Oleh Lan Fang
MERDEKA!
Pekik perjuangan itu pernah menggema di seantero tanah air 65 tahun yang silam. Indonesia mencatat sejarah panjang selama berabad-abad untuk meraih kemerdekaan. Sebab, kemerdekaan Indonesia tidak didapat secara serta-merta, seperti Hongkong yang dikembalikan Inggris kepada China pada 1997. Atau seperti Makau yang sejak abad ke-16 menjadi koloni tertua Eropa dan baru pada 1999 Portugal menyerahkankan kembali kedaulatannya kepada China.
Sekarang kita telah merdeka dari penjajah selama 65 tahun dan telah (atau baru) memiliki enam presiden dengan berbagai kebijakan mengenai kemerdekaan. Soekarno, presiden pertama yang menjadi proklamator kemerdekaan. Soeharto, presiden kedua yang merawat kemerdekaan dengan menciptakan situasi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan militer yang relatif stabil melalui kontrol yang sangat ketat. B.J. Habibie, presiden ketiga yang mewarisi situasi kacau-balau pasca pengunduran diri Soeharto. Walaupun dia hanya sekelebat, pada masanyalah Timor Timur (sekarang Timor Leste) dimerdekakan.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah presiden keempat yang memerdekakan pers dengan membubarkan Departemen Penerangan, yang pada waktu Soeharto berkuasa dipergunakan sebagai alat menguasai media. Selain itu, Gus Dur memerdekakan masyarakat untuk mengunjungi Istana Negara tanpa protokoler yang ketat sekaligus memerdekakan keturunan Tionghoa untuk melakukan ritual keyakinan dan kebudayaannya.
Presiden kelima, Megawati Soekarnoputri, sekaligus presiden perempuan pertama yang kita miliki. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemerdekaan rakyat untuk memilih presidennya secara langsung. Sejak itu, rakyat Indonesia merdeka memilih pemimpin-pemimpin dan wakil rakyatnya pula secara langsung.
Saat ini, presiden keenam adalah Soesilo Bambang Yudhoyono. Prioritas kepemimpinannya yang hendak memerdekakan bangsa Indonesia dari KKN dan terorisme global membuat kepemimpinannya sejak awal menguak kasus-kasus korupsi. Baik yang dilakukan oleh para pejabat, para kepala daerah beserta jajarannya, maupun para anggota dewan dari tingkat pusat sampai daerah. Baik korupsi yang dilakukan sendirian maupun secara kolektif. Baik korupsi yang triliunan maupun yang "hanya" puluhan juta rupiah. Baik korupsi yang dilakukan dengan metode me-mark up dana maupun dengan kedok bantuan sosial, bantuan kesejahteraan rakyat, atau bentuk skenario yang berbeda-beda.
***
Bila kita mencermati perjalanan kemerdekaan sepanjang 65 tahun dan lima fase kepemimpinan presiden, bisa timbul pertanyaan.
Apakah kemerdekaan selama 65 tahun itu telah menandakan bahwa kita mengalami pendewasaan demokrasi? Terbukti, banyaknya tumpukan kasus korupsi yang dahulu dipetieskan sekarang mencuat dengan gamblang ke permukaan. Para petinggi negeri yang dahulu bagaikan berada di puncak menara gading yang tidak tersentuh hukum tiba-tiba saja berpindah tempat ke hotel prodeo.
Masyarakat bebas memilih para calon wakilnya maupun para calon pemimpinnya secara langsung. Kibaran bendera-bendera parpol beraneka warna menghiasi pentas politik. Media bebas bersuara sehingga masyarakat bisa mengikuti setiap perkembangan yang terjadi.
Atau sebaliknya, yang kita dapat dari 65 tahun kemerdekaan adalah justru pendangkalan demokrasi sampai tahap paling lucu. Banyaknya kasus korupsi yang terkuak bukan mengurangi korupsi, melainkan korupsi-korupsi baru semakin merajalela. Banyaknya para pejabat maupun anggota dewan yang diketok palu pengadilan bukan membuat ngeri, melainkan mereka malah bersaing melakukan korupsi.
Masyarakat memilih para calon wakilnya maupun para calon pemimpinnya bukan berdasar integritas, loyalitas, dan kapabiltas para kandidat. Melainkan ajang pemilihan itu menjadi medan transaksional baik antarkandidat dengan kandidat lainnya, dengan parpol pengusungnya, maupun dengan masyarakat sendiri.
Ironisnya, parpol tampil sebagai anomalian. Parpol tidak menjalankan fungsi sebagai filter dan wadah pendidikan politik, melainkan tidak beda jauh seperti makelar atau biro jasa bagi para pencari kerja yang kualitasnya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bagaikan suatu simbisosis, ketika parpol menjadikan masyarakat sebagai komoditas, masyarakat pun kian "cerdas" mengomersialkan diri mereka.
Dalam praktiknya, media abai berperan sebagai pemberita netral yang seharusnya valid dan cermat dalam olah data dan survei lapangan. Sebaliknya, media memesona masyarakat dengan iklan, sinetron dan infotainment yang "menggoreng" berita, serta liputan dengan tujuan mendapatkan rating dan oplah tinggi. Media tidak lagi memedulikan pola, relasi, dan etika sosial. Masyarakat bisa mengalami degradasi sampai ke titik minus peradaban akibat dampak negatifnya.
***
Begitulah, saya merayakan kemerdekaan Indonesia ke-65 kali ini tidak hanya dengan upacara bendera, lomba panjat pinang, dan tarik tambang saja. Tetapi, saya lalui dengan kontemplasi tentang hakikat kemerdekaan yang diperjuangkan, dibangun, dan dicita-citakan oleh para pemimpin bangsa.
Saya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan sampai pada suatu malam saya mengalami sebuah peristiwa kecil yang luar biasa untuk ukuran saya. Ketika itu, saya bersama dua orang sahabat melewati perempatan Jl dr Soetomo, Surabaya. Ketika kami berhenti karena lampu merah, seorang anak asongan koran mengetuk-ngetuk kaca jendela mobil untuk menawarkan koran. Padahal, koran pagi sudah kedaluwarsa untuk dijual pada malam.
Sahabat saya trenyuh, lalu mengambil uang sepuluh ribu rupiah, pecahan terkecil yang ada di mobil. Dia memberikan uang sepuluh ribu rupiah itu tanpa berniat membeli koran yang ditawarkan. Tetapi, saya terkejut ketika dia menolak uang sepuluh ribu tersebut karena sahabat saya menolak koran yang diulurkannya. Anak itu berkata, "Saya menjual koran." Anak tersebut terlihat gagah karena percaya diri dan punya harga diri.
Seketika itu juga saya berharap, semoga seperti itulah wajah-wajah Indonesia masa depan yang merdeka. (*)
*) Lan Fang, penulis esai, prosa, dan puisi. Tinggal di Surabaya
http://jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=150571
Wajah-Wajah Kemerdekaan
Written By gusdurian on Senin, 16 Agustus 2010 | 11.07
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar