Dalam ranah demokrasi kita sering berucap bahwa kritik itu perlu dan penting. Namun dalam kenyataannya, di antara kita tidak semua siap berdemokrasi dalam pengertian menerima kritik dan melakukan introspeksi.
Dalam ceramah pidato para pejabat begitu lazim dikatakan agar selalu memberikan koreksi dan kritik.Namun,itu semua hanya terucap di mulut semata. Begitu yang bersangkutan mendapatkan kritik, maka bukan langkah konstruktif yang dilakukan; melainkan lebih banyak sikap kontraproduktif. Situasi ini akan semakin mengerdilkan para kritikus. Untuk menjadi kritikus diperlukan keberanian yang sangat tinggi, bahkan kalau perlu harus mempertaruhkan jiwa raga.
Ada tembok raksasa keangkuhan yang kita hadapi bersama, bahwa kita belum mampu menjadi bangsa dewasa yang konstruktif menghadapi kritik. Kritik adalah nyawa bagi demokrasi. Kita tidak bisa menyatakan sebagai bangsa demokratis saat menghadapi kritik, bukan pertanyaan“ apa”dan“mengapa”; melainkan“ siapa”yang dihadapi.
Tanpa kritik, dan tanpa kemauan menerima kritik, kita hanya akan menjadi bangsa yang seolah-olah berdemokrasi, tapi sesungguhnya kita enggan menerima segala konsekuensi dari berdemokrasi itu sendiri. Materi kritik seharusnya jauh lebih penting daripada siapa yang mengkritik. Itulah yang akan menumbuhkan kedewasaan untuk melakukan mawas diri dan menjadikannya sebagai momentum melakukan perubahan.
Momentum Perubahan
Kritik, sinyalemen, tudingan, atau apa pun istilahnya,selalu berawal dari ketidakpuasan terhadap sesuatu, adanya suatu hal yang ingin diungkapkan. Hal ini tidak mudah dilakukan, sebab kadang kala untuk menghadapi suatu kemapanan, atau sesuatu yang disembunyi-sembunyikan butuh suatu nyali dan keberanian. Apa yang menjadi polemik akhir-akhir ini di tubuh birokrasi Kepolisian RI, setidaknya bisa dilihat dalam konteks di atas.
Salah seorang perwira tinggi mengungkapkan adanya dugaan penyimpangan di tubuh Polri selama ini. Sebetulnya apa yang disampaikan itu bukanlah sesuatu yang sangat baru sekali dan menimbulkan kehebohan. Secara tersamar publik sudah lama mencium gelagat demikian. Menghadapi hal itu,akan lebih baik untuk melakukan introspeksi ke dalam dan menjadikan hal tersebut sebagai momentum untuk mengembalikan kepercayaan publik yang semakin lama semakin sirna.
Publik membutuhkan keyakinan yang nyata untuk menilai bahwa kepolisian sungguh-sungguh ikut memerangi korupsi,siapa pun dan apa pun jenisnya. Perang terhadap korupsi sesekali membutuhkan momentum seperti ini. Dalam konteks ini kita mungkin tidak perlu terjebak pada motif dan kepentingan apa karena hanya akan menghasilkan prasangka yang semakin kabur.
Tetapi karena materi kritik ini berasal dari tubuh kepolisian sendiri,akan sangat bermanfaat bila momentum ini digunakan untuk melakukan pembersihan unsur-unsur negatif yang masih menempel dalam birokrasi. Semua itu berangkat dari kesadaran bahwa membersihkan korupsi itu begitu sulit. Korupsi bisa terjadi pada siapa,di mana dan kapan saja. Koruptornya sendiri begitu sulit diberantas karena sering kali ia melekat dalam diri kita sendiri.
Kita menyadari bahwa menangkap koruptor seperti menangkap belut.Mereka licin dan pandai menemukan jalan untuk meloloskan diri.Untuk membuat belut tak berkutik, diperlukan perangkat dan trik khusus yang cocok untuk belut. Sebagaimana belut, mereka tahu betul hidup di habitat seperti apa. Mereka menyadari ke mana harus bersembunyi dan melarikan diri, serta bagaimana caranya. Mereka tahu betul bahwa mereka sedang hidup di kubangan lumpur.
Siasat dan strategi sudah dipersiapkan jauh sebelum para koruptor menyadari melakukan tindakannya. Menangkap belut tidak sama dengan menangkap ikan biasa. Sama-sama hidup di lumpur air, menangkap ikan lebih mudah karena mereka memiliki kulit yang kasar dan gerakan terbatas.Tahukah keahlian terbaik belut? Walaupun sudah ditangkap dalam genggaman tangan yang paling rapat sekalipun, dengan mudahnya ia meluncur lolos.
Adu siasat dan strategi selama ini yang diterapkan antara ”belut” dan para penangkapnya masih timpang. Si belut lebih lihai untuk memainkan atraksi-atraksi terbaiknya. Sementara di luar panggung, penonton gemas bukan kepalang melihat betapa banyak belut lolos.Penonton pun hampirhampir bosan melihat atraksi yang monoton.Gebrakan demi gebrakan dari para penangkap direspons dengan kecanggihan baru untuk meloloskan diri.
Memberantas Korupsi yang Mendarah Daging
Agenda pemberantasan korupsi sering dijadikan agenda sampingan. Hanya dibicarakan jika diperlukan. Padahal, dalam dasawarsa terakhir kita mengetahui dengan jelas betapa hebatnya dampak yang ditimbulkan akibat korupsi ini.Kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kesenjangan, ketimpangan, busung lapar, konflik horizontal, dan seterusnya— untuk menyebut sebagian dampak langsung perilaku ini.
Cukup berbahaya kalau kita sudah sampai pada situasi: pemberantasan korupsi banyak dibicarakan, tapi tidak banyak dilakukan. Kata-kata korupsi dan koruptor sering disebut; tetapi kata-kata hukum,keadilan,perasaan publik, bahkan penjara jarang diucapkan. Kalaupun diucapkan hanya tampak sebagai fatamorgana.Indah di mulut belaka. Efek jera bagi para koruptor tidak akan pernah tumbuh,karena sekali sebuah cara dilihat sebagai korup,para koruptor akan melakukan cara yang lain yang substansinya korup, tapi tidak dilihat sebagai korupsi.
Intinya, akan sangat berbahaya bagi bangsa ini apabila para belut ini sudah berganti kulit dan tidak tampak sebagai belut— tetapi mereka tetap menjalankan profesinya sebagai belut. Lebih berbahaya lagi kalau para penangkap belut bersikap ”tangkap-pilih”. Bahkan kalau perlu disediakan ”karpet merah”. Inilah yang saya sebut sebagai situasi bahaya alias darurat kelas satu kalau para penangkap koruptor dan koruptornya sudah sulit dibedakan jenis kelaminnya.
Ini atraksi lain dari sebuah pertunjukan menggemaskan dan bisa jadi memaksa penonton untuk memasuki arena pertandingan. Korupsi yang sudah melembaga dan mendarah daging (institusionalized and internalized) tentu tidak bisa diberantas dengan cara “tangkap-pilih” ini. Sebagai negara hukum (rechstaat),semua koruptor wajib dikenai hukuman setimpal atas perbuatannya tidak peduli apa bulunya.
Bukankah jargon hukum adalah menciptakan keadilan tidak pandang bulu? Mau bulu kucing, bulu ayam atau bulu kambing, semua wajib tunduk di hadapan Yang Mulia bernama Keadilan. Polri memiliki tugas mulia membantu menegakkan keadilan ini dalam pengertian sesungguhnya. Begitu juga para hakim wajib memiliki komitmen bahwa memenjarakan koruptor hanya akan melukai perasaan satu orang, atau maksimal keluarga koruptor.
Tetapi membebaskan koruptor dengan dalil-dalil hukum yang dibuat- buat, akan bertentangan dengan dua hal. Pertama, pasti melukai hati nurani terdalamnya, kedua akan melukai hati ratusan juta penduduk. Sudah begitu, betapa tidak masuk akalnya keputusan para hakim yang meringankan, memberikan kesempatan bahkan membebaskan koruptor? Mengapa demi nila setitik,susu sebelanga dikorbankan?(*)
Benny Susetyo
Pemerhati Sosial,
Sekretaris Eksekutif
Komisi HAK KWI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/317527/
Kritik dan Demokrasi
Written By gusdurian on Rabu, 14 April 2010 | 12.02
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar