BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Politik Ekstraparlementer di Thailand

Politik Ekstraparlementer di Thailand

Written By gusdurian on Rabu, 14 April 2010 | 12.06

Demonstrasi besar-besaran di Bangkok masih saja berlangsung. Sabtu (10/4) demonstran bentrok yang menyebabkan 20 orang tewas dan 874 lainnya luka-luka. Selain itu, empat orang tentara dan seorang juru kamera Reuters pun tewas.

Polisi dan tentara gagal mengambil alih area yang dikuasai kelompok pengunjuk rasa yang menamakan diri Kaus Merah. Berita terakhir menyatakan komisi pemilihan umum (KPU) di sana baru saja membubarkan Partai Demokrat, karena penyalahgunaan dana kampanye.Keputusan KPU itu menjadi modal berharga bagi perjuangan Kaus Merah karena pembubaran Partai Demokrat itu akan menggoyahkan legitimasi Abhisit sebagai perdana menteri.

Adu Unjuk Rasa

Diperkirakan, persaingan dan konflik politik akan lebih besar pada hari-hari mendatang. Pasalnya, Kaus Kuning, kekuatan anti- Thaksin, diperkirakan akan turun ke jalan juga mendukung Abhisit. Adu kekuatan unjuk rasa seperti ini pernah terjadi April tahun lalu yang menyebabkan Bangkok praktis lumpuh. Siklus unjuk rasa besar-besaran di ibu kota Thailand itu terjadi sejak April 2006, saat para politisi ingin menjatuhkan Thaksin.

Padahal, Thaksin saat itu adalah politisi sipil terkuat—karena berhasil menjadi perdana menteri selama jabatan pertama (2001-2005) secara mulus dan menang mutlak pada pemilu Februari 2005 untuk jadi perdana menteri lagi (2005–2009). Karena merasa kuat, Thaksin menekan kelompok separatis petani di Thailand selatan, sehingga menimbulkan persoalan pelanggaran hak asasi manusia.

Juga karena merasa kuat Thaksin lebih berani “melawan” media massa dan menyalahgunakan wewenangnya untuk mengambil keuntungan bagi perusahaannya. Akibatnya, elite politik di Bangkok berusaha menjatuhkan Thaksin. Elite militer mengambil keuntungan dari situasi itu. Sejak April 2006 demonstrasi anti-Thaksin mulai mengganggu kekuasaan Thaksin.

Demonstran menuntut Thaksin mundur. Para politisi anti-Thaksin terus menggelar demonstrasi. Militer Thailand mengudeta Thaksin pada September 2006, saat Thaksin masih berada di New York, mengikuti Sidang Majelis Umum PBB.Militer Thailand menunjuk Jendral Sonthi sebagai perdana menteri. Ketika pemilu lagi, Desember 2007, kekuatan Thaksin menang, sehingga Sonthi digantikan Samak yang pro-Thaksin.

Sejak Mei 2008, lagi-lagi demonstrasi besar-besaran anti-Thaksin menuntut Samak mundur. Samak dijatuhi hukuman karena menerima honor dari televisi dan karenanya harus mundur. Kekuatan pro-Thaksin menjadikan Somchai sebagai pengganti Samak. Tapi Somchai terus-menerus didemo, sehingga diganti Abhisit, Desember 2008. Kekuatan Kaus Merah pro- Thaksin tidak mau terima,dan mulai April 2009 Kaus Merah menggelar aksi, berusaha menjatuhkan Abhisit. Unjuk rasa yang terjadi saat ini adalah lanjutan dari rentetan upaya menjatuhkan Abhisit.

Lima Pelajaran

Banyak hal bisa kita jadikan pelajaran dari hiruk-pikuk politik di Thailand itu. Pertama, tentang campur tangan militer. Dari berita di televisi tampak yang menghadapi pengunjuk rasa Kaus Merah adalah polisi dan tentara.Mengapa tentara ikut-ikutan dalam urusan mengatasi demonstrasi? Bukankah unjuk rasa adalah urusan polisi? Ketika tentara ikut dalam hiruk-pikuk politik seperti itu, proses demokrasi dan konsolidasi demokrasi pun tidak bisa berjalan.

Apalagi kalau keterlibatan militer itu memang didasari kepentingan kelompok militer, seperti halnya pada 2006, saat militer mencuri kesempatan dengan mengudeta Thaksin. Pelajaran kedua, tentang aksi menyerang polisi. Dari berita televisi juga,tampak para demonstran Kaus Merah tidak hanya bertahan dalam menghadapi polisi dan tentara yang menghalaunya. Kaus Merah tampak secara beringas membalas dan menyerang polisi dan tentara.Akibatnya,korban tak hanya demonstran, tapi juga tentara.

Demonstran di sana sudah bertindak dengan menggunakan kekuatan fisik, sehingga adu kekuatan fisik tidak terhindarkan. Mestinya,demonstran lebih menggunakan kekuatan moral. Contohnya, people power di Filipina 25 tahun lalu, yang tidak melawan secara fisik aparat polisi dan tentara, tetapi justru menang gilanggemilang. Pelajaran ketiga, tentang aksi ekstraparlementer. Gelombang protes dan demo Kaus Merah,maupun Kaus Kuning sebelumnya, pada dasarnya adalah aksi ekstraparlementer.

Politik ekstra-parlementer itu bisa dipahami kalau muncul akibat dari tidak berfungsinya parlemen yang ada. Karenanya, politik ekstraparlementer biasanya berlangsung singkat, tak lama, untuk mengembalikan fungsi parlemen. Di Thailand, selama ini aksi ekstraparlementer sudah berlangsung empat tahun tanpa henti. Sudah empat perdana menteri (Thaksin, Sonchi,Samak,Somchai) jatuh karena dipicu politik ekstraparlementer ini.

Apakah Abhisit akan bernasib seperti empat pendahulunya itu? Politik ekstraparlementer tampaknya justru menjadi politik yang utama,sementara politik parlementer justru makin menjadi politik pinggiran. Bila demikian terus,dinamika politik di Thailand itu menjadi tidak normal atau tidak sehat karena persoalan diselesaikan bukan di gedung parlemen, tetapi di jalan-jalan dengan ekses negatif yang tidak bisa diprediksi. Pelajaran keempat, tentang pengelolaan kekuatan politik tidak mudah.

Thaksin begitu kuat karena jadi perdana menteri (2001-2005) dan menang lagi secara mutlak untuk masa jabatan kedua (2005-2009) menjadi terlalu percaya diri.Thaksin lebih berani melakukan tindakan yang dianggapnya benar (menekan keras separatis, menentang media massa). Artinya, kendati seseorang punya modal politik besar, tetap harus menggunakan untuk hal-hal yang positif dan menghindarkan diri dari urusan pelanggaran hak asasi manusia. Pelajaran kelima, tentang stabilitas politik.

Gelombang aksi ekstraparlementer itu menunjukkan stabilitas politik di Thailand belum mantap.Akibatnya, negara dan pemerintah tidak bisa melakukan fungsinya secara optimal baik ke dalam maupun ke luar.Misalnya saja KTT ASEAN di Thailand pada 2008 ditunda gara-gara pemerintah tidak bisa mengatasi keadaan. KTT ASEAN April 2009 pun ditunda lagi karena aksi Kaus Merah.Pada KTT ASEAN 2010 di Hanoi pun Abhisit tidak bisa hadir karena harus menghadapi gejolak di dalam negerinya. Padahal kita semua tahu, stabilitas merupakan syarat pembangunan suatu negarabangsa!(*)

I Basis Susilo
Dekan FISIP Unair,
Dosen Hubungan Internasional

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/317551/
Share this article :

0 komentar: