Oleh Deni Shidqi Khaerudini Peneliti muda di Puslit Fisika LIPI
Dengan tumbuh budaya inovatif dan inventif, kita berharap dan bercita-
cita akan menjadi bangsa yang makmur, bermartabat, serta
diperhitungkan bangsa-bangsa lain."
PEMBANGUNAN ber tujuan meningkatkan kemajuan bangsa mela lui
peningkatan kualitas hidup masyarakat. Penelitian dilakukan untuk
mendapat kebenaran tentang sesuatu yang belum diketahui dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Kedua konsep
tersebut dapat saling berhubungan. Pembangunan berjalan sesuai dengan
apa yang dicita-citakan jika ditunjang dengan penelitian yang bermutu.
Hanya saja, komitmen bangsa dan dunia industri terhadap hasil
penelitian (peneliti) masih sangat rendah.
Dukungan industri Untuk mencapai hasil maksimal di bidang riset,
penataan lembaga riset juga perlu dilakukan dengan melibatkan sektor
swasta. Industri dapat berperan dalam mendorong peningkatan riset
aplikatif. Hal tersebut berpengaruh dalam pembangunan ekonomi agar
tidak hanya berfokus pada sumber daya alam mentah, tapi juga diarahkan
ke pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan melalui sentuhan
perekayasaan/teknologi.
Bahkan bila perlu, pemerintah memberikan tindakan tegas kepada pihak
industri yang hanya mengekspor produk mentah, sebagai bukti langkah
mendorong proses pertambahan nilai dan motor penggerak dalam demand
teknologi, khususnya teknologi karya anak bangsa.
Kalau kita simak berbagai indikator kemampuan inovasi suatu negara,
daya serap teknologi di level industri di Indonesia (dengan indeks
4,5) lebih rendah daripada beberapa negara tetangga seperti Thailand
(5,3), Malaysia (5,8), dan Singapura (6). Begitu juga kolaborasi
litbang dan industri pada 2006 di Indonesia (dengan indeks 2,8) lebih
rendah jika dibandingkan dengan China (3,9), Thailand (4,2), dan
Malaysia (4,9) (sumber: World Bank).
Memang banyak kendala dihadapi untuk membangun kolaborasi antara
lembaga riset dan industri.
Salah satunya perbedaan kepentingan/sudut pandang antara pelaku riset
dan pelaku usaha. Produk riset lahir dari lingkungan/budaya yang lebih
fleksibel dan masih memungkinkan adanya toleransi. Sementara sektor
produksi lebih mengedepankan pentingnya nilai tambah. Selain itu,
kecilnya daya serap industri yaitu lamanya waktu riset sehingga layak
diterapkan, antara 5 dan 20 tahun. Lamanya waktu dan besarnya biaya
riset membuat industri memilih membeli lisensi produk asing. Riset
sampai saat ini masih dianggap sebagai temuan ilmiah. Padahal bangsa
kita memiliki potensi sumber daya alam melimpah, berpotensi untuk
tumbuh dan mengembangkan inovasi. Dengan jumlah populasi yang lebih
dari 220 juta, negara ini merupakan pasar yang besar bagi produk-
produk inovasi.
Dalam kegiatan peningkatan kemampuan inovasi, kemitraan dunia industri-
lembaga riset berdasarkan PP 35/2007 yaitu (1) lisensi (paten),
berdasarkan perjanjian dalam jangka waktu/ syarat tertentu; (2) kerja
sama, mempertukarkan dan/atau mengintegrasikan sumber daya tertentu
untuk mendapatkan keuntungan sinergis; dan (3) pelayanan jasa iptek.
Meskipun telah ada payung hukum kemitraan dunia industri-lembaga
riset, bahkan adanya reward berupa insentif fi skal dan nonfi skal,
tetap saja kenyataannya sampai saat ini tingkat keengganan atau
keterlibatan dunia industri di Indonesia terhadap hasil riset
dipandang masih sangat rendah. Padahal penggunaan teknologi lokal juga
merupakan bagian dari nation branding atau pembentukan citra Indonesia
di mata dunia internasional.
Dukungan pemerintah Salah satu pilar pokok menuju bangsa yang mandiri
adalah riset. Kemajuan yang dicapai sejumlah negara di Asia seperti
Thailand, Malaysia, dan Jepang tak lepas dari peran pemerintah
memajukan dunia riset. Anggaran riset di sejumlah departemen,
kementerian, dan lembaga riset negara masih terlalu sedikit jika
dibandingkan dengan perkembangan problem kehidupan dan tuntutan
inovasi teknologi. Pada 2008, anggaran riset Indonesia hanya 0,07%
dari produk domestik bruto (PDB).
Anggaran riset Thailand mencapai empat kali, dan Jepang 45 kali, lebih
banyak daripada Indonesia.
Sementara itu dana riset ideal di Indonesia seharusnya minimal 0,7%-1%
dari PDB. Data yang ada menunjukkan anggaran riset di KNRT dan LPND
pada 2009 hanya sebesar 0,3% dari APBN atau 0,04% dari PDB.
Tolok ukur pembangunan
bangsa juga dapat dilihat dari berapa jumlah peneliti di negara
tersebut. Para peneliti merupakan kelompok elite masyarakat dalam segi
pendidikan dan intelektualitas, umumnya berpendidikan sarjana sampai
doktor, berjumlah kurang dari 5% total penduduk Indonesia. Komunitas
peneliti memberikan kontribusi melalui beragam terobosan baru kaya
akan inovasi dan nilai-nilai intelektual.
Keberadaan peneliti di Indonesia sampai saat ini dianggap masih belum
menjadi sumber daya manusia penting untuk memajukan bangsa. Ditandai
dengan tingkat kesejahteraan peneliti yang masih sangat rendah bahkan
bila dibandingkan dengan koleganya, guru dan dosen.
Secara relatif, tunjangan fungsional peneliti di Indonesia tergolong
rendah jika dibandingkan dengan tanggung jawab dan beban tugasnya
sebagai tenaga ahli di bidangnya. Melihat ke negeri jiran Belakangan
ini dengan banyaknya pemberitaan di media tentang hubungan yang kurang
harmonis dengan Malaysia, profesi peneliti pun ‘terbawabawa’ terhadap
permasalahan dalam negeri peneliti di Indonesia. Seperti pemaparan
dalam koran ini sebelumnya, ‘Nasib Peneliti di Ujung Tanduk’ yang
menyinggung perbandingan gaji profesor riset yang sudah mengabdi 38
tahun dengan profesor di universitas yang perbedaannya hampir lebih
dari separuh. Bahkan akan lebih jauh lagi bila dibandingkan dengan
gaji periset di negeri jiran, hanya kurang dari sepersepuluh dari gaji
periset Malaysia.
Sebagai indikasi produktivitas di bidang riset, jumlah publikasi
ilmiah di jurnal internasional hasil karya ilmuwan Indonesia selama 10
tahun dari 1992 sampai 2002 adalah sebanyak 2.948 paper. Jumlah ini
jauh di bawah Malaysia yang mencapai 10.674, dan hanya terpaut sedikit
dengan satu, Universitas Malaya (UM), Malaysia.
upaya peningkatan kesejahteraan peneliti dan menjaga agar riset yang
dilakukan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat/industri. Peneliti
ideal tentunya adalah peneliti yang sejahtera dan berprestasi.
Selain itu, peranan anggaran riset yang ideal juga sangat krusial
dalam memacu para peneliti untuk lebih menghasilkan karya ilmiah yang
berguna.
Salah satu tolok ukur kemajuan bangsa yakni banyaknya penemuan/inovasi
yang dihasilkan. Minimnya dana riset di Indonesia memang sangat
memprihatinkan.
Namun, di luar persoalan kurangnya anggaran, untuk mencapai hasil
maksimal di bidang riset, penataan lembaga riset juga perlu dilakukan
dengan melibatkan sektor swasta agar riset dapat lebih dimanfaatkan.
Dengan tumbuh budaya inovatif dan inventif, kita berharap dan bercita-
cita akan menjadi bangsa yang makmur, bermartabat, serta
diperhitungkan bangsa-bangsa lain. Tidak lagi menjadi kuli bangsa-
bangsa di antara bangsa-bangsa.
Tidak lagi menjadi bangsa pencari upah belaka dan juga tidak lagi
sebagai bangsa pemakan upah di antara bangsa-bangsa.
Semoga riset anak bangsa akan mampu mengangkat harkat bangsa ke arah
yang lebih baik dalam membangun bangsa berbasis pengetahuan
http://anax1a.pressmart.net/
0 komentar:
Posting Komentar