Oleh Agust Riewanto Peneliti hukum dan kandidat doktor ilmu hukum
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
BARU saja Komisi III DPR memilih Busyro Muqoddas sebagai Ketua baru
KPK menggantikan Antasari Azhar. Tak ada yang kaget atas terpilihnya
Busyro yang mengalahkan rivalnya, Bambang Widjojanto.
Sejak semula Busyro lebih dijagokan selain karena telah memiliki
pengalaman sebagai Ketua KY, ia seorang akademisi yang santun dan
bersih. Sayang ketika ia menjabat Ketua KY tak banyak melakukan
gebrakan yang signifi kan dalam mengawasi para hakim dari jeratan
korupsi.
Publik pun kini menyangsikan gebrakannya dalam memim pin pemberantasan
korupsi di KPK. Terutama dalam menguak kasus-kasus korupsi ‘kakap’
yang memperoleh perhatian publik seperti kasus bailout Bank Century
dan mafi a pajak yang melibatkan jejaring kuat di belakang Gayus HP
Tambunan.
Agar pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan produktif,
Busyro Muqoddas perlu menyinergikan kinerja antara KPK) dan institusi
penegakan hukum lain, seperti peradilan, jaksa, polisi, dan perangkat
sistem penegakan hukum.
Tanpa disertai sinergi antara lembaga-lembaga hukum itu, pemberantasan
korupsi hanya akan berjalan seolah berdasar ‘pesanan’ dan serbatebang
pilih.
Efektivitas sistem peradilan dan KPK daerah Pertama, perlunya
mendesain sistem peradilan korupsi yang efektif. Selama ini proses
pengungkapan kasus tindak pidana korupsi dilakukan dalam dua jalur
pengadilan, yakni pengadilan umum (PN) dan pengadilan ad hoc korupsi.
PN yang mengadili kasus korupsi, bila tersangkanya dituntut jaksa
penuntut umum, dan pengadilan ad hoc korupsi yang mengadili kasus
korupsi bila tersangka dituntut jaksa penuntut umum yang ada di KPK.
Agar proses peradilan tindak pidana korupsi dapat paralel dengan satu
pengawasan KPK, sudah saatnya bila semua proses peradilan kasus
korupsi dilakukan dalam satu atap, yakni pengadilan khusus korupsi dan
tidak dilakukan di PN. Hal itu diperlukan guna meminimalkan praktik
suap dan kolusi di PN. Realitasnya hakim-hakim pada PN tanpa melalui
seleksi khusus (fi t and proper test) dan hanya terdiri dari hakim-
hakim karier. Hakim-hakim pada pengadilan khusus korupsi terdiri dari
dua unsur, yakni berasal dari karier dan nonkarier dan proses re
krutmennya pun melalui seleksi khusus (fit and proper test) sejak
hakim di tingkat pertama, banding, sampai di tingkat kasasi.
Dengan demikian, kualitas hakim antara di PN dan pengadilan khusus
korupsi dipastikan berbeda, baik dari sisi integritas moral maupun
dari sisi kemampuan profesionalitas. Dengan demikian, hakim-hakim di
pengadilan khusus sangat dimungkinkan tak akan mampu memperjualbelikan
hukum karena memperoleh perhatian khusus dari publik dan KPK, berbeda
dengan hakim di PN yang jarang memperoleh perhatian khusus publik dan
KPK.
Di titik itulah menyatuatapkan mekanisme sistem peradil an (one roof
system) kasus korupsi dalam satu peradilan khusus korupsi tak dapat
ditawar lagi. Bila mekanisme itu yang dipilih, sudah saatnya pula
perlu segera membentuk peradilan khusus korupsi di seluruh Indonesia,
kendati secara bertahap, diharapkan pada 2011 telah dapat dibentuk di
kota-kota besar di Indonesia yang memiliki potensi korupsi cukup
besar, se perti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Pulau Sumatra,
dan Kalimantan. Ini semata-mata dimaksudkan agar mekanisme
pemberantasan korupsi dapat berjalan sinergi dengan KPK.
Termasuk membuka wacana kemungkinan pembentukan KPK di tingkat daerah
(provinsi dan kabupaten/kota).
Eksaminasi putusan hukum Kedua, KPK perlu menjadi organ negara garda
depan dalam membudayakan eksaminasi publik atas putusan perkara
korupsi yang kontroversial alias melukai nurani publik.
Eksaminasi dalam bahasa sederhana dapat diartikan pengujian.
Namun, eksaminasi yang lazim di dunia peradilan biasanya hanya di
kalangan internal pe
ngadilan (MA, PN, dan PT) dengan maksud dan tujuan untuk memperbaiki
kualitas putusan. Karena itu, eksaminasi hanya bersifat formalitas
dari atasan atau rekan sejawat untuk menjalankan tugas tidak dalam
rangka memberi sanksi yang tegas terhadap putusan yang tidak
berkualitas. Terbukti hingga kini belum terlihat aparat hukum yang
dipecat karena rendahnya kualitas putusan hukum.
Berbeda bila eksaminasi dilakukan publik (akademisi dan aktivis
hukum), karena merupakan bagian dari kontrol publik terhadap putusan
hukum, dimungkinkan lebih objektif
dan bersemangat keadilan dan kejujuran, bukan sekadar teknis
administratif dan protokoler sebagaimana yang dilakukan institusi
pengadilan. Diharapkan, hasil eksaminasi publik tidak hanya
mencerdaskan publik, tetapi juga direspons KPK agar kasus-kasus
korupsi yang menyita publik dibuka ulang bila hasil putusan pengadilan
tak adil. Manajemen e-court Ketiga, KPK perlu melakukan sosialisasi
usaha-usaha untuk memerangi korupsi di peradilan (judicial
corruption). Salah satu nya perlu digagas menajemen pengelolaan kasus-
kasus korupsi dengan semakin transparan. Sistem transpa ransi bisa
dimulai dengan menerapkan managemen pelayanan publik dengan
memanfaatkan teknologi informasi (TI). Begitu pula sistem pelayanan di
kejak saan dan peradilan perlu mengakomodasi ini, yakni berbasis
teknologi informasi (electronic court). Dengan sistem e-court semua
proses hukum di kejaksaan dan peradilan dikomputerisasi.
Misalnya, penentuan jaksa dan majelis hakim akan oto matis ditentukan
komputer sehingga peluang untuk memesan jaksa dan hakim yang khabarnya
bisa dilaku kan, tidak terjadi. Ide dasar e-court ini adalah transpa
ransi. Diharapkan dengan transparansi, korupsi dapat direduksi.
I UU Kebebasan Informasi Keempat, segera mengimple mentasikan UU No 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Infor masi Publik dan penguatan Komisi
Informasi. Tujuannya agar publik dapat melakukan kontrol terhadap
penyelengga raan pemerintah. Begitu pula kewajiban aparat
penyelenggara untuk memberikan akses informasi pada publik. Asumsi itu
didasarkan pada fakta bahwa saat ini ketidaktransparanan penyelenggara
pemerintah dalam pengelolaan anggaran pemerintah baik bersumber dari
APBN dan APBD menyebabkan korupsi marak terjadi di birokrasi pusat dan
daerah.
Percepatan implementasi UU tentang Kebebasan Publik dalam Akses
Informasi diharapkan akan memiliki beberapa manfaat di antaranya (1)
dapat membatasi dan atau mencegah ruang bagi penjabat publik untuk
melakukan korupsi; (2) memperkuat akuntabilitas publik dalam
penyelenggaraan birokrasi pemerintah; dan (3) diharapkan dapat
mendesakralisasikan putusan, dokumen, dan berkasberkas hukum yang
selama ini dianggap sakral.
Meningkatkan pendapatan Kelima, KPK perlu mengusulkan pada pemerintah
agar dipikirkan pemberian gaji yang memadai (remunerasi) bagi
institusi negara yang rawan korupsi. KPK perlu membuat peta yang
teliti dan komprehensif institusi-institusi yang memiliki potensi
aparatnya berperilaku koruptif, dengan alasan karena pendapatan tidak
memadai, sedangkan kesempatan korupsi di depan mata. Itu dimaksudkan
sebagai implementasi dari gagasan pencegahan korupsi lebih baik
daripada pemberatasan.
http://anax1a.pressmart.net/
0 komentar:
Posting Komentar