BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Freeman, Inovasi, dan Sepak Bola

Freeman, Inovasi, dan Sepak Bola

Written By gusdurian on Selasa, 18 Januari 2011 | 11.22

Sakti Nasution Analis Pemetaan Legislasi Iptek Kementerian Riset dan
Teknologi

Tahapan yang tak kalah penting adalah bagaimana menentukan pilihan dan
menetapkan fokus utama sistem inovasi lebih terarah dan terukur, agar
tujuannya dapat dicapai."
INDONESIA butuh rencana konkret untuk memperce pat pertumbuhan per
ekonomian nasionalnya.
Demikian harapan Presiden Yudhoyono pada rapat kabinet terbatas di
Istana Bogor, akhir bulan lalu. Lalu, seperti apa bentuk konkret
pertumbuhan ekonomi nasional itu?
Menurut pendapat Christopher Freeman, ekonom terkemuka dari Inggris,
percepatan ekonomi suatu negara sangat dipengaruhi kinerja aktor-aktor
dan jejaring organisasi dalam sebuah sistem inovasi nasional.
Bekerja atau tidaknya sistem inovasi ini­dalam dimensi tertentu-dapat
dianologikan seperti mengusung tim sepak bola.

Bersama dua sejawatnya, Freeman memperkenalkan konsep yang sekarang
dikenal sebagai `sistem inovasi nasional'. Sebuah konsep yang telah
memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan tradisi peran riset dan
inovasi bagi pertumbuhan ekonomi, sains, dan teknologi. Konsep ini
telah terbukti membawa kesejahteraan bangsa-bangsa maju saat ini dan
mendorong munculnya kelompok `new emerging forces' seperti China dan
India.
Enggan kolaborasi Kinerja inovasi pada tingkat negara ditentukan
kinerja inovasi badan-badan usaha nasional. Bangunan jejaring,
integrasi, dan kinerja sistem inovasi akan bermuara ke bentuk produk-
produk kompetitif barang atau jasa, yang merupakan hasil kinerja
inovasi pada tingkat badan usaha. Oleh karena itu, upaya memperkuat
fungsi dan tanggung jawab badan usaha nasional di sini menjadi mutlak
dan strategis.

Belum lama ini World Economic Forum (WEF) melakukan perhitungan
kemampuan inovasi negara-negara dunia (2010-2011) yang didasarkan pada
sejumlah parameter yang mencakup kapasitas inovasi, kualitas lembaga
riset, pembiayaan riset badan usaha, kolaborasi badan usaha dengan
universitas, ketersediaan periset dan perekayasa, serta jumlah
pemanfaatan paten. Dalam laporannya, WEF memosisikan inovasi Indonesia
di bawah negara ASEAN lainnya seperti Singapura dan Malaysia.

Penempatan posisi Indonesia itu--merujuk ke konsep Freeman--dapat
dinilai wajar saja, mengingat saat ini aktoraktor atau organisasi-
organisasi utama inovasi Indonesia belum bekerja maksimal atau
bersinergi dengan baik. Walaupun begitu, sebagian besar anak bangsa
tetap sulit menerima posisi itu. Pasalnya, pada dasarnya bangsa ini
memiliki kemampuan menguasai inovasi dengan didukung sumber daya alam
melimpah, tersedianya periset-periset andal, dan lembaga-lembaga riset
bertaraf internasional seperti LBM Eijkman, yang tak kalah hebat dari
negara lain.

Akan terasa sulit untuk melakukan kolaborasi inovasi jika para
periset, inovator, penemuan dan kekayaan intelektual universitas/
lembaga riset masih belum berorientasi pada pemenuhan kebutuhan riil
masyarakat, pasar, atau dunia bisnis pada umumnya.
Sementara badan usaha enggan dan terpaksa tetap memilih cara
mengembangkan produk barang/jasa secara sendirisendiri atau membelinya
ke luar negeri.
Sepak bola Riedl Dari pengalaman negara maju, membangun sistem inovasi
nasional bukanlah perkara mudah, karena menyangkut knowledge
management dan sistem yang kompleks. Namun, untuk memulai bangunan
sistem inovasi yang dinginkan-dalam dimensi tertentu-­dapat melihat
kepada usaha yang dilakukan Alfred Riedl dengan tim sepak bola
nasional ketika memperebutkan Piala AFF 2010. Ternyata timnas
Indonesia dapat bermain sangat bagus dan membanggakan kita semua.

Paling tidak ada 4 (empat) faktor penentu `kejayaan' tim nasional yang
dapat dijadikan pembelajaran. Pertama, faktor strong leadership.
Dengan segenap pengalamannya, Riedl berani menempatkan para pemain
muda belum `matang' tapi punya skill, dan mencampurnya dengan pemain-
pemain senior dan naturalisasi. Sebagai pelatih, Riedl menentukan
strategi dan formasi pemainnya sendiri. Watak, strategi, keberanian,
dan keleluasaan yang dimilikinya, membuat nya tampak sebagai sosok
pemimpin yang kuat.

Kedua, faktor team work.
Nasuha muda, Bambang Pamungkas senior, Gonzales, dan Bachdim yang
dinaturalisasi tampak kompak bermain indah satu sama lain saling
mengoper bola hingga ke mulut gawang.
Perbedaan pengalaman, latar belakang atau asal klub tidak menghalangi
kerja sama. Sementara latihan bersama Riedl merupakan pembelajaran
berharga. Berkat kekuatan team work ini, tim nasional sering menang
dan menciptakan golgol yang fantastik.

Ketiga, faktor supporting.
Kemenangan tim sepak bola memang pada akhirnya ditentukan 11 orang
pemainnya. Namun tanpa penonton, permainan sepak bola akan terasa
hambar. Salah satu faktor keberhasilan tim adalah terlibatnya penonton
di setiap pertandingan. Para pemain mengetahui mereka mendapat
dukungan penonton dan mereka main untuk penontonnya.
Adapun faktor yang keempat adalah nasionalisme. Slogan `Garuda di
Dadaku' menggelorakan semangat juang untuk menang. Nasionalisme adalah
keyakinan pemain bahwa Indonesia dapat mengalahkan negara lain.

Riedl dan Freeman memang dua tokoh dengan urusan yang d berbeda.
Namun, Freeman akan setuju dengan cara-cara Riedl mengusung sepak bola
Indonesia. Demikian juga halnya membangun sistem inovasi, tentunya
membutuhkan strong leadership. Selain itu perlu satu team work yang
kuat dan dapat mencetak gol, sama halnya dengan kerja sama dan
networking yang menjadi persyaratan utama sistem inovasi. Demikian
juga jika tanpa dukungan lembaga-lembaga kebijakan inovasi dan segenap
komponen bangsa, sistem inovasi akan sulit terwujud. Sementara
globalisasi merupakan keniscayaan.
Namun, gelora nasionalisme akan mempercepat bangsa ini semakin
mandiri.
Perangkap regulasi atau koordinasi Iklim di Indonesia belumlah
kondusif bagi bangunan sistem inovasi. Dari sisi regulasi, pemerintah
sudah berupaya mengakselerasi kegiatan riset dan inovasi dunia usaha,
antara lain dengan memberikan insentif. Namun, upaya harmonisasi dan
sinkronisasi regulasi tampaknya masih perlu dilakukan. Sebab, regulasi
masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Selama ini regu lasi sifatnya
cenderung sektoral dan tidak mudah dalam implementasinya.

Selain itu, terdapat regulasi yang menghambat seperti pada aturan
rezim pegawai negeri sipil, yang tidak membolehkan adanya mobilitas
sumber daya manusia ke badan usaha swasta, yang memerlukan bantuan
tenaga periset atau perekayasa pemerintah.

Sementara dari sisi nonregulasi, pembenahan dan optimalisasi
kompetensi kelembagaan inovasi merupakan hal yang mutlak dilakukan.
Upaya pembenahan paralel dengan upaya-upaya untuk menyinergikan
kebijakan sistem riset dan teknologi dengan kebijakan sektoral sistem
perindustrian, pendidikan, keuangan dan sebagainya, sehingga dapat
berkorelasi. Satu bahasa dan terkoordinasi ke dalam satu sistem yang
lebih besar, yaitu sistem inovasi nasional.

Tahapan yang tak kalah penting adalah bagaimana menentukan pilihan dan
menetapkan fokus utama sistem inovasi lebih terarah dan terukur, agar
tujuannya dapat dicapai. Hal lain seperti nasionalisme, strong
leadership, budaya kreatif, dan sikap berani mengambil risiko,
pembelajaran, atau reformasi birokrasi akan sangat memengaruhi sistem
inovasi yang akan dibangun.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/01/18/ArticleHtmls/18_01_2011_021_016.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: