampai kampanye dan pemungutan suara. Biaya calon
harus dibatasi dan dikontrol secara ketat, terutama anggaran belanja
yang seharusnya proporsional dengan pendapatan asli daerah. Jelas,
bahwa figur yang telah dikenal dan memiliki integritas dan rekam jejak
yang diakui masyarakat luas laku `dijual' dengan biaya yang relatif
lebih murah. Penghematan juga bisa dilakukan melalui penerapan
teknologi terpadu (ICT system) yang meskipun mahal pada tahap pertama,
relatif murah untuk pemakaian berikutnya.

Dari segi penyalahgunaan kekuasaan, pemilihan melalui DPRD jelas tidak
menimbulkan permasalahan. Di lain pihak, penyalahgunaan kekuasaan juga
dapat diminimalisasi pada pemilu kada langsung jika dipersyaratkan
bahwa calon `tidak sedang menduduki jabatan sebagai kepala/wakil
kepala daerah'. Persyaratan tersebut tidak secara eksplisit membatasi
hak individu, tetapi menekankan pada kewajiban jabatan untuk tidak
dimanfaatkan bagi kepentingan pemenuhan hak individu. Ini berarti
bahwa persoalan pengunduran diri atau cuti sampai penghitungan suara
adalah konsekuensi yang diputuskan calon sendiri atau setidak-tidaknya
cukup diatur secara eksplisit dalam peraturan di bawah undangundang.

Wacana pemilihan gubernur melalui DPRD boleh jadi dipertimbangkan
sebagai jalan keluar dari praktik money politic. Namun di beberapa
daerah, ternyata telah beredar `harga' pasaran bahwa setiap anggota
DPRD provinsi siap `menjual' suara dengan nilai antara Rp1,25 miliar-
Rp1,5 miliar.
Ancaman di-recall oleh partai tidak menyurutkan semangat mereka,
karena jumlah uang tersebut lebih besar daripada total penghasilan
selama sisa masa m keanggotaan. Sikap terseb bahkan dengan lantang but
dipublikasikan dengan alasan sebagai `dana aspirasi(?)'. Jika ditambah
biaya partai, seorang calon harus menyiapkan lebih dari Rp50 miliar
yang kelak harus dibayar kembali dengan kekuasaan selama masa jabatan.
Ini berarti bahwa jabatan gubernur hanya mungkin diduduki orang
berduit atau yang dimodali pengusaha.

Permainan `mata' dalam penyusunan RAPBD sudah mulai tercium. Pada
beberapa provinsi, untuk setiap anggota DPRD dialokasikan anggaran
`dana aspirasi' mencapai Rp1 miliar per tahun, diduga sebagai `panjar'
oleh incumbent yang bakal maju lagi dalam pemilihan gubernur periode
berikutnya.

Mengungkap praktik money politic melalui anggota DPRD jauh lebih rumit
jika dibandingkan yang dibagi kepada rakyat.
Yang pertama tergolong tindak pidana korupsi (suap-menyuap) yang
pelakunya sama-sama berpendidikan dan cerdik dalam merancang modus.
Sebaliknya, mengungkap money politic melalui rakyat relatif lebih
mudah karena massal dan penerimanya tidak dikenai sanksi pidana,
tetapi pelanggarannya secara masif dan terstruktur semestinya dapat
menggugurkan pencalonan.
Pilihan politik bangsa Mekanisme pemilihan gubernur melalui DPRD benar
lebih efisien, tetapi pada akhirnya kesejahteraan rakyat termasuk
moral bangsa menjadi taruhannya karena pemimpin yang terpilih cukup
bermodalkan uang walau tidak berkualitas, bermoral, dan dikenal
rakyatnya sendiri. Sebaliknya, pemilu kada langsung memang membutuhkan
biaya penyelenggaraan yang cukup besar, tetapi dapat ditekan dengan
pembuatan aturan main yang rigid.
Kecurangan dari incumbent juga dapat diminimalisasi jika persyaratan
calon ditentukan tidak sedang menduduki jabatan sebagai kepala/wakil
kepala daerah. Pemilihan calon gubernur sebagai wakil pemerintah
mempersyaratkan persetujuan presiden dengan parameter kapabilitas dan
survei akseptabilitas oleh lembaga independen.

Selain sebagai media investasi pendidikan politik, pemilu kada
langsung dapat diperbaiki dengan regulasi yang jelas, pasti, dan
lengkap terutama strategi pengawasan dan penindakan money politic.
Lembaga pengawas harus diperkuat dengan melibatkan para anggota Polri
sebagai pengamat lapangan dan menunjuk lembaga peradilan pemilu yang
mengerucut pada Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan akhir.

Pada akhirnya, pilihan menentukan pemilihan gubernur secara langsung
atau tidak langsung merupakan kesepakatan politik untuk meminimalisasi
kelemahan dari mekanisme yang dipilih. Namun, wacana untuk
mengembalikan ke mekanisme DPRD perlu dipertimbangkan lebih matang
karena dikhawatirkan menjadi pilihan buruk (set back) yang justru
menafikan nilai-nilai demokrasi yang telah menjadi pilihan politik
bangsa kita sejak digulirkannya gerakan reformasi nasional selama
ini.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/18/ArticleHtmls/18_01_2011_021_003.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: