Penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh polisi Diraja Malaysia serta perlakuan “buruk” terhadap mereka bukanlah insiden pertama.
Kalau kita lihat pola hubungan antara Indonesia dan Malaysia pada saat ini, tampaknya juga tidak akan menjadi yang terakhir. Setiap kali Malaysia “bertingkah”, kita pun berang luar biasa karena merasa kedaulatan kita diinjak-injak. Namun, menghadapi keberangan ini, Malaysia tampak selalu siap pula untuk segera mengulanginya; bila perlu dengan aksi yang semakin provokatif,seperti insiden terakhir yang terjadi di sekitar peringatan hari kemerdekaan Indonesia.Jelas ada masalah dalam hubungan RIMalaysia saat ini.
De Jure dan De Facto
Hubungan antarbangsa berlangsung dalam kerangka struktur normatif yang muncul karena tradisi, kebiasaan, maupun perjanjian- perjanjian formal baik bilateral maupun multilateral. Melalui struktur ini setiap bangsa diharapkan tahu dan berlaku sesuai normanorma yang ada.
Norma sekaligus berfungsi sebagai behavioral prescription dan behavioral expectation yang harus dimengerti dan ditaati agar hubungan antar bangsa dapat berlangsung harmonis. Salah satu norma hubungan antar bangsa yang paling dasar adalah norma kedaulatan (sovereignity). Norma kedaulatan membagi dan mendemarkasi ruang politik global ke dalam berbagai negara dan, dengan demikian, memberikan legitimasi kepada negara melalui pengakuan terhadap wilayah, identitas, serta hak setiap negara untuk menyelenggarakan kekuasaan (to exercise power) di dalam ruang politik mereka.
Dalam pengertian normatif di atas, kedaulatan di satu sisi memberikan preskripsi mengenai tindakan-tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh satu negara, dan di sisi lain memberi petunjuk akan perilaku-perilaku apa yang diharapkan. Gambaran di atas adalah pengertian kedaulatan secara de jure. Masalahnya, apa yang secara normatif disepakati ini belum tentu akan segera melahirkan perilaku sebagaimana dipreskripsikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kompleksitas masalah teritorial yang melibatkan kepentingan politik, ekonomi, dan budaya.
Kedua,norma kedaulatan tadi harus diinterpretasikan oleh elite pembuat kebijakan di masing-masing negara yang selalu berganti dari waktu ke waktu yang memiliki karakter dan kepentingan yang berbeda-beda pula. Dalam pengertian di atas, bisa saja pada saat tertentu satu negara menolak untuk mengakui kedaulatan negara lainnya berkaitan dengan wilayah tertentu.Oleh karena itu, pada akhirnya secara de facto kedaulatan harus pula berarti “kemampuan” untuk menyelenggarakan kekuasaan yang secara hukum menjadi haknya tadi.
Dalam konteks pengertian di atas maka salah satu alasan munculnya perilaku Malaysia yang terlalu sering “melanggar” kedaulatan de jure Indonesia hanya dimungkinkan karena secara de facto kita tidak mampu menyelenggarakan kekuasaan (to exercise power) berkaitan dengan kedaulatan ini.
Psike Malaysia
Interpretasi terhadap normanorma kedaulatan selalu terjadi dalam konteks pemahaman power relation antara kedua negara pada saat tertentu. Pada gilirannya hal ini tergantung, sampai batas tertentu setidaknya, pada sejarah hubungan antara negara-negara terkait dan “psike”para pemegang kekuasaannya.Dalam hal hubungan antara Malaysia dan Indonesia, interpretasi ini dijangkar pada suatu kompleks psikologis yang khas. Setiap bangsa terbentuk melalui proses ganda identifikasi internal dan identifikasi eksternal.
Identifikasi internal berlangsung melalui proses kebudayaan, politik, sejarah, dan kewilayahan yang menghimpun bangsa tersebut ke dalam suatu kolektivitas. Sementara itu definisi eksternal muncul melalui hubungan dengan bangsa-bangsa lain, terutama melalui komparasi dengan sign i f i c a n t other(s) – yaitu bangsa lain yang kehadirannya penting,baik karena menjadi sumber inspirasi (inspiring) ataupun sumber ancaman (threatening). Biasanya significant other(s)ini merupakan bangsa lain yang tidak saja memiliki kedekatan teritorial, tapi juga kedekatan identitas.
Significant other(s) tidak perlu selalu lebih kuat, lebih besar, atau lebih kaya.Ciri-ciri yang membuat suatu bangsa menjadi signifikan bagi bangsa lainnya adalah hubungannya yang dekat dengan identitas dan keunikan bangsa lain ini. Banyak studi hubungan antarkelompok menunjukkan bahwa suatu kelompok akan cenderung membandingkan dirinya dengan kelompok lain yang dekat.Dengan kata lain, persamaan dan kedekatan antara dua kelompok berpengaruh terhadap komparabilitas di antara keduanya. Semakin tinggi komparabilitasnya,semakin tinggi pula tekanan untuk “memastikan” keunggulan (superioritas) kelompok sendiri dibandingkan dengan kelompok lain ini.
Malaysia dan Indonesia adalah significant othersatu bagi yang lain; yang satu memerlukan yang lain untuk mendefinisikan diri dengan segala potensi kompleksitas pola hubungan yang mungkin muncul. Bagi Malaysia, Indonesia dalam sejarah telah silih berganti menjadi sumber inspirasi dan ancaman. Dalam hubungan yang naik turun ini, bagi Malaysia keterpurukan Indonesia sejak masa krisis 1998 merupakan kaca pembesar bagi keberhasilan mereka yang sekaligus membubungkan rasa percaya diri dan harga diri mereka dalam berhubungan dengan Indonesia.
Perlu diingat citra Indonesia yang paling kuat di benak orang Malaysia (salient) diwakili oleh 2 juta TKI yang sebagian besar adalah buruh kasar dan pembantu rumah tangga. Kompleks psikologis seperti inilah yang melatarbelakangi interpretasi kedaulatan Malaysia vis a vis Indonesia dan memunculkan perilaku asertif Malaysia yang berulang kali menohok harga diri Indonesia.
Define or be Defined
Masalah hubungan antara Indonesia dan Malaysia bukan sekedar masalah kekaburan batas wilayah. Lebih dari itu, Indonesia dan Malaysia terkunci dalam hubungan yang saling mendefinisikan. Idealnya,dalam hubungan yang setara, kedua belah pihak memberikan sumbangan yang seimbang. Namun,bila salah satu pihak tidak mampu memberikan sumbangan terhadap definisi hubungan ini maka pihak lainnyalah yang akan mendefinisikan hubungan tersebut.
Berbagai kasus yang merugikan Indonesia belakangan ini menunjukkan bahwa Malaysialah yang memegang inisiatif pendefinisian hubungan kedua bangsa. Dalam hubungan internasional tampaknya berlaku pula apa yang disinyalir oleh Tomas Szaz untuk hubungan antar manusia pada umumnya: in the animal kingdom, the rule is eat or be eaten; in human kingdom (baca: international relation) the rule is define or be defined. Untuk bisa menyumbang kepada definisi tersebut, Indonesia perlu merumuskan strategi kebijakan, didukung oleh personilpersonil yang kompeten, yang mampu memproyeksikan wibawa dan kedaulatan Republik Indonesia.
Kementrian Luar Negeri sebagai ujung tombak dari strategi ini, harus mampu menerjemahkan semua modal hubungan yang kita miliki (ekonomi, politik, ketenagakerjaan, budaya, geopolitik) ke dalam kebijakan diplomasi. Perlu diingat bahwa pada akhirnya apa yang ingin kita proyeksikan tergantung pula dengan kondisi negeri ini.
Telepas dari segala norma yang mengatur hubungan internasional, secara de facto, kedaulatan adalah kemampuan untuk menyelenggarakan kekuasaan dalam ruang politik yang secara hukum menjadi haknya. Mampukah kita?(*)
Abdul Malik Gismar
Dosen Paramadina Graduate School
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/349921/
Mengapa Malaysia Bertingkah?
Written By gusdurian on Senin, 13 September 2010 | 12.58
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar