BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mempersoalkan Politik Luar Negeri Presiden SBY

Mempersoalkan Politik Luar Negeri Presiden SBY

Written By gusdurian on Minggu, 22 Agustus 2010 | 09.53

Pidato kenegaraan menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan RI tahun ini kembali digunakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menegaskan visi politik luar negerinya, yaitu “sejuta kawan tanpa musuh”( a million friends, zero enemy).

Visi itu sebagai wujud internasionalisme yang mengedepankan kerja sama dan kemitraan agar negeri ini semakin aman,makmur, dan kuat. Pemikiran dasar yang telah disampaikan dalam beberapa kesempatan itu kemudian diterjemahkan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam doktrin dynamic equilibrium (keseimbangan dinamis).

Doktrin itu meyakini bahwa interaksi berbagai negara secara damai dalam kerangka kerja sama multilateral yang berkesetaraan dan saling menguntungkan adalah pengganti kestabilan sistem regional dan global yang berdasarkan hadirnya kekuatan dominan, pembangunan kekuatan militer, serta perspektif perimbangan kekuatan (balance of power). Kedua pemikiran ini mencakup dimensi yang luas, termasuk dimensi militer dan pertahanan.

Pertanyaannya, apakah kedua pemikiran di atas dapat diterima oleh masyarakat yang prihatin dengan berbagai tindak pelecehan atas kedaulatan nasional oleh negaranegara tetangga akibat lemahnya kekuatan deferensi militer kita seperti penangkapan aparat patroli perikanan Indonesia oleh Malaysia di wilayah Indonesia? Lalu kalau negara kita tak punya musuh, rakyat dan aparat harus memberi status apa pada jaringan teroris lintas negara yang harus diberantas itu?

Membangun persepsi publik bahwa tak ada musuh yang sedang mengancam negara kita dapat membawa bangsa ini pada cara yang keliru dalam memandang dunia. Juga bisa membahayakan karena dapat dianggap sinyal untuk menurunkan kewaspadaan kita sebagai bangsa di berbagai bidang. Vladimir Putin,Presiden Rusia periode 2000–2008 dan tokoh yang dipilih majalah Time sebagai Person of The Year 2007, mengatakan, ilusi bahwa Rusia tidak memiliki musuh adalah sumber dari seluruh kemunduran negara itu semenjak pecahnya Uni Soviet hingga era Yeltsin.

Rusia sempat mengalami periode di mana ekonominya berantakan semenjak era reformasi ekonomi dukungan IMF pada awal 1990-an.Kekayaan negara utamanya di bidang sumber daya alam dirampok sekelompok orang yang disebut “oligarki” yang dapat menjadi kaya secara cepat di samping menguntungkan kapitalis di negara barat. Politik domestiknya juga dipengaruhi asing.

Lemahnya Rusia secara ekonomi juga membuat percaturan internasional didominasi unipolarisme Amerika Serikat yang sendirian menjadi adidaya politik dan militer. Sementara di sisi lain,Presiden AS Barack Obama dalam pidatonya saat menerima penghargaan Nobel Perdamaian 2009 mengatakan bahwa perdamaian sering kali harus hadir bersama dengan kekuatan fisik.Baik Putin maupun Obama menunjukkan bahwa perspektif politik luar negeri SBY dan Menlunya bukanlah pemikiran arus utama elite kekuatan-kekuatan besar dunia.

Akar visi Presiden SBY, yaitu perdamaian utopian yang berasumsi bahwa perdamaian dapat dibangun tanpa kekuatan fisik, juga tampak dari bagian doktrin Natalegawa yang menyebutkan proximity talks sebagai situasi kondusif menuju perdamaian. Sayangnya,tak ada contoh konkret negara yang dihargai di panggung dunia hanya dengan mengandalkan prinsip-prinsip normatif tersebut. Bahkan Jepang, sebuah negeri yang berhasil meraih citra sebagai negara antiperang, selalu memiliki anggaran militer raksasa.

Jepang yang sebelum era Koizumi hanya dimintai kontribusi finansial dalam mendukung aneka kebijakan politik dan militer global AS, seiring dengan kemunduran ekonomi AS, kini didorong untuk kembali membangun militernya. Jepang didukung untuk mengubah konstitusi pacifist-nya yang menyatakan bahwa Jepang menolak perang,penggunaan ancaman atau kekerasan, serta menolak pemilikan sebuah angkatan bersenjata.

Dalam persiapan ke arah itu, Jepang sudah dilibatkan mendukung operasi militer AS di Irak dan menaikkan status Japan Defence Agency(JDA) menjadi Kementerian Pertahanan (Syamsul Hadi, Kompas 21 Maret 2007). Konstitusi mengamanatkan agar bangsa kita ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Kita memang harus berjuang keras untuk menghindari perang.Namun, bersiap perang atau bahkan perang itu sendiri adalah juga bagian dari upaya mencapai perdamaian. Tragedi kemanusiaan di Bosnia tahun 1994–1995 misalnya baru berhenti setelah AS bersama NATO melancarkan serangan militer masif ke wilayah Balkan tersebut. Adalah naif untuk berpikir bahwa memperkuat militer adalah selalu bermakna ancaman bagi perdamaian.

Penulis menghargai Presiden SBY yang berikhtiar mengembangkan politik luar negeri yang orisinal di era globalisasi ini.Dulu Presiden Soekarno juga merumuskan Gerakan Non-Blok yang menjadi alternatif arus utama pemikiran politik dunia era Perang Dingin.Bedanya, visi Bung Karno memiliki daya tarik kuat. Dengan bersikap tidak memihak salah satu blok, Indonesia berhasil memperjuangkan kepentingan nasionalnya seperti pengakuan kemerdekaan, pengembalian Irian Barat,dan tumbuhnya TNI sebagai kekuatan militer terkuat di belahan bumi selatan.

Sementara visi Presiden SBY dan doktrin Natalegawa disodorkan kepada dunia di tengah situasi negara yang tak berwibawa. Baik karena prestasi ekonominya biasa saja dibandingkan China dan India, kemiskinan tak berkurang, utang luar negeri terus bertambah maupun sikap lembek dalam menyikapi arogansi negara sekecil Singapura atau Timor Leste.Kedua pemikiran itu kemungkinan besar dipandang negara lain sebagai retorika dan dibahas sebagai basa-basi diplomatik belaka.

Negara mana yang mau mengikuti visi negara yang tidak sukses dengan dirinya? Di samping itu, pada era di mana ekonomi menjadi kepentingan pragmatis tiap negara yang diperjuangkan secara transaksional, tidaklah mudah menghimpun teman. Karena meskipun Indonesia memiliki power source seperti sejarah perjuangan dan kepemimpinan di dunia ketiga, tetapi tanpa keberhasilan ekonomi sekelas China, India, dan Brasil, Indonesia tak punya power currency yang efektif.

Bagi pemerintah, membangun persepsi bahwa negara kita sebagai tidak memiliki musuh setidaknya dapat meredam desakan berbagai pihak agar segera dilakukan modernisasi besar-besaran terhadap alutsista TNI. Bersama alasan minimnya anggaran, persepsi tersebut dapat menjadi pembenar sikap pemerintah untuk mem-perpanjang “masa cuek” terhadap kondisi alutsista TNI yang tertinggal secara kualitas maupun kuantitas dari negara-negara lain di kawasan dan tak kunjung mampu memenuhi kebutuhan objektifnya.

Benar bahwa kita sekarang hidup dengan lingkungan strategis baru dalam dunia yang di permukaannya diwarnai ancamanancaman asimetris hubungan internasional yang lebih rawan dan rumit seperti upaya akuisisi teknologi nuklir sebagai senjata pemusnah massal, perubahan iklim, terorisme, epidemi penyakit, kemiskinan, perdagangan manusia, narkotika, dan lainnya.Percaturan globalisasi juga semakin kompleks dengan berbagai kepentingan tak hanya menyangkut negara-bangsa, tetapi juga institusi- institusi ekonomi-perdagangan yang dapat bergerak bebas.

Namun, apakah interdependensi yang semakin luas dan kebutuhan mekanisme multilateralisme yang meningkat telah menghilangkan ancaman konvensional secara permanen? Sebagai negara yang mengalami trauma penjajahan dan kerap dikerjai oleh berbagai bentuk kekuatan asing hingga hari ini, Indonesia tak perlu menjadi pelopor penanggalan perspektif perimbangan kekuatan dalam politik luar negerinya di bidang pertahanan.

Sebaliknya, peluang menciptakan kemitraan strategis dengan kekuatan- kekuatan besar perlu diarahkan untuk juga memperkuat TNI. Visi Presiden SBY bersama Doktrin Natalegawa di atas yang dinyatakan pemerintah sebagai modernisasi kebijakan dasar politik luar negeri yang bebas aktif sulit diharapkan bisa menjadi pegangan dalam menyikapi insideninsiden global secara terukur.

Juga tak mungkin dapat menjadikan Indonesia sebagai aktor diplomasi global yang powerfull dalam mendorong penyelesaian aneka konflik dan krisis serta mewujudkan tata dunia multipolar. Hal mana sudah tampak dari ditolaknya tawaran Indonesia sebagai penengah konflik Israel-Palestina.(*)

Guspiabri Sumowigeno
Direktur Kajian Politik Center for
Indonesia National Policy Studies
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/346055/
Share this article :

0 komentar: