Dua Wajah Otonomi Daerah
*Khudori*
PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN
Mengikuti dua pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pidato pengantar
Rancang Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010 di
Dewan Perwakilan Rakyat pada 3 Agustus 2009 dan di Dewan Perwakilan
Daerah 19 Agustus 2009, tertangkap satu hal: dua wajah otonomi daerah.
Sejak otonomi daerah 1999, telah terbentuk 205 daerah otonomi baru (7
provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota). Pemekaran membuat jumlah daerah
otonom menjadi 524 (33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota). Sayang,
penyerahan wewenang (ekonomi dan politik) ke daerah tidak identik dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Banyak daerah pemekaran justru
menguras dana yang mestinya dipakai buat kesejahteraan rakyat.
Itu wajah pertama. Wajah kedua, otonomi berdampak positif. Misalnya
tujuh provinsi (Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Jambi,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta) pertumbuhan ekonominya
konsisten di atas rata-rata nasional, jumlah warga miskin dan
pengangguran menurun. Sayang, ini hanya terjadi di segelintir daerah.
Sebagian besar justru sebaliknya. Makanya Presiden mengusulkan, sebelum
ada evaluasi menyeluruh dan tuntas, perlu beleid moratorium pemekaran
daerah.
Sepuluh tahun otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah memunculkan
dua kabar yang bertolak belakang: kabar buruk dan kabar baik. Misalnya,
rentang 2004-2006 keluar 67 izin pemeriksaan untuk bupati atau wakilnya.
Sampai Maret 2007, sudah 61 kepala daerah menjadi terpidana. Stigma
miring otonomi daerah seolah menemukan pembenaran: desentralisasi
korupsi, dan munculnya raja-raja kecil. Ratusan peraturan daerah dicabut
dan dibatalkan pemerintah pusat karena menabrak aturan yang lebih tinggi
atau bersifat "memeras" dan menciptakan inefisiensi bagi dunia usaha.
Di luar itu, ada banyak studi yang mencoba menilai dampak otonomi. Studi
The Asia Foundation, Partnership, hingga Bank Dunia (2006)
memperlihatkan kabar baik dan kabar buruk otonomi daerah. Kabar baik,
antara lain, ditunjukkan tumbuhnya inovasi dan /best practices/ di
sejumlah daerah dalam pelayanan publik pro-rakyat miskin. Itu pula yang
dibangun 10 tokoh pilihan /Tempo/ tahun 2008 dan edisi khusus /Tempo/
(17-23 Agustus 2009) yang berisi "9 Daerah Bintang" yang dinobatkan
sebagai daerah unggul dalam memenuhi hak-hak dasar warga seperti amanat
konstitusi. Namun, di balik kabar baik, ada banyak kabar buruk:
lokalisme yang eksklusif, /local capture/, praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme, konflik lokal, birokrasi yang payah, serta pelayanan publik
yang sulit diakses orang miskin.
Sejak otonomi dan desentralisasi, dana APBN banyak yang mengalir ke
daerah dalam bentuk dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus
(DAK), dan bagi hasil. Jika dipelototi, hanya 35 persen belanja APBN
yang merupakan belanja pemerintah pusat murni. Sisanya adalah belanja
pemerintah daerah serta belanja pemerintah pusat di daerah melalui dana
dekonsentrasi, tugas pembantuan, serta subsidi. Sayangnya, meskipun 65
persen APBN berputar di daerah, dana tersebut tidak linear dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebanyak 18 dari 33 provinsi mengalami
peningkatan jumlah warga miskin, di 15 provinsi sisanya jumlah
kemiskinan menurun. Korelasi antara transfer per kapita dan persentase
penduduk miskin rentang 2006-2007 hanya 0,5, bahkan mendekati nol (0).
Dari deskripsi 10 tokoh pilihan yang ditampilkan, /Tempo/ mencatat
sejumlah hal mengapa mereka masuk kategori daerah "kabar baik" dari
otonomi daerah. Pertama, mereka tokoh yang mampu melahirkan terobosan
dan inovasi serta bisa mengurus diri atau daerah sendiri--sesuatu yang
tidak muncul di era sentralisme-otoriter Orde Baru. Kedua, mereka
bekerja dengan visi, memangkas korupsi dan menyingkirkan inefisiensi.
Ketiga, teladan dan kejujuran ditempatkan di urutan pertama. Keempat,
mereka percaya komunikasi yang intens merupakan kunci keberhasilan,
bukan komunikasi yang instan. Mereka sabar mendengar rakyat, dan bekerja
mencapainya. Wali Kota Solo Joko Widodo, misalnya, tidak memindahkan
pedagang kaki lima (PKL) dengan cara bakar-usir, tapi diundang makan.
Setelah undangan makan yang ke-54, baru mereka siap dipindahkan.
Jika ditelisik lebih dalam, keberhasilan otonomi daerah yang diangkat
/Tempo/ banyak bertumpu pada tampilnya tokoh-tokoh lokal yang kuat,
aktif, dan responsif. Bupati Sragen, Blitar, Gorontalo, Badung, Jombang,
dan Luwu Timur serta Wali Kota Makassar, Solo, Yogyakarta, dan Tarakan
adalah tokoh yang memiliki karakter kuat untuk melakukan perubahan, dari
reformasi birokrasi hingga kebijakan sosial-ekonomi yang pro-rakyat
miskin. Meskipun pendapatan daerah mereka tidak besar, pemerintah daerah
sanggup melakukan distribusi belanja sosial yang tinggi. Otonomi daerah
tidak menciptakan daerah pemburu rente, elite yang elitis, dan birokrasi
korup. Ini tipe daerah ideal di era otonomi, yang oleh Sutoro Eko (2008)
disebut "daerah budiman".
Masalahnya, karena bertumpu pada figur tokoh, keberhasilan ini tidak
akan berkelanjutan. Itu terjadi apabila dalam masa jabatan sang tokoh
tersebut tidak diikuti dengan upaya membangun fondasi struktur otonomi
yang kukuh. Begitu sang tokoh lengser, kemudian digantikan oleh tokoh
yang lemah, lembek, tidak bervisi, dan alergi perubahan, yang tercipta
adalah daerah yang sebaliknya: "daerah lemah", yakni daerah yang
pendapatannya rendah dan belanja kebijakan sosial yang rendah pula.
Cita-cita otonomi untuk membuat rakyat berotak cerdas, berbadan sehat,
dan berkantong tebal tidak terwujud. Yang terjadi justru rakyat kian
miskin, pendidikan dan kesehatan kian mahal.
Sayangnya, sejauh ini inisiatif dan inovasi lokal pada daerah-daerah
budiman masih bertumpu pada kehadiran tokoh semacam itu dan
pendekatan-pendekatan yang berpusat pada negara atau /state centric
approach/ (Sutoro Eko, 2008). Pendekatan ini dicirikan: pertama,
rasionalisasi birokrasi dan efisiensi anggaran. Caranya, struktur
birokrasi dirampingkan serta ongkos konsumsi pejabat dan birokrasi
daerah dipangkas. Hasil efisiensi anggaran direalokasikan untuk belanja
sosial dalam bentuk pendidikan dan kesehatan gratis. Kedua, promosi
kesejahteraan lebih dominan digerakkan oleh kebijakan sosial negara
ketimbang kebijakan ekonomi yang berbasis pada swasta (kaum borjuis).
Ketiga, promosi kesejahteraan tidak menggunakan pendekatan universal
yang komprehensif, tapi pada pendekatan /targeting/, yakni kelompok
miskin sebagai sasaran. Keempat, "daerah-daerah budiman" secara
/incremental/ membangun tata pemerintahan lokal yang baik.
Akuntabilitas, keterbukaan, pelayanan untuk rakyat maupun antikorupsi
mereka jadikan spirit bekerja dan mekanisme kelembagaan dalam
menjalankan birokrasi. Kelima, daerah-daerah budiman bekerja dalam
konteks politik lokal dan demokrasi lokal yang /centripetal/ (memusat).
Kondisi politik di daerah-daerah budiman tak terfragmentasi dan
konfliktual, tapi terbangun konsensus bersama untuk mencapai kemajuan
daerah.
Masalahnya, pendekatan semacam itu punya kelemahan. Misalnya cara
/targeting/ sulit diterapkan karena membutuhkan kecanggihan birokrasi,
/database/ orang miskin dan sistem /delivery/ yang canggih; cenderung
menciptakan stigma buruk bagi penerima; dan cenderung menciptakan
pelapisan sosial (kaya dan miskin) ketimbang menguranginya (Bahagijo,
2007). Selain itu, promosi kesejahteraan yang bertumpu pada negara tak
akan bersifat langgeng dan berkelanjutan. Agar promosi kesejahteraan
bersifat langgeng, perlu hadirnya masyarakat sipil. Kehadiran masyarakat
sipil yang kuat akan menjadi fondasi kuat bagi tumbuhnya daerah yang
mandiri, demokratis, inklusif, pluralis, dan sejahtera. Tanpa kehadiran
masyarakat sipil yang kuat, daerah budiman tidak akan langgeng. Tanpa
kehadiran masyarakat sipil yang kuat, dua wajah otonomi daerah adalah
keniscayaan.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/26/Opini/krn.20090826.174913.id.html
*Khudori*
PEMERHATI MASALAH SOSIAL-EKONOMI PERTANIAN
Mengikuti dua pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pidato pengantar
Rancang Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010 di
Dewan Perwakilan Rakyat pada 3 Agustus 2009 dan di Dewan Perwakilan
Daerah 19 Agustus 2009, tertangkap satu hal: dua wajah otonomi daerah.
Sejak otonomi daerah 1999, telah terbentuk 205 daerah otonomi baru (7
provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota). Pemekaran membuat jumlah daerah
otonom menjadi 524 (33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota). Sayang,
penyerahan wewenang (ekonomi dan politik) ke daerah tidak identik dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Banyak daerah pemekaran justru
menguras dana yang mestinya dipakai buat kesejahteraan rakyat.
Itu wajah pertama. Wajah kedua, otonomi berdampak positif. Misalnya
tujuh provinsi (Papua Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Jambi,
Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta) pertumbuhan ekonominya
konsisten di atas rata-rata nasional, jumlah warga miskin dan
pengangguran menurun. Sayang, ini hanya terjadi di segelintir daerah.
Sebagian besar justru sebaliknya. Makanya Presiden mengusulkan, sebelum
ada evaluasi menyeluruh dan tuntas, perlu beleid moratorium pemekaran
daerah.
Sepuluh tahun otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah memunculkan
dua kabar yang bertolak belakang: kabar buruk dan kabar baik. Misalnya,
rentang 2004-2006 keluar 67 izin pemeriksaan untuk bupati atau wakilnya.
Sampai Maret 2007, sudah 61 kepala daerah menjadi terpidana. Stigma
miring otonomi daerah seolah menemukan pembenaran: desentralisasi
korupsi, dan munculnya raja-raja kecil. Ratusan peraturan daerah dicabut
dan dibatalkan pemerintah pusat karena menabrak aturan yang lebih tinggi
atau bersifat "memeras" dan menciptakan inefisiensi bagi dunia usaha.
Di luar itu, ada banyak studi yang mencoba menilai dampak otonomi. Studi
The Asia Foundation, Partnership, hingga Bank Dunia (2006)
memperlihatkan kabar baik dan kabar buruk otonomi daerah. Kabar baik,
antara lain, ditunjukkan tumbuhnya inovasi dan /best practices/ di
sejumlah daerah dalam pelayanan publik pro-rakyat miskin. Itu pula yang
dibangun 10 tokoh pilihan /Tempo/ tahun 2008 dan edisi khusus /Tempo/
(17-23 Agustus 2009) yang berisi "9 Daerah Bintang" yang dinobatkan
sebagai daerah unggul dalam memenuhi hak-hak dasar warga seperti amanat
konstitusi. Namun, di balik kabar baik, ada banyak kabar buruk:
lokalisme yang eksklusif, /local capture/, praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme, konflik lokal, birokrasi yang payah, serta pelayanan publik
yang sulit diakses orang miskin.
Sejak otonomi dan desentralisasi, dana APBN banyak yang mengalir ke
daerah dalam bentuk dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus
(DAK), dan bagi hasil. Jika dipelototi, hanya 35 persen belanja APBN
yang merupakan belanja pemerintah pusat murni. Sisanya adalah belanja
pemerintah daerah serta belanja pemerintah pusat di daerah melalui dana
dekonsentrasi, tugas pembantuan, serta subsidi. Sayangnya, meskipun 65
persen APBN berputar di daerah, dana tersebut tidak linear dengan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebanyak 18 dari 33 provinsi mengalami
peningkatan jumlah warga miskin, di 15 provinsi sisanya jumlah
kemiskinan menurun. Korelasi antara transfer per kapita dan persentase
penduduk miskin rentang 2006-2007 hanya 0,5, bahkan mendekati nol (0).
Dari deskripsi 10 tokoh pilihan yang ditampilkan, /Tempo/ mencatat
sejumlah hal mengapa mereka masuk kategori daerah "kabar baik" dari
otonomi daerah. Pertama, mereka tokoh yang mampu melahirkan terobosan
dan inovasi serta bisa mengurus diri atau daerah sendiri--sesuatu yang
tidak muncul di era sentralisme-otoriter Orde Baru. Kedua, mereka
bekerja dengan visi, memangkas korupsi dan menyingkirkan inefisiensi.
Ketiga, teladan dan kejujuran ditempatkan di urutan pertama. Keempat,
mereka percaya komunikasi yang intens merupakan kunci keberhasilan,
bukan komunikasi yang instan. Mereka sabar mendengar rakyat, dan bekerja
mencapainya. Wali Kota Solo Joko Widodo, misalnya, tidak memindahkan
pedagang kaki lima (PKL) dengan cara bakar-usir, tapi diundang makan.
Setelah undangan makan yang ke-54, baru mereka siap dipindahkan.
Jika ditelisik lebih dalam, keberhasilan otonomi daerah yang diangkat
/Tempo/ banyak bertumpu pada tampilnya tokoh-tokoh lokal yang kuat,
aktif, dan responsif. Bupati Sragen, Blitar, Gorontalo, Badung, Jombang,
dan Luwu Timur serta Wali Kota Makassar, Solo, Yogyakarta, dan Tarakan
adalah tokoh yang memiliki karakter kuat untuk melakukan perubahan, dari
reformasi birokrasi hingga kebijakan sosial-ekonomi yang pro-rakyat
miskin. Meskipun pendapatan daerah mereka tidak besar, pemerintah daerah
sanggup melakukan distribusi belanja sosial yang tinggi. Otonomi daerah
tidak menciptakan daerah pemburu rente, elite yang elitis, dan birokrasi
korup. Ini tipe daerah ideal di era otonomi, yang oleh Sutoro Eko (2008)
disebut "daerah budiman".
Masalahnya, karena bertumpu pada figur tokoh, keberhasilan ini tidak
akan berkelanjutan. Itu terjadi apabila dalam masa jabatan sang tokoh
tersebut tidak diikuti dengan upaya membangun fondasi struktur otonomi
yang kukuh. Begitu sang tokoh lengser, kemudian digantikan oleh tokoh
yang lemah, lembek, tidak bervisi, dan alergi perubahan, yang tercipta
adalah daerah yang sebaliknya: "daerah lemah", yakni daerah yang
pendapatannya rendah dan belanja kebijakan sosial yang rendah pula.
Cita-cita otonomi untuk membuat rakyat berotak cerdas, berbadan sehat,
dan berkantong tebal tidak terwujud. Yang terjadi justru rakyat kian
miskin, pendidikan dan kesehatan kian mahal.
Sayangnya, sejauh ini inisiatif dan inovasi lokal pada daerah-daerah
budiman masih bertumpu pada kehadiran tokoh semacam itu dan
pendekatan-pendekatan yang berpusat pada negara atau /state centric
approach/ (Sutoro Eko, 2008). Pendekatan ini dicirikan: pertama,
rasionalisasi birokrasi dan efisiensi anggaran. Caranya, struktur
birokrasi dirampingkan serta ongkos konsumsi pejabat dan birokrasi
daerah dipangkas. Hasil efisiensi anggaran direalokasikan untuk belanja
sosial dalam bentuk pendidikan dan kesehatan gratis. Kedua, promosi
kesejahteraan lebih dominan digerakkan oleh kebijakan sosial negara
ketimbang kebijakan ekonomi yang berbasis pada swasta (kaum borjuis).
Ketiga, promosi kesejahteraan tidak menggunakan pendekatan universal
yang komprehensif, tapi pada pendekatan /targeting/, yakni kelompok
miskin sebagai sasaran. Keempat, "daerah-daerah budiman" secara
/incremental/ membangun tata pemerintahan lokal yang baik.
Akuntabilitas, keterbukaan, pelayanan untuk rakyat maupun antikorupsi
mereka jadikan spirit bekerja dan mekanisme kelembagaan dalam
menjalankan birokrasi. Kelima, daerah-daerah budiman bekerja dalam
konteks politik lokal dan demokrasi lokal yang /centripetal/ (memusat).
Kondisi politik di daerah-daerah budiman tak terfragmentasi dan
konfliktual, tapi terbangun konsensus bersama untuk mencapai kemajuan
daerah.
Masalahnya, pendekatan semacam itu punya kelemahan. Misalnya cara
/targeting/ sulit diterapkan karena membutuhkan kecanggihan birokrasi,
/database/ orang miskin dan sistem /delivery/ yang canggih; cenderung
menciptakan stigma buruk bagi penerima; dan cenderung menciptakan
pelapisan sosial (kaya dan miskin) ketimbang menguranginya (Bahagijo,
2007). Selain itu, promosi kesejahteraan yang bertumpu pada negara tak
akan bersifat langgeng dan berkelanjutan. Agar promosi kesejahteraan
bersifat langgeng, perlu hadirnya masyarakat sipil. Kehadiran masyarakat
sipil yang kuat akan menjadi fondasi kuat bagi tumbuhnya daerah yang
mandiri, demokratis, inklusif, pluralis, dan sejahtera. Tanpa kehadiran
masyarakat sipil yang kuat, daerah budiman tidak akan langgeng. Tanpa
kehadiran masyarakat sipil yang kuat, dua wajah otonomi daerah adalah
keniscayaan.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/26/Opini/krn.20090826.174913.id.html