Belum lama ini, persis menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang ke-65, kembali muncul ketegangan RI-Malaysia.Tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) ditangkap oleh polisi negeri jiran itu ketika tengah mengamankan lima kapal nelayan Malaysia yang melakukan penangkapan ilegal di perairan Bintan, Kepulauan Riau, pada Jumat lalu (13/8).
Dengan cara melepaskan tembakan peringatan, polisi Malaysia menahan Asriadi,40,Erwan, 37, dan Seivo Grevo Wewengkang, 26.Ketiganya selamat,tetapi kapal nelayan Malaysia pun melenggang ke negaranya tanpa ada masalah sedikit pun. Kita tak mempersoalkan masalah ikan di situ. Tidak juga mempersoalkan berapa kali tembakan peringatan dari polisi tetangga. Yang kita persoalkan ialah aspek nasionalisme dan harga diri bangsa dan negara.
Kalau saja Soekarno masih hidup,mungkin saja ia kembali meneriakkan “Ganyang Malaysia!” dalam kasus semacam ini. Sebab, bagaimanapun, masalah ini menyangkut harga diri Indonesia di kawasan dan di dunia. Betul bahwa hal ini telah diselesaikan secara diplomatik seperti dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad dalam konferensi persnya tiga hari setelah kejadian itu.
Namun, modelnya seperti apa? Bagaimana kita bisa mereduksi peluang terjadinya penghinaan macam itu lagi di masa mendatang? Perlu ada sikap tegas dan kritik keras.Pemerintah tidak bisa diam saja.Pemerintah harus melakukan diplomasi tingkat tinggi dengan Pemerintah Malaysia.“Jangan ada toleransi dengan Malaysia. Tidak ada bangsa Malaysia yang mengalami gangguan keamanan di Indonesia,” begitu pernyataan tokoh dari Migrant Care Wahyu Susilo dulu berkaitan dengan masalah TKI yang disiksa. (www.okezone.com, 9/10/2007).
Sudah banyak kasus yang terjadi selama ini dan belum ada solusi diplomatik yang benar-benar menjunjung tinggi harga diri bangsa Indonesia. Kita selalu “mengalah” dengan metode soft diplomacy yang terkadang juga tak berpola. Mulai dari kasus Manohara, sengketa Ambalat,penyiksaan TKI,tari Pendet dan klaim kebudayaan hingga saling melecehkan lagu kebangsaan. Melihat perjalanan sejarah kedua negara sepertinya konflik seperti ini akan terus terjadi.
Apalagi ada luka sejarah “Ganyang Malaysia” yang dulu dikumandangkan Presiden Soekarno pada 1960-an. Terjadi di Kalimantan Utara tahun 1962–1966, “Ganyang Malaysia” bermula dari ambisi Malaysia untuk meleburkan Brunei, Sabah, dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada 1961. Soekarno menuding Malaysia sebagai boneka Barat,tepatnya Inggris.
Semenjak itu, gesekan selalu terjadi. Bahkan dalam kasus Ambalat dulu, muncul 1.500 orang yang tergabung dalam Organisasi Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) untuk mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsa.Hal ini pertanda bahwa rakyat Indonesia tak pernah mau bertoleransi dengan kekuatan asing macam apa pun yang ingin merobek keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu, pemerintah harus lebih awal menunjukkan komitmen politiknya dalam menjaga keutuhan wilayah teritorial dan kedaulatan politik NKRI.
Perlu ada penataan dalam konsep dan implementasi pertahanan dan keamanan. Bahwa konsep pertahanan dan keamanan bersifat utuh menyeluruh, meliputi dua hal mendasar, yakni keselamatan negara dan keselamatan masyarakat. Lingkup keselamatan negara terkait dengan kedaulatan negara yang mengharuskannya untuk mengatasi berbagai bentuk ancaman (threat) yang meliputi militer dan nonmiliter, konvensional dan nonkonvensional, fisik dan nonfisik, internal dan eksternal.
Kita tak berbicara kekuatan militer secara langsung dalam konteks ini.Yang kita diskusikan adalah apakah pemerintah bisa bersikap tegas atau tidak.Ketegasan adalah kata utamanya. Jangan sampai negara lain melihat kita lemah lalu menganggap remeh karena secara politik kita tak dihargai. Lalu secara budaya pun kita sudah lama dihina.Sebelum kasus penangkapan petugas kelautan kita, radio siaran Pemerintah Malaysia menghentikan pemutaran lagu Rasa Sayangedan mengimbau radio-radio swasta untuk melakukan hal serupa.
Bahkan, Malaysia juga mengimbau stasiun radio swasta untuk mengurangi porsi siaran lagu-lagu Indonesia dalam program acara mereka.Keputusan menghentikan pemutaran lagu Rasa Sayange itu dikeluarkan Kementerian Informasi Malaysia sebagai konsekuensi dari klaim Indonesia. Sebelumnya lagu ini di Malaysia dipakai untuk kampanye wisata. Dari kasus ini,kelihatan bahwa Pemerintah Malaysia sudah tidak lagi bersahabat dengan Indonesia.
Bahkan Pemerintah Malaysia memiliki agenda strategis dalam jangka panjangnya yang tidak menguntungkan Indonesia. Untuk itu Indonesia harus lebih waspada dan bersikap tegas terhadap Malaysia. Mesti diingat bahwa kita adalah bangsa besar. Bagaimana mungkin kita dihina oleh negara lain? Mantan PM Malaysia sendiri, Dr Mahathir Mohammad, pernah mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi negara besar ketujuh di dunia.Tapi apa syaratnya?
Dibutuhkan kepemimpinan yang tegas, konsisten, dan berani ambil keputusan serta melakukan perubahan sekaligus inventarisasi ulang berbagai potensi efektif bangsa. Ia memastikan pula, Indonesia sebagai negara besar yang posisinya secara geopolitik sangat strategis di Pasifik sangat meyakinkan untuk menjadi “raksasa baru” di percaturan global pada milenium ketiga ini.Jumlah penduduk besar serta sumber kekayaan alam yang luar biasa. Ini semua merupakan aset penting menuju posisi itu kalau ada manajemen negara yang bagus.
Untuk tujuan baik itu, kita hanya bisa berharap, pada saatnya akan muncul suatu kepemimpinan yang tidak mau didikte oleh kekuatan asing apa pun, yakni suatu manajemen nasional berjati diri kebangsaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Juga suatu kepemimpinan nasional yang memiliki kearifan untuk melakukan perubahan (paradigma pembangunan) yang tak cenderung diatur-atur sesuai dengan mekanisme para antek kapitalis dan lembaga-lembaga imperialisme internasional.
Untuk itu,penting untuk melakukan inventarisasi ulang, baik menyangkut peningkatan SDM maupun peraturan perundangundangan yang ada agar iklim berusaha dan berinvestasi terjamin secara hukum seiring dengan pelaksanaan reformasi birokrasi secara serentak yang mampu menghasilkan sistem birokrasi tidak korup, tetapi melayani kepentingan publik.
Untuk semuanya itu, memang perlu suatu revolusi total di Indonesia guna mempercepat proses menuju suatu posisi negara yang maju, mandiri dalam ekonomi, mempunyai kedaulatan di segala bidang,terutama politik,ideologi, juga hukum, serta berkepribadian dalam kebudayaan, sekaligus disegani di mata dunia.(*)
Tjahjo Kumolo
Sekjen PDI Perjuangan
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/346056/
Ketegasan Pemerintah, Kunci Kedaulatan?
Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 09.52
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar