BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Saidi, Fotografer yang Banyak Tahu Tentang Soeharto, Wafat Hari Ini

Saidi, Fotografer yang Banyak Tahu Tentang Soeharto, Wafat Hari Ini

Written By gusdurian on Senin, 13 September 2010 | 12.59

Blog Kompasiana
OPINI
Linda


Siapa yang tak kenal Saidi di lingkungan kantor Sekretariat Negara dan Istana. Tubuh yang tinggi berjalan setengah bungkuk sambil menggandoli kamera besar di lengan kiri dan kanan, adalah ‘manusia sakti’. Bagaimana tidak. Hanya dialah yang diperkenankan berdiri kapan saja di dekat Suharto Presiden RI saat itu. Di acara resmi maupun non resmi. Berjalan di samping kiri kanan belakang Pak Harto tanpa ditanya tanpa diperiksa oleh Paspampres ( Pasukan Pengamanan Presiden ), melangkah di samping Pangab, Menhankam dan petinggi pemerintah Indonesia, semua ia lakukan dengan tenang dan aman-aman saja.

Saidi memang menduduki posisi strategis di Istana. Ia adalah fotografer kepresidenan yang sangat dipercaya oleh Suharto beserta jajarannya. Selama 32 tahun ia bekerja tanpa lelah, siang malam dan selalu siap sedia jam berapapun apabila diperlukan. Maka ratusan ribu jepretan bermakna sudah menjadi simpanan hasil karyanya.

“Pak Saidi, tolong bantu saya dong. Saya harus motret ke seberang sana, dekat Pak Harto. Bawa saya ke sana ya?” , begitu bujuk saya hampir selalu. Kadang ia menolak, tapi sering pula ia membantu memperlancar pekerjaan saya dulu, saat saya masih bertugas di Istana menjadi wartawan. Ia pernah berkata kepada saya bahwa ia menghargai sekali upaya saya yang wartawan tulis ini, tetap setia pada kamera dan jepretan ke mana-mana. “Nggak banyak wartawan tulis yang mau motret juga, tapi kamu mau capek-capek lari sana sini motret juga, reportase juga”, begitu katanya suatu kali di ruang wartawan.

Hari ini lelaki berusia 67 tahun itu wafat. Dua bulan ia dirawat di RSPAD karena menderita kanker. Dulu, istrinya wafat juga dalam sakit yang sejenis. Kami masih sempat berhubungan lewat telepon, dan ia menceritakan penderitaan istrinya. Saya sudah tidak wartawan lagi di Istana. Pak Saidipun demikian, sudah pensiun dari ruangan foto di salah satu ruangan di gedung Sekretariat Negara.

Pantaslah ia dipercaya oleh Pak Harto. Tahun 1963 ia sudah mengenal Suharto saat memimpin Operasi Mandala membebaskan Irian Barat. Pertempuran itu direkam lewat kameranya , saat ia bertugas sebagai staf penerangan di Angkatan Darat. Maka pekerjaannya ‘keterusan’ bersama sang jenderal, yang akhirnya berkuasa atas Republik ini. Saidi ‘berkuasa’ pula di Istana sampai Suharto lengser dan diteruskan oleh Habibie.

Banyak kenangan yang terukir dari sang fotografer ini. Dia pernah bercerita kepada saya bahwa Pak Harto paling tidak suka kalau ada tamu menghadap di Istana maupun di jalan Cendana, lalu duduk dengan salah satu kakinya diangkat menimpa kaki yang satunya. “Lama-lama saya bilang pelan-pelan ke beberapa menteri, kalau Bapak nggak suka, meskipun nggak pernah negur langsung”, ujarnya. Oleh sebab itu, diam-diam ada beberapa pejabat tinggi negara yang sering bertanya ini itu kepada Saidi, apa kebiasaan Presiden yang sering tak diketahui orang banyak. Maklum, orang Jawa seringkali tak berterusterang menyatakan ketidaknyamanannya - begitu kata Saidi selalu. Ia sendiri, kelahiran Medan Sumatra Utara yang akhirnya sekuat tenaga juga harus beradaptasi dengan berbagai kebiasaan sang majikan. Lucunya, hampir selalu Pak Harto berkomunikasi dengannya dalam bahasa Jawa. “Saya jarang sekali menjawab dalam bahasa Jawa. Bahasa Indonesia saja.. hahahaa.. “,
ceritanya lagi.

Sang kopral yang menjadi fotografer ini terakhir sampai pangkat sersan mayor. Tapi jangan ditanya kesaktiannya, melebihi jenderal manapun. Pernah suatu kali Pak Harto lebih mementingkan Saidi untuk bersamanya di dalam helikopter dalam perjalanan ke Wonogiri Jawa Tengah, ketimbang seorang jenderal yang semula mendampingi sang Presiden. Juga waktu perjalanan dari Zagreb ke Sarajevo di Bosnia yang sedang gawat-gawatnya, Saidilah yang termasuk memakai baju anti peluru untuk ikut dalam rombongan Pak Harto di pesawat maupun panser yang menjadi kendaraan yang digunakan di sana. Saya, Dessy Anwar, saat itu ngotot sekali memohon kepada Mensesneg Moerdiono agar diikutsertakan ke Sarajevo. Tapi tetap tak diizinkan, dan hanya menunggu di Zagreb bersama Ibu Tien, sampai rombongan kembali.

Saidilah yang paling tahu siapa saja tamu Suharto sehari-hari. Yang boleh diketahui wartawan, dan yang tak boleh diketahui banyak orang. Biasanya, pukul 5 sore setelah pulang dari main golf, Pak Harto mulai menerima tamu beberapa menteri di kediaman di jalan Cendana, ruangan pojok depan. Saidi berada di sana, tapi lama-lama tak selalu ia berada di tempat itu. Mohamad Bob Hasan, Liem Sui Liong, Antoni Salim, atau beberapa orang India pemilik perusahaan tekstil raksasa yang kemudian kolaps berantakan, adalah orang-orang yang kerapkali datang di sore hari ke Cendana. Saidi, selain para ajudan, mengetahuinya tentu. Saat ribut kasus Bank Duta yang sangat menghebohkan itu, Saidi tahu persis siapa tamu yang datang ke Cendana. Ia tahu pula saat Bustanul Arifin kabulog menghadap Suharto untuk menjelaskan peristiwa seram itu dulu. Entah apakah semua termasuk dalam rekaman kamera canggihnya, saya kurang tahu pasti. Yang jelas, bapak empat anak ini sempat mengaku
kepada saya, bahwa rasa hatinya benar-benar tak karuan saat memotret Pak Harto sedang turun tangga Istana untuk terakhir kalinya, berdampingan dengan putrinya, Tutut yang berkebaya ungu. Itulah foto terakhir yang sang fotografer abadikan di Istana terhadap ‘dunungannya’ saat hari lengser Pak Harto yang mencekam itu…!

Dulu, pagi-pagi sebelum pukul 8, saya sudah menghubungi ruang kerjanya di Setneg dari rumah. “Ya halloooooo…jam 9 menteri X, 9.30 menteri Z, yang terakhir, Habibie.. biasaaaaa.. pasti molor, nggak mungkin hanya setengah jam, pasti sampai siang.. hahahaha..” , katanya kepada saya, sambil membacakan acara Presiden hari itu. Karena sudah kenal dekat, maka Pak Saidi sering bergurau dan usil menambahi keterangannya semacam itu. Kami, sambil tertawa berderai-derai, tentu saling tahu, bahwa ‘anak emas’ Suharto saat itu, BJ Habibie sebagai Menristek hampir selalu memperoleh waktu yang istimewa untuk bertamu. Biasanya tiap tamu, menteri atau jenderal sekalipun, hanya diberi jatah setengah jam. Rudy Habibie si cabe rawit itu bisa sampai dua jam !

Saidi adalah nama yang unik memang. Bila rombongan Presiden sudah ditentukan siapa saja yang akan berangkat dalam perjalanan ke Luar Negeri, biasanya daftar pertama sudah berada di meja Mensesneg Moerdiono. Ada nama Suharto, lalu biasanya dirjenprotkons ( dirjen protokol konsuler ), karumga ( kepala rumah tangga ) , sesmil ( sekretaris militer ) dan seterusnya, sampai SAIDI. Nah, karena yang lain tidak menyebut nama dan hanya bertuliskan posisi dan jabatan , pak Moerdiono sering menertawakan Saidi, juga kami dan kalangan di Istana. Ini nama atau singkatan ya? SAIDI - Saya Ini Disuruh Ikut…. huahahahaaa…. !! Ya , begitulah, karena dia adalah manusia sakti, yang tidak boleh tidak ikut. Pak Harto akan terus mencari di mana Saidi berada. Dari perjalanan ke Tapos di hari Minggu sampai ke negara tetangga terdekat, sampai Italia, Mesir, Suriname, naik haji dan umroh dan puluhan tempat lainnya bahkan Bosnia. Segala macam foto berbagai kepala negara sudah
ditangkapnya dari jarak terdekat sekalipun, yang mungkin sulit diperoleh oleh fotografer lain di dunia.

Ada cerita lucu lagi. Simaklah cerita kocak saya ini, yang berkaitan dengan rekan kita, atasan admin Kompasiana Taufik Miharja yang kini memegang Kompas.com ( ia adalah atasan admin Pepih Nugraha sekarang ). Taufik dulu adalah wartawan Istana yang bersama saya sehari-hari, mewakili koran Kompas. Saya ketika itu masih di majalah TEMPO. Suatu saat ketua LIPPI yang lama akan pamit mengakhiri masa tugasnya, dan menghadap ke Pak Harto. Pak Samadikun membawa penggantinya , kalau tak salah saat itu yang bernama Sofyan Sianturi ( maaf kalau saya lupa nih ). Setelah acara selesai, kami pergi ke ruang wartawan untuk menuliskan berita kunjungan itu. Taufik datang terlambat. Ia bertanya kepada saya, siapa ketua LIPPI yang baru itu namanya, Lin ? Terus terang, saat itu saya agak sebal dengan Taufik, yang saya anggap mewakili koran besar, tapi terlambat datang, dan tinggal enak saja mau menyontek berita. Lalu dengan usil saya nyeletuk berdasarkan kesepakatan
teman-teman lain yang ingin ‘ngerjain’ Taufik, “Namanya Sofyan Djemikun, Fik !” - sebab saya ingat yang sebelumnya kan Samadikun, ya enak saja saya comot nama yang baru agak-agak mirip, ya Djemikun lah yang saya karang sesuka hati.

Esoknya, koran Kompas menulis dengan ‘perkasa’, ketua LIPPI yang baru, Sofyan Djemikun….. huahahahaaaa… sementara semua koran tak ada yang mengutip kata Djemikun itu. Mampuslah kau Taufiiiiiiikkkkk…. !! Dan pak Saidi, esoknya menurutnya memang dihubungi oleh pihak ketua LIPPI yang baru, mempertanyakan mengapa koran Kompas bisa salah besar begitu mengutip nama menjadi Djemikun. Pak Saidi mencari-cari saya dan beberapa teman wartawan yang ia sudah bisa menebak ‘kejahatan dan jahanamnya’ ngerjai Taufik. Saya ingat betul pak Saidi ingin marah, tapi mukanya memerah menahan tawa dan geli amat sangat. “Waduuuuh, kalian bandel banget siiiih, saya yang kena nih ditelefon berkali-kali, nggak tau itu siapa ya , keluarganya mungkin, atau dari kantor LIPPI.. saya jadi nggak bisa jawab apa-apa selain nahan tawa”, kata Saidi sambil geleng-geleng kepala. Rasanya saat itu saya ingin bersembunyi betul-betul di kolong meja ruang wartawan. Antara
geli, senang, takut, kasihan kepada Taufik. Lebih-lebih belakangan saya tahu, Taufik memang dipanggil atasannya di Kompas untuk dipertanyakan masalah nama yang salah itu. Sejak hari itu, Taufik kami sebut menjadi ‘Taufik Djemikun’, bukan Taufik Mihardja. Tau-tau, setelah saya masuk ke Kompasiana, saya bertemu kembali dengan si Djemikun ini… duhh.. darlingku Taufik… dosaku padamu memang tak terampunkan..! Untungnya Taufik maha pemaaf dan masih selalu cinta padaku.. uhuy..uhuy.. !!

Kembali ke Pak Saidi. Bukannya ia tak galak lho. Kadang kami juga dibentak kalau tidak mengikuti peraturan Istana yang sudah ditentukan. Dulu para wartawati dilarang keras memakai celana panjang dan blus gombor-gombor. Harus dengan rok, dan blus rapi, kalau perlu dengan jas, blazer yang necis pula. Wartawan pria harus berdasi dan berkemeja. Dilarang menenteng-nenteng ransel apalagi mengenakan kemeja yang tidak dimasukkan ke dalam celana. Saidi tahu persis Ibu Tien dan Pak Harto tak senang apabila wartawan tidak proper dalam berbusana. Ah… ia memang maha tahu yaaaa… !!

Kalau Pak Harto memancing di hari Minggu, sering saya menggoda pak Saidi. “Itu ikan bukannya memang sudah disiapkan di dekat-dekat kapal Presiden, lalu Pak Harto mancing dan sudah pasti bisa dijaring deh ikan dadakan itu?”, kata saya. Mata sang fotografer itupun melotot. “Kamu sembarangan ya. Nggak begitu laaah. Kok jahat sih ngomongnya?” , jawabnya sengit. Dan ia pun maha tahu pula siapa saja yang ’secara rahasia’ tak boleh diketahui umum sering ikut pergi memancing dengan Presiden. Juga saat Tommy akan menikah dengan Tata, fotografer ini betul-betul mengunci mulutnya rapat-rapat., Diam-diam ia mempersiapkan foto ‘pra wedding’… Tata berbusana kain kebaya dengan berlian sebesar biji jagung di lehernya yang indah… bersama calon suaminya, Tommy Suharto. Saidipun geleng-geleng kepala saat saya bertanya apa benar Tommy akan nikah dengan Tata anak mbak Yani dan mas Bambang yang bekerja pada perusahaan pelayaran swasta di Singapura?
Saya ingat dia ternganga memandang saya, karena ia tahu betul berita itu belum sampai ke telinga wartawan manapun pada saat itu. ” Ah.. pak Saidi maha tahu, tapi kali ini saya lebih tahu kan?” begitu goda saya ketika itu, dan langsung tancap gas untuk menjadikannya cover story majalah GATRA sebelum media manapun menciumnya.

Beberapa koleksi foto saya yang sedang bersalaman dengan Pak Harto, adalah hasil buah karya pak Saidi. Biasanya foto saat bersilaturahmi salaman Lebaran di ruang kerja Presiden di Bina Graha. Ia sering gemas melihat hasil foto itu, karena tampaknya sayalah satu-satunya wartawan yang hampir selalu bersalaman dengan Pak Harto tanpa membungkukkan badan sedikitpun. Sekali ia menegur, saya membalasnya dengan tegas, “Pak, jangan samakan saya dengan menteri X yang harus sampai cium tangan segala ya ! Saya rasa saya sama derajatnya dengan Presiden , dia bekerja sebagai Presiden untuk rakyat Indonesia, saya bekerja sebagai wartawan juga untuk Indonesia. Jadi, tidak perlu saya bongkok-bongkok badan. Toh saya tetap sopan kan Pak?” , begitu kata saya kepadanya. Iapun termangu…, dan sejak itu tak pernah lagi berkomentar apapun atas hasil foto jepretannya yang merekam saya bersalaman dengan Pak Harto.

Ketika Ibu Tien meninggal, banyak gosip beredar bahwa ia meninggal tak wajar. Ada baku hantam antara anak-anak dan peluru nyasar ke Ibu Tien. Zaman itu meski gosip hanya sebiji zarahpun mana boleh keluar, apalagi muncul di berita resmi. Pak Saidi termasuk yang geram sekali saat menepis gosip itu. “Bohong besar ! Itu sama sekali tidak benar. Saya tahu persis itu berita gosip yang dibuat-buat!”, katanya. Saya, yang termasuk awal melihat jenazah Ibu Tien setelah terbujur disemayamkan di Cendana juga sangat tak percaya oleh cerita itu. Firasat saya menyatakan bahwa ibu Tien meninggal memang karena sakit dan secara wajar-wajar saja.

Terakhir saya bertemu pak Saidi saat Rien Kuntari eks wartawati Kompas yang juga pernah menjadi wartawan Istana meluncurkan bukunya di Gramedia Grand Indonesia tahun silam. Pak Saidi duduk di belakang saya. Kami kangen-kangenan. Ia tampak lebih kurus dan guratan tua sudah mulai jelas terlihat. Tidak begitu angker lagi seperti dulu. Dan berbahagia bersama-sama berkumpul dengan para eks wartawan Istana yang meramaikan acara Rien Kuntari.

Pak Saidi, mengapa dua hari lalu saya masih mengirimkan sms kepada Anda, pak…? Ada rasa kangen dan firasat tidak enak…. dan dijawab oleh keluarganya, ” Bapak sakit sudah 2 bulan di RSPAD, menderita kanker” . Saya segera membalas sms itu, ” Ya Tuhan, selamatkanlah pak Saidi…”

Dan ternyata Allah memang telah menyelamatkannya pagi tadi, Selasa 7 September ini. Ia tak menderita sakit lagi. Nama Pak Saidi terukir dalam kenangan banyak wartawan Istana, rekan-rekan sejawatnya, para menteri dan jenderal yang mengetahui ‘kesaktiannya’, anak-anak Pak Harto yang akrab dengannya. Ia pergi meninggalkan ratusan ribu foto-foto yang sungguh bermakna bagi negara….

Selamat Jalan pak… ! Semoga Tuhan selalu memelukmu dengan penuh cinta…
Share this article :

0 komentar: