BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Haruskah Kembali ke DPRD?

Haruskah Kembali ke DPRD?

Written By gusdurian on Kamis, 16 Desember 2010 | 11.36

Oleh Saldi Isra

Di tengah ingar-bingar perdebatan keistimewaan Yogyakarta, usul
pemerintah untuk kembali memilih gubernur dengan sistem perwakilan
nyaris luput dari perhatian publik. Padahal, jika diletakkan dalam
gagasan kepala daerah pilih- an rakyat, mengembalikan pemilihan
gubernur ke DPRD dapat dikatakan sebagai langkah mundur.

Bisa jadi, belajar dari penolakan terhadap usul pengisian gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jauh
lebih hati-hati. Dalam sebuah acara di Lemhannas, Presiden menegaskan
bahwa usul pemilihan gubernur dan wakil gubernur dipilih DPRD masih
merupakan pilihan terbuka (Kompas, 14/12). Kemungkinan itu sama
terbukanya dengan mempertahankan pemilihan langsung.

Meski menegaskan sebagai pilihan terbuka, pernyataan Presiden seperti
kata bersayap, yaitu dengan meminta semua pihak merujuk kembali pada
konstitusi. Permintaan itu jelas, secara tekstual, perdebatan harus
diletakkan dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang hanya mengisyaratkan
bahwa gubernur dipilih secara demokratis.

Pertanyaannya, haruskah frasa ”dipilih secara demokratis” tersebut
dimaknai sebagai pemilihan oleh DPRD? Pada satu sisi, pertanyaan itu
patut dicermati dengan mendalam karena trauma matinya demokrasi dalam
pemilihan kepala daerah sepanjang kekuasaan Orde Baru. Di sisi lain,
pengalaman pemilihan langsung selama lima tahun terakhir begitu mudah
terjebak praktik politik uang.

Penyempitan makna

Sekalipun Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa gubernur dipilih
secara demokratis, pilihan politik pembentuk undang-undang telah
mempersempit maknanya menjadi pemilihan secara langsung. Sebagai
sebuah legal policy, Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menyatakan, kepala daerah dipilih secara
demokratis berdasar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil.

Dalam konteks lebih luas, legal policy pembentuk undang-undang
memaknai frasa ”dipilih secara demokratis” menjadi pemilihan langsung
merupakan salah satu bentuk konkret asas kedaulatan rakyat.
Bagaimanapun, dengan menggunakan sis- tem perwakilan, rakyat akan
kehilangan kedaulatannya secara langsung menentukan gubernur. Banyak
pengalaman menunjukkan bahwa pemilihan dengan sis- tem perwakilan acap
kali mendistorsi kehendak dan logika rakyat.

Bila penyempitan makna tersebut hanya dimaknai sebagai legal policy
dari pembentuk UU, upaya mengembalikan pada pemilihan oleh DPRD secara
mudah dapat dilakukan dengan hanya mengubah UU. Hal itu dapat terjadi
karena proses legislasi amat ditentukan oleh kehendak politik
pemerintah (baca: presiden) dan partai politik di DPR. Sepanjang
dukungan politik memenuhi, mengubah UU kapan saja dapat dilakukan.

Namun, perlu diketahui, mengembalikan penyempitan makna ketentuan
Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 pada pemilihan oleh DPR tak sesederhana
itu. Argumentasi tambahan yang harus dicari dan dibangun adalah
bagaimana mengubah putusan Mahkamah Konstitusi yang telah meneguhkan
pemilihan kepala daerah secara langsung ketika memutuskan dibukanya
ruang bagi calon kepala daerah yang berasal dari perseorangan.

Dengan adanya putusan MK, peneguhan penyempitan makna pemilihan kepala
daerah menjadi dipilih secara langsung tak begitu saja dapat
dieliminasi dengan hanya mengubah undang-undang. Artinya, langkah
mengembalikan pemilihan gubernur kepada DPRD potensial merusak
bangunan sistem secara keseluruhan. Jika itu terjadi, bersiaplah
melangkah dalam situasi serba tak pasti.

Tak hanya bertolak belakang dengan makna hakiki kedaulatan rakyat,
mengembalikan model pemilihan gubernur ke DPRD jelas mengancam
eksistensi calon perseorangan. Padahal, dalam Penjelasan UU No 12/2008
tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 ditegaskan: memberi ruang
bagi calon perseorangan merupakan wujud penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang lebih efektif dan akuntabel sesuai dengan aspirasi
masyarakat.

Merujuk pada pengalaman pemilihan kepala daerah langsung sebelum UU No
12/2008, tersedianya ruang bagi calon perseorangan dimaksudkan guna
”mengoreksi” monopoli partai politik dan meruyaknya praktik politik
uang pada hampir setiap proses pengajuan calon kepala daerah. Bukankah
dengan usul kembali dipilih DPRD akan mengulangi cerita buram praktik
di tingkat lokal?

Selain itu, dengan terancamnya calon perseorangan, usul gubernur
dipilih DPRD dapat dikatakan sebagai pengingkaran nyata atas salah
satu hak dasar warga negara. Dalam hal ini, Pasal 28D Ayat (3) UUD
1945 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan. Meski selama ini tingkat keterpilihan
calon perseorangan relatif kecil, ruang bertarung dalam pemilihan
kepala daerah tak boleh dipersempit, apalagi dimatikan.

Ketika frasa pemilihan secara demokratis dimaknai menjadi pemilihan
secara langsung, salah satu basis argumentasinya adalah penyeragaman
model pemilihan. Sebagaimana praktik dalam sistem presidensial,
pemimpin eksekutif tertinggi dipilih secara langsung. Jika usul
gubernur dipilih DPRD diterima, akan ada dua masalah serius dalam
konteks sistem pemerintahan.

Posisi gubernur

Masalah pertama, gubernur akan hadir dalam legitimasi yang berbeda
dibanding dengan bupati dan/atau wali kota. Bagaimanapun, bila
gubernur dipilih DPRD, sementara bupati dan/atau wali kota dipilih
langsung, gubernur potensial kesulitan berhadapan dengan bupati dan/
atau wali kota. Bila tak diantisipasi sejak awal, gubernur tak akan
bisa berbuat banyak dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah.

Masalah lain, gubernur akan berhadapan dengan legitimasi DPRD yang
dipilih langsung dari rakyat. Jika salah satunya dipilih langsung oleh
rakyat, dapat dipastikan bahwa yang tak mendapat mandat rakyat
langsung akan amat mudah berada di bawah tekanan.

Dengan segala kelemahan yang ada, pemilihan langsung harusnya tetap
dipertahankan. Yang harus dicarikan solusinya, bagaimana proses
pemilihan gubernur bisa dilaksanakan lebih efisien. Jangan karena
gagal membangun manajemen pemilihan yang tepat, nilai-nilai demokrasi
yang mulai disemai diingkari. Lalu, haruskah pemilihan gubernur
dikembalikan ke DPRD?

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Padang

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/16/03572281/haruskah.kembali.ke.dprd
Share this article :

0 komentar: