*
Robert W. Hefner:
Indonesia bukan negara asing bagi Robert William Hefner. Sejak 1977, antropolog Amerika Serikat ini sudah meneliti masyarakat Tengger di Jawa Timur. "Sejarah saya mirip Indonesia. Dulu saya orang gunung yang tinggal tanpa listrik, tanpa jalan, kemudian menjadi orang kota yang bekerja di Malang dan Yogya," ujar peneliti 58 tahun ini. Pada akhir 1990-an, menjelang akhir kekuasaan Soeharto, dia meneliti peran muslim dalam politik di Indonesia. Dari penelitian itu lahir buku Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia.
Buku itu menegaskan bahwa Islam dan demokrasi bisa berjalan selaras dan kompatibel. Dan Islam amat menghormati keberagaman. Untuk penelitian itu, dia tak hanya menemui tokoh muslim yang mendukung demokrasi seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid, tapi juga kalangan Islam yang mencurigai gerakan prodemokrasi. "Mereka mengatakan gerakan ini didominasi orang Kristen dan orang sekuler," ujarnya.
Hefner kini memimpin Institut Budaya, Agama, dan Permasalahan Dunia di Universitas Boston, Amerika Serikat. Institut itu mengkaji perkembangan masyarakat Islam di seluruh dunia. Selama puluhan tahun lembaga ini sudah meneliti muslim di 44 negara.
Dengan pengetahuan yang luas tentang Islam, Hefner berani "menantang" pendapat ilmuwan politik Samuel P. Huntington yang meramalkan bakal terjadi benturan peradaban antara Barat dan Islam. "Debat itu sudah berakhir dan Huntington kalah," ujarnya seraya menunjuk Turki sebagai contoh "perkawinan" peradaban yang begitu subur.
Pekan lalu Hefner kembali berkunjung ke Indonesia. Dia menggelar sejumlah ceramah dan membuat penelitian kecil di Yogyakarta. Di sela kesibukannya, dia menerima Philipus Parera dari Tempo di Hotel Yogya Plaza tempatnya menginap.
Dengan runtut dia menyampaikan pengamatannya tentang perkembangan terbaru hubungan Islam dan demokrasi di Indonesia. Salah satunya adalah tren kelompok yang melakukan terorisme dan kekerasan atas nama agama yang menurut dia tak mencerminkan mayoritas. "Tapi kelompok itu memang mengkhawatirkan."
Apa topik penelitian Anda kali ini?
Lembaga saya mengamati perkembangan umat Islam dan non-Islam, bukan terbatas menyangkut isu syariah tapi mengenai peranan syariah dalam wacana muslim dan tafsiran terhadap implikasi dari syariah itu untuk demokrasi. Ada yang setuju, tapi ada yang tidak. Syariah itu yang utama, demokrasi nanti saja. Di antara yang seperti itu ada Abu Bakar Ba'asyir. Dia mengatakan demokrasi itu sistem kafir yang dipaksakan di dunia muslim oleh Amerika, kaum Kristen dan Yahudi. Jadi ada macam-macam debat dan saya mengamati semua itu.
Anda sempat bertemu dengan Abu Bakar Ba'asyir?
Satu kali. Tapi kolega saya yang beragama Islam, yang tidak perlu saya sebut namanya, sering ketemu Pak Ba'asyir dan beberapa kali atas nama saya-waktu saya di Amerika-dia melakukan wawancara. Terus terang saja dia menjawab dengan sangat terbuka dan jujur pertanyaan yang diajukan atas nama saya.
Apa yang bisa Anda simpulkan dari Ba'asyir?
Dia sebetulnya lebih menarik sebagai figur politik. Dia mempunyai suatu pemahaman terhadap syariah dan politik. Pemahaman begini sebetulnya cukup umum di kalangan Islam konservatif, tapi tidak di Indonesia. Kalau kita ke Pakistan mungkin 20-30 persen penduduknya mempunyai sikap terhadap demokrasi yang kurang-lebih sama dengan Pak Ba'asyir. Tapi harus saya tekankan, kami sekarang punya data survei dari negara-negara muslim. Di sebagian besar negara muslim di dunia ini, 70-80 persen penduduk muslim menganggap demokrasi bukan saja tidak bertentangan dengan Islam, melainkan juga menganggap Islam sistem yang baik dan diharapkan diterapkan di negara mereka. Jadi posisi Pak Ba'asyir tidak unik, tapi sangat minoritas.
Ada perbandingan yang bisa Anda tegaskan tentang demokrasi di berbagai negara berpenduduk mayoritas muslim?
Di Arab Saudi, Qatar, dan Libya kita tahu dari data sebagian besar masyarakat menganggap demokrasi itu tidak konsisten dengan Islam. Tapi di negara lain seperti Maroko, Mesir, Yordania, dan Suriah, sebagian besar penduduknya menganggap demokrasi itu cocok dengan nilai Islam, malah sangat diharapkan.
Anda tahu ceramah Ba'asyir yang mengatakan demokrasi tak sesuai dengan nilai Islam?
Saya ingin mengerti pendekatan Abu Bakar Ba'asyir, darimana penolakannya terhadap demokrasi. Kalau kita perhatikan, sebenarnya itu juga penolakan terhadap institusi pemerintah dan institusi media. Saya ingin tahu dari mana asalnya sikap itu dan apakah sikap itu akan menjadi kecenderungan yang meluas di kalangan muslim Indonesia.
Apakah Anda sudah menemukan jawaban?
Saya kira sudah, dan ini tidak mengherankan. Masyarakat pun sudah tahu soal ini. Gagasan (menolak demokrasi) sudah dilakukan sejak 1970-an, kemudian mulai lebih aktif pada 1999 setelah reformasi. Tapi gagasan itu tidak bisa diterima, banyak orang khawatir akan masa depan mainstream Islam. Tapi akhirnya kita sekarang bisa menarik kesimpulan bahwa orang Islam sudah mengerti, mereka sudah mempraktekkan demokrasi selama sebelas tahun.
Bagaimana dengan kelemahan dalam demokrasi yang ditunjuk kelompok antidemokrasi itu, misalnya soal ketidakadilan?
Banyak masalah belum bisa diatasi lewat sistem demokrasi, misalnya masih ada kemiskinan dan korupsi. Meskipun kecewa, orang Indonesia menarik kesimpulan bahwa ini bagian dari politik Indonesia. Ini merupakan proses kultural politik yang betul-betul penting dan signifikan bukan saja bagi Indonesia melainkan juga bagi dunia.
Setelah 1999, muncul terorisme dan gelombang kekerasan atas nama agama di Indonesia. Apakah itu tidak mengubah pendapat Anda?
Posisi saya terus berubah, tapi posisi dasar saya tetap. Masyarakat melihat teroris bukan mewakili mayoritas. Bahwa ada kelompok seperti itu memang mengkhawatirkan. Tapi itu terjadi karena ada krisis politik, krisis ekonomi, krisis kebangsaan sekaligus. Di mana sepanjang abad ke-20 ada krisis multidimensi seperti itu? Lihatlah Jerman. Negara itu masih makmur pada 1920-an, masih terdidik, punya industri yang besar. Tapi mitologi terhadap Yahudi tidak saja menghancurkan Jerman, tapi juga peradaban Eropa selama beberapa tahun. Fasisme itu tidak saja ada di Jerman, Italia, tapi ada di mana-mana.
Ini juga dampak serangan Amerika ke berbagai negara Islam?
Banyak negara lain menilai serangan terhadap Amerika tidak begitu parah, tapi tanggapan pihak Amerika terkesan berlebihan. Tak cuma di negara Islam, tapi juga di Eropa. Dan untuk kelompok kecil itu, tanggapan itu suatu sumbangan besar. Jadi tak mengherankan bila ada bagian kecil umat Islam yang setelah melihat krisis ini lalu memobilisasi suatu sistem alternatif bagi sebagian besar umat Islam yang tak terlibat aksi kekerasan sama sekali. Kelompok itu dalam beberapa tahun terakhir diperkuat oleh (kampanye) war against terrorism.
Lembaga Anda sudah mengkaji muslim di 44 negara. Apakah ada yang transisi politiknya seperti Indonesia?
Ada banyak kesamaan, tapi di lapangan berbeda, terutama dalam kebangkitan agama. Itu terjadi di mana-mana, kebangkitan Katolik, Hindu. Kita bisa membandingkan Indonesia dari segi itu setelah era otoriter. Yang terjadi di negara-negara lain, agama mulai dipengaruhi pasar. Ada harapan agama bisa membawa rahmat yang bisa dipakai secara praktis agar lebih sukses di bidang ekonomi. Itu terjadi di kalangan muslim, dan lebih awal di kalangan Kristen Barat. Istilah yang lebih populer disebut prosperity theology, teologi kemakmuran. Pada awalnya banyak yang menganggap paham ini tak mungkin keluar dari kalangan Kristen.
Ada contoh prosperity theology di Islam?
Kalau disebut prosperity Islam, lihatlah negara Qatar. Itu simbol dari sesuatu yang sekarang semakin umum. Banyak orang membayangkan Islam harus kritis, kiri, seperti teologi pembebasan. Banyak yang menyayangkan bahwa ini perkembangan yang tidak baik. Tapi, dari segi pembangunan nasional, dari segi apa yang dibutuhkan supaya negara muslim bisa lebih bersaing dengan negara-negara Barat, sebetulnya ini suatu perkembangan yang sangat bagus.
Anda mengatakan kebangkitan muslim di Indonesia mulai terjadi pada awal 1980-an. Apa yang mendorongnya?
Ada beberapa variabel. Kita harus ingat, itu terjadi di 90 persen negara muslim. Ada pengaruh dari globalisasi dunia muslim, bukan globalisasi McDonald's. Ada hubungan pendidikan yang semakin erat antara Mesir, Arab Saudi, dan Indonesia. Tapi juga ada suatu proses yang lebih umum, misalnya di negara Asia Timur atau Amerika, ada keyakinan baru bahwa makmur itu tidak cukup, kita juga perlu kemajuan moral. Ekonom yang meneliti pembangunan nasional mungkin tidak melihat isu moral.
Di Indonesia kini ada kecemasan tentang lunturnya kerukunan hidup beragama....
Ini suatu transisi sosial menuju demokrasi yang belum stabil dan benar-benar mencemaskan. Tapi, menurut saya, ini tidak mengancam proses demokrasi secara umum, tapi dia mewarnai iklim sosial. Demokrasi tidak hanya sesuatu yang hanya dijalankan di lembaga negara, tapi juga bergantung pada kultur yang dijalankan oleh banyak orang. Kelompok yang menyerang (demokrasi) itu kalangan tertentu dan agak kecil. Walaupun begitu, serangan itu tidak banyak dikritik oleh kalangan religius.
Tanggapan pemerintah juga tak jelas....
Saya kira ini sulit diatasi untuk sementara kecuali ada dua hal yang perlu dibuat. Pertama, harus ada kesadaran dari komunitas muslim sendiri bahwa yang paling diancam bukan komunitas Kristen yang akan mendirikan tempat ibadah, melainkan orang muslim sendiri. Dalam survei opini publik, kelompok kecil itu berani menghadapi kelompok yang lebih besar, bukan saja nonmuslim, malainkan kelompok muslim yang lain. Suatu ketika muslim Indonesia akan mengerti bahwa ini adalah ancaman terhadap keramahan kultur dan peradaban muslim sendiri. Kedua, dari pihak pemerintah tampaknya belum ada posisi yang tegas. Saya termasuk orang yang menganggap ini bisa dimengerti karena ini zaman baru, bukan zaman Orde Baru. Koalisi Susilo Bambang Yudhoyono sangat majemuk. Tidak hanya di tingkat elite, tapi kalau kita ke pelosok sering kita menemui belum adanya konsensus di kalangan pemerintah tentang bagaimana menghadapi hal semacam itu.
Anda mengatakan ada kebangkitan Islam sejak 1980-an, tapi kenapa partai Islam tetap saja tidak laku di Indonesia?
Itu tidak jauh berbeda dengan di negara lain. Pakistan itu secara resmi negara Islam, tapi partai yang paling dianggap islami tidak pernah menang. Partai yang sekuler di Pakistan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan partai yang populer di Indonesia. Akhirnya kita bisa menarik kesimpulan bahwa sebetulnya negara bisa dijalankan dengan baik dengan sistem politik dan bahwa yang islami tidak selalu harus diformalkan.
Lalu dari mana munculnya bias politik Islam itu?
Itu sebenarnya wujud kecemasan figur-figur yang mengatasnamakan Islam. Sumbangan terbesar laskar-laskar yang belakangan populer di Indonesia adalah bikin orang cemas. Tapi mereka juga memukul partai yang membawa bendera Islam. Orang melihat bukan Islam yang ditolak, tapi figur yang memakai nama Islam. Ada suatu pemahaman di banyak negara bahwa politik Islam harus konsisten dengan nilai-nilai Islam. Kalau ada orang menjalankan politik atas nama Islam tapi tindakannya anarkistik, itu boleh saja ditolak.
Apakah Anda juga mendalami persoalan partai politik Islam?
Saya bukan pengamat partai politik tapi kenal dengan banyak orang PKS. Ketika di Jakarta, saya bergaul dengan sejumlah orang yang kelak setelah Soeharto lengser, bergabung dengan PBB. Ketika PKS muncul, banyak orang menyangka ini akan menjadi partai besar, tapi nyatanya tidak seperti yang dibayangkan. Para pemilih Indonesia tidak sulit membedakan antara partai Islam dan agama Islam. Kesalehan muslim Indonesia seperti salat dan puasa tidak pernah berkurang, malah semakin kuat. Tapi di politik yang mau partai Islam tidak semakin kuat. Ini merupakan salah satu kemampuan membedakan antara politik yang selalu kotor dan yang suci serta tidak kotor yang namanya agama.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/08/16/WAW/mbm.20100816.WAW134340.id.html
Penentang Demokrasi Sangat Minoritas
Written By gusdurian on Senin, 16 Agustus 2010 | 10.59
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar