Untuk ke sekian kali publik kembali disuguhi debat kusir ihwal
manajemen beras. Pekan lalu Kementerian Pertanian menuding Bulog tidak
membeli maksimal saat panen raya.
Akibatnya, harga beras terus naik. Bahkan, saat digerojok beras
operasi pasar, harga bergeming. Padahal, menurut Menteri Pertanian
Suswono, berdasarkan angka ramalan III BPS, produksi beras naik 2,46
persen atau 65,98 juta ton gabah kering giling,
setara 38,93 juta ton beras. Dikurangi kebutuhan beras nasional yang
35 juta ton, ada surplus 3,93 juta ton. Ini cukup besar.
Tak mau disalahkan, Dirut Perum Bulog Sutarto Alimuso menjawab, posisi
Bulog sulit karena Bulog tak boleh merugi. Ini membuat Bulog tak
leluasa karena harus beli gabah atau beras petani sesuai standar
Inpres Perberasan. Bulog balik menuding Kementerian Pertanian tak
becus bekerja karena produktivitas turun meski luas panen naik. Hama
wereng juga lambat diantisipasi sehingga produksi beras tak sesuai
target.
Dua-duanya benar. Sampai awal November, Bulog baru menyerap 1,9 juta
ton dari target 3,2 juta ton (59 persen) beras. Kinerja ini
mengecewakan sebab tahun 2008 dan 2009 Bulog menyerap 3,21 juta ton
dan 3,63 juta ton beras. Apabila Bulog bisa mengoptimalkan penyerapan
beras saat panen raya (60-65 persen produksi nasional) atau dua bulan
musim paceklik (November-Desember), impor 600.000 ton beras tak
diperlukan.
Bisa dipahami
Dari sisi bisnis, alasan Bulog enggan menyerap beras petani bisa
dipahami. Sesuai dengan Inpres 7/2009 tentang Perberasan, Bulog harus
membeli gabah atau beras sesuai harga pembelian pemerintah. Padahal,
sejak panen raya Februari-Mei, harga beras selalu di atas harga
pembelian pemerintah. Bulog sebetulnya bisa beli lewat jalur
komersial, tetapi bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi
cadangan beras pemerintah aman, di sisi lain, jika terlalu agresif,
harga beras akan terdongkrak dan peluang Bulog rugi cukup besar.
Padahal, Bulog harus untung.
Saling lempar kesalahan ini pertanda ada salah urus dalam beleid
perberasan menyangkut silang sengkarut sektor perberasan dari hulu
hingga hilir. Di hulu sampai saat ini kita tak punya data valid
tentang luas panen dan luas lahan. Luas panen yang dikumpulkan mantri
tani diterka lewat penaksiran melalui sistem blok pengairan,
penggunaan bibit, dan pandangan mata di sawah. Data tak dikumpulkan
lewat survei statistik sehingga akurasinya dipertanyakan.
Data luas panen inilah biang estimasi berlebih produksi padi. Menurut
berbagai studi BPS (Sastrotaruno dan Maksum, 2002), besarnya estimasi
berlebih mencapai 17 persen. Artinya, jika tahun ini menurut taksiran
BPS produksi beras 38,93 juta ton, itu masih harus dikurangi 6,62 juta
ton beras. Artinya bukan surplus, tahun ini kita justru minus beras
2,69 juta ton.
Laporan produksi berlebih jadi masuk akal karena konversi lahan
pertanian untuk permukiman, kawasan industri, dan infrastruktur terus
berlangsung. Ada yang menyebut 70.000, 110.000, bahkan 145.000 hektar
per tahun (Sapuan, 2006). Sebaliknya, pencetakan sawah baru hanya
35.000 hektar per tahun. Anehnya, laporan luas panen tak menurun.
Bahkan, tahun ini di Jawa luas panen bertambah 187.330 hektar. Di mana
itu?
Agar silang sengkarut ini tak terjadi lagi, audit lahan seperti
digagas Menteri Pertanian Suswono dalam program 100 harinya harus
segera ditunaikan dengan survei statistik. Teknologi pengumpulan data
berdasarkan pengukuran obyektif telah berkembang pesat sehingga dengan
mudah dideteksi berapa luas lahan yang puso akibat banjir, hama
wereng, dan bencana lain.
Pengumpulan data dengan cara primitif harus ditinggalkan. Jika data
itu bias karena dikumpulkan lewat cara tak pantas lalu dijadikan
pijakan kebijakan, hasilnya tak hanya menyesatkan tetapi juga
menyengsarakan. Masuk akal apabila impor beras selalu memantik pro-
kontra.
Di tengah, delapan tahun beleid perberasan seperti diatur Inpres
9/2002 hingga Inpres 7/2009 tak banyak berubah. Padahal, dinamika
perberasan berubah. Inpres 9/2002 dibuat saat kita belum swasembada.
Kini jika benar kita kembali swasembada beras, orientasi kebijakan
mesti berubah karena perubahan iklim jadi cerita keseharian. Tak hanya
mengubah pola tanam, perubahan iklim bikin banjir dan kekeringan jadi
rutin dan memicu hama baru.
Inpres perberasan juga abai terhadap kebijakan non-harga. Padahal,
tanpa insentif non-harga (seperti penggunaan benih unggul; pupuk;
menekan kehilangan pascapanen; menekan konversi lahan beririgasi
teknis; rehabilitasi jaringan irigasi, lahan, dan daerah tangkapan;
mendorong investasi di usaha tani padi, dan riset), mustahil kebijakan
harga bisa berhasil. Semua ini, termasuk institusi penanggung jawab,
harus diadopsi dalam Inpres Perberasan yang baru.
Di hilir harus ada kejelasan kelamin lembaga yang mengelola beras:
Bulog. Sejak Mei 2003 Bulog berubah menjadi makhluk bisnis baru akibat
”setengah privatisasi”. Dengan status perum, prestasi Bulog tak lagi
diukur dari keberhasilan menstabilkan harga beras, menyalurkan raskin,
menyerap beras petani, dan menjaga stok pangan nasional, tetapi dari
kemampuan memupuk laba.
Menggabungkan dua fungsi Bulog, memupuk laba dan fungsi sosial, pasti
menimbulkan konflik kepentingan. Kedua tujuan itu tak mungkin bersatu
karena fungsi sosial kebijakan sering bersifat sekunder. Karena
sifatnya sekunder, misi kebijakan yang bersifat sosial jadi kambing
hitam. Jika kita tak ingin itu terus berulang, kelamin Perum Bulog
harus dirancang ulang.
Khudori Penulis Ironi Negeri Beras (Yogyakarta: Insist Press, 2008)
http://cetak.kompas.com/read/
0 komentar:
Posting Komentar