Sejujurnya, tiga hari terakhir ini kepala saya agak sakit karena
mencoba mencerna pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika
rapat kabinet terbatas, Jumat (26/11), tiba-tiba Presiden menyinggung
soal keistimewaan Yogyakarta dengan menyatakan bahwa tidak mungkin ada
sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi.
Menyaksikan saya lebih sering bikin kopi dari biasanya, istri bertanya
apa yang sedang penulis pikirkan. Sulit untuk tidak menjawab bahwa
saya tidak mengerti sikap SBY. Saat ini Yogya dan sekitar Merapi
sedang dirundung keprihatinan. Mengapa Presiden justru melontarkan
pernyataan seperti itu di tengah kegundahan sekitar 22.000 keluarga
yang mungkin harus memulai hidup dari nol dan tidak menentu.
Dalam keadaan galau seperti ini, penulis disergap begitu saja oleh
pesan Emak, ”Urip iki ngono yo ngono ning ojo ngono” (dalam hidup ini
sebaiknya bijaksana melihat situasi).
Sebagai anak yang tumbuh di Madiun, Jawa Timur, penulis bisa saja
tidak peduli terhadap dinamika yang terjadi di Yogyakarta. Tapi
keinginan untuk mempunyai sikap adil subyektif sulit dibendung begitu
saja. Dorongan semacam itu lahir karena pergumulan beberapa fakta,
seperti perkenalan dengan Sultan Hamengku Buwono X, kehangatan para
sahabat dan teman di Yogyakarta, keadilan praksis penyelenggaraan
pemerintahan secara nasional, keinginan untuk membangun keunikan
demokrasi Indonesia, dan kekhawatiran akan pembelahan masyarakat Yogya
yang multikultur apabila aspek penetapan diabaikan dalam posisi
gubernur dan wakil gubernur.
Sintesis cerdas
Apabila Presiden berkehendak untuk konsisten dengan konstitusi dan
nilai-nilai demokrasi seperti dilontarkan Jumat lalu, seharusnya bukan
hanya Yogyakarta yang menjadi perhatian, tetapi juga DKI Jakarta,
Aceh, dan Papua. Ketiga provinsi tersebut jelas menabrak konstitusi
dan nilai demokrasi yang diyakini Presiden. Dari sisi penegakan nilai
demokrasi, yang harus bersifat universal, misalnya, DKI Jakarta adalah
paling tidak demokratis. Wali kota dipilih oleh gubernur. Sudah
begitu, tidak ada DPRD Kota yang bisa melakukan kontrol terhadap wali
kota dalam mekanisme checks and balances. Praksis demokrasi macam apa
ini?
Lalu soal penegakan konstitusi, ideologi negara kita adalah Pancasila.
Tapi justru karena keistimewaannya, Aceh boleh menerapkan hukum Islam.
Ini menjadi representasi keistimewaan ideologis. Demikian juga dengan
Papua, justru karena kekhususannya, Majelis Rakyat Papua (MRP) boleh
duduk di legislatif. Lalu apa masalahnya jika keistimewaan Yogyakarta
juga berarti Sultan HB dan Paku Alam secara otomatis menjadi gubernur
dan wakil gubernur sebagai representasi keistimewaan eksekutif?
Oleh sebab itu, saya selalu berargumen secara konsisten. Hakikat
demokrasi pada dasarnya bukanlah sekadar eksistensi angka (jumlah
suara), banyaknya jumlah partai, momen ketika warga negara datang ke
tempat pemungutan suara, pemimpin dipilih langsung, akan tetapi
penghormatan pada hak-hak individu, cita-citanya, dan kepemimpinan
yang luhur. Tanpa itu, seperti dikatakan Merkel (2010), sejatinya
demokrasi menjadi defektif.
Dengan demikian, demokrasi seharusnya memberi jalan terang agar rakyat
bisa mesem (tersenyum) karena cukup pangan, sandang, papan, biaya
pendidikan dan kesehatan terjangkau. Bahkan demokrasi harus membuat
jalan itu lebih lebar agar rakyat dapat gemuyu (tertawa). Artinya,
selain bisa mesem, rakyat juga bisa piknik dan menabung. Singkatnya,
demokrasi bisa membuat rakyat tata tentrem kerta raharja (aman
tenteram dan makmur).
Lebih daripada itu, karakter dan nilai- nilai lokal juga bisa
menyemarakkan demokrasi dan memperkaya keunikannya. Lihat saja China
yang sekarang mengibarkan ideologi ”sosialisme China” sebagai sintesis
cerdas antara komunisme dan kapitalisme.
Oleh sebab itu, demokrasi yang kita bangun pun tidak akan kalah indah
kalau pilar-pilar keistimewaan juga bersinar. Aceh istimewa dari sisi
ideologi, Papua legislatif, dan Yogyakarta eksekutif. Sejauh sistem
ini menjamin kesejahteraan rakyat, bukan saja praksis demokrasi ini
unik, tetapi juga menunjukkan kecerdasan anak bangsa dalam melakukan
sintesis antara kebijakan lokal dan demokrasi barat.
Mirip agresi
Dengan semua argumen itu, secara intelektual dan emosional yang
didasarkan pada aspek latar belakang sejarah dan tuntutan masyarakat
Yogyakarta, saya lebih bangga jika keistimewaan Yogyakarta
dipertahankan sesuai dengan amanat Sri Sultan HB IX dan KGPAA Paku
Alam, tanggal 5 September 1945. Penetapan Sultan HB dan Paku Alam
sebagai gubernur dan wakil gubernur adalah ”mas kawin” yang disepakati
Republik saat itu. Jika mas kawin itu diminta kembali, maka seperti
kerap disebut Sultan HB X, berarti ”ijab kabul” batal. Anda tahu
artinya, kan?
Kita semua, atas nama demokrasi yang sebenarnya cuma prosedural,
beberapa tahun terakhir ini telah melakukan semacam ”agresi” terhadap
Yogya. Kita seperti Belanda dulu, yang sejak 19 Desember 1948 mengusik
ketenteraman Yogya. Kini saatnya kita hargai sejarah, kesepakatan para
bapak bangsa, dan keinginan rakyat Yogya. Itulah salah satu kepingan
terpenting dari hakikat demokrasi substansial. Seperti peristiwa 29
Juni 1949 di mana agresi militer Belanda berhenti, kini saatnya ”Yogya
Kembali”.
SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar