NINOK LEKSONO
”Sains tanpa agama buta, agama tanpa sains lumpuh”. (Albert Einstein)
Bulan Ramadhan 1431 H segera berakhir dan bulan baru 1 Syawal 1431 H pun tiba. Secara astronomi, itulah siklus (peredaran Bulan mengelilingi Bumi) yang telah berlangsung selama miliaran tahun. Dalam perspektif umur manusia, hal itu seperti sebuah keabadian.
Dalam Laporan Iptek, 10 Agustus silam, disinggung sekilas tentang masa depan sistem Bumi-Bulan ini, khususnya terkait dengan evolusi bintang yang menyebut Matahari akan mengembang menjadi bintang raksasa merah, dan itu akan menghadapkan Bumi-Bulan dalam beberapa skenario.
Satu hal yang juga disinggung dalam laporan itu adalah menjauhnya Bulan dari Bumi, dan ini membuat satu saat nanti Bulan akan tampak makin kecil dan manusia di Bumi tidak akan melihat gerhana matahari lagi.
Dalam kaitan semua fenomena alam tersebut, satu hal yang berperanan penting di sini adalah gravitasi atau gaya berat yang ditimbulkan oleh massa benda. Inilah gaya alam yang mengikat Bulan dalam orbit Bumi dan Bumi-Bulan dalam orbit Matahari. Tidak terbatas pada itu, gravitasi pula yang membuat bintang-bintang yang jumlahnya 200 miliar di galaksi Bima Sakti beredar mengelilingi pusatnya.
Dalam sejarah sains, khususnya ilmu fisika, tokoh yang pertama merumuskan hukum mengenai gravitasi adalah ilmuwan Inggris, Sir Isaac Newton, meskipun gravitasi sendiri telah dikenal bertahun-tahun sebelum Newton melakukan percobaan (NYPL Science Library).
Astronom Johannes Kepler tidak tahu apa yang menyebabkan planet-planet beredar dalam orbit berbentuk elips. Namun, ia menduga, planet-planet tersebut dan Matahari terikat satu sama lain, boleh jadi melibatkan magnetisme. Sebaliknya, Newton, berdasarkan pengamatan dan hukum-hukum gerak planet Kepler, lalu menurunkan hukum-hukum yang menjelaskan kerja hukum gravitasi. Hukum Gravitasi Newton bersifat universal, berlaku baik untuk planet-planet yang mengitari Matahari maupun pada buah apel yang jatuh ke Bumi.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya diketahui, Hukum-hukum Gerak Newton yang berlaku pada keadaan biasa ini tak bisa menjelaskan fenomena yang terjadi pada jagat partikel subatomik (khususnya yang bergerak dengan kecepatan tinggi) atau pada obyek-obyek yang ada di bagian alam semesta yang jauh atau eksotik (khususnya yang bermedan gravitasi kuat).
Ketidakcocokan inilah yang kemudian dijelaskan oleh Albert Einstein melalui Teori Relativitas yang ia kemukakan pada awal abad ke-20 (tahun 1905 dan 1916). Dalam teori inilah Einstein memasukkan waktu sebagai dimensi keempat selain panjang, lebar, dan tinggi. Dengan Teori Relativitas Umum, bisa dijelaskan pelengkungan ruang-waktu yang disebabkan oleh medan gravitasi.
Pemaknaan baru
Kompas (4/9) memberitakan terbitnya buku The Grand Design yang ditulis oleh fisikawan Stephen Hawking (pensiunan Guru Besar Matematika Universitas Cambridge) dan Leonard Mlodinow (pengajar di Caltech) pekan pertama bulan ini. Dalam uraian tentang perkembangan baru di bidang ilmu fisika, khususnya yang berkaitan dengan kosmologi (asal-usul alam semesta), Hawking menyimpulkan, penciptaan alam semesta tidak memerlukan pencipta.
Dengan kesimpulannya itu, Hawking memang mengekspresikan pandangan yang berbeda dengan apa yang ia kemukakan dalam buku karyanya terdahulu, yakni A Brief History of Time yang terbit tahun 1988. Menurut Hawking, perubahan pandangan yang ia kemukakan semata merupakan konsekuensi (berlakunya) hukum gravitasi. Karena ada dan bekerjanya hukum gravitasi, kata Hawking, alam semesta dapat tercipta spontan dari ketiadaan.
Ini tentu kontras dengan apa yang dikemukakan oleh Newton dulu. Tata surya kita tidak dapat tercipta semata dari khaos alam, tetapi sengaja diciptakan oleh Tuhan.
Sebenarnya, apa yang terakhir disampaikan oleh Hawking sudah merupakan wacana luas di kalangan ahli kosmologi dalam satu dekade terakhir. Berkembangnya teori-teori mutakhir tentang asal-usul alam semesta sebagian dipicu oleh ketidakpuasan terhadap teori Dentuman Besar (Big Bang) yang mulai dimunculkan tahun 1950-an.
Ketidakpuasan berpangkal dari pertanyaan, kalau alam semesta berawal dari Big Bang, apakah ruang dan waktu berawal dari ketiadaan? Paul Steinhardt dan koleganya, Neil Turok, (yang juga telah disinggung dalam tulisan di kolom ini pada 10 Agustus silam) secara tegas mengatakan ”tidak”. Menurut kedua fisikawan itu, Big Bang hanyalah yang terakhir dari sekian kali permulaan.
Pada dasarnya, teori yang dikemukakan oleh Steinhardt dan Turok menyebutkan, kosmos tidak pernah memampat menjadi satu titik tunggal dan tidak muncul mendadak melalui kejadian instan yang dahsyat.
Apa yang kita pikir sebagai Dentuman Besar, menurut Steinhardt dan Turok, merupakan hasil satu tubrukan antara dunia tiga-dimensi kita dan dunia tiga-dimensi lain yang ada di dekat dunia kita.
Kearifan teori antropik
Butir yang diangkat oleh Stephen Hawking bisa saja merupakan konsekuensi logis dari hukum-hukum fisika, yang masih membutuhkan dukungan pembuktian lebih lanjut. Dalam ranah teoretis, harus diakui, apa yang diwacanakan Hawking, juga oleh Steinhardt dan Turok, merupakan hal yang amat, amat rumit, melibatkan Teori String atau M- Theory.
Sejumlah prinsip antropik yang pernah dicetuskan oleh Brandon Carter dalam Konferensi Krakow tahun 1973 dapat menjadi argumen pembanding. Dari prinsip antropik ini muncul tiga kemungkinan, dan satu di antaranya menyebutkan, hanya ada satu alam semesta dan yang satu-satunya itu adalah yang kita lihat sekarang ini. Di dalamnya semua konstanta fisik dan hukum-hukum fisika tersetel sedemikian rupa agar kehidupan cerdas muncul, dan ini bukan kebetulan, melainkan cermin dari aksi Yang Maha Esa yang menciptakan alam semesta. (Lihat Francis S Collins dalam The Language of God, 2006.)
Collins lebih jauh mengutip kembali apa yang dikemukakan Hawking dalam A Brief History of Time, ”Amat sulit menjelaskan mengapa alam semesta harus mulai dengan cara ini, kecuali sebagai tindakan Tuhan yang ingin menciptakan makhluk hidup seperti kita”.
Ketika Matahari tenggelam di balik ufuk petang tanggal 29 Ramadhan 1431 H, selain sidang isbat, kita juga punya bahan refleksi tentang semesta yang kita diami.
0 komentar:
Posting Komentar