KETERSEDIAAN pangan pada bulan puasa dan menjelang Lebaran mendapat perhatian dari pemerintah. Enam menteri, yakni menteri koordinator perekonomian, menteri perdagangan, menteri perhubungan, menteri negara BUMN, menteri keuangan, dan menteri energi sumber daya mineral, ditambah wakil menteri sekretaris kabinet, mengunjungi sejumlah pasar dan meresmikan operasi pasar di Surabaya dua hari lalu, Sabtu (14/8).
Tujuan mereka sama: meyakinkan masyarakat bahwa stok kebutuhan pokok cukup. Jika harga naik, rakyat tidak perlu risau karena operasi pasar akan segera menurunkannya. Namun, tercapaikah tujuan itu? Jika sempat ke tempat penjualan bahan pokok, baik pasar tradisional maupun mal, akan dengan mudah kita pahami bahwa tujuan itu hanya pepesan kosong. Harga kebutuhan pokok hari-hari ini terus meningkat. Harga beras, daging, dan telur terus membubung.
Kunjungan para menteri ke pasar adalah refleksi bahwa pemerintah memang tidak pernah serius dalam bekerja. Tidak seperti bencana gempa bumi atau air bah, kenaikan harga saat Ramadan atau menjelang Lebaran sangat mudah diprediksi. Sebab, pada waktu tersebut, memang selalu terjadi lonjakan permintaan atas barang kebutuhan pokok masyarakat. Karena setiap tahun terjadi -bahkan dengan tanggal yang jauh hari diketahui- pemerintah jika mau berkeringat sedikit, logikanya, bisa siap sekaligus sigap bertindak melakukan langkah-langkah pencegahan.
Kehadiran para menteri ke pasar yang diikuti dengan peremian pasar murah dan operasi pasar juga semakin menegaskan bahwa pemerintah lebih suka memosisikan diri sebagai pemadam kebakaran. Pemerintah baru bertindak justru manakala harga-harga sudah melambung.
Operasi pasar merefleksikan sikap dan pandangan keliru sekaligus konyol. Keliru karena operasi pasar menafikan antisipasi. Operasi pasar konyol karena baru dilakukan ketika harga-harga telanjur bergolak. Persis dengan regu pemadam kebakaran yang baru bertindak ketika api sudah berkobar-kobar.
Strategi lain yang tidak kalah memprihatinkan dalam mengatasi lonjakan harga adalah cara instan melalui kebijakan impor. Secara reguler, kita masih mengimpor komoditas kedelai, gandum, daging sapi, susu, gula, hingga garam. Impor berarti harus membelanjakan cadangan devisa. Menurut perhitungan, pemerintah harus menguras cadangan devisa lebih dari USD 5 miliar per tahun untuk impor aneka bahan pangan.
Kenaikan kebutuhan pokok masyarakat secara berulang setiap tahun sudah saatnya diatasi dengan kebijakan komprehensif, dari hulu sampai hilir.
Kasus impor garam adalah contoh kasus paling ekstrem tentang malasnya pemerintah mencari akar masalah. Jutaan masyarakat pesisir turun-temurun memproduksi garam sebagai mata pencaharian mereka. Kendala mereka hanya tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan konsumen tentang mutu. Jika pemerintah dan para ahli lokal sejak dulu mendukung mereka memperbaiki mutu garam, kita mungkin justru menjadi eksporter garam terbesar.
Kebijakan komprehensif juga tidak akan bisa dioperasikan jika pejabat yang bermental pedagang masih bercokol di pemerintahan. Mereka tidak layak mendapat tanggung jawab besar dalam penyediaan kebutuhan pokok masyarakat selama masih mengedepankan solusi impor. Kita butuh pejabat yang dapat menerapkan kebijakan berkualitas demi kesejahteraan masyarakat. Pejabat seperti itu tentu malu ramai-ramai berkunjung ke pasar sebelum yakin bahwa bahan pokok tidak hanya tersedia dengan melimpah, namun harganya juga terjangkau oleh mereka yang berada di lapis bawah. (*)
http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=150569
Pemerintah Malas Cari Solusi
Written By gusdurian on Senin, 16 Agustus 2010 | 11.02
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar