Air Mata Seorang Presiden
Seusai pemilu,betapapun banyak kelemahan dan kelalaiannya, kita tetap
menerima dan menyaksikan hasil kemenangan, yang kemudian dirayakan,
dengan syukuran, makan bersama, ucapan selamat, tawa, kepuasan, dan
harapan.
Menjelang pelantikan dan pengumuman kabinet, Oktober mendatang, kita pun
mafhum, segelintir elite genit dan gelisah, membayangkan dan
mengondisikan agar dia mendapat telepon dari Istana. Sebagaimana
pelajaran sebelumnya, kita bisa mengerti bila kemudian sebagian elite
yang akhirnya diumumkan namanya dalam jajaran kabinet mendatang segera
bereaksi spontan penuh gembira.
Ada yang segera sujud syukur,toast bersama, sibuk terima selamat,
bertelepon dan jabat tangan, atau langsung pesan tumpeng untuk
selamatan. Jabatan,juga kekuasaan, perlu dirayakan. Perlu disyukuri,
disambut gembira dan bahagia. Inilah tradisi kekuasaan politik di negeri
kita belakangan ini.
Sebuah tradisi yang sebenarnya tidak berdasar pada riwayat kekuasaan
yang ideal, yang diisi ambisi pengabdian, dedikasi,dan etos pelayanan
publik sebagaimana sejarah Islam mengajarkan, bagaimana para sahabat
justru berebut menolak jabatan khalifah yang ditinggal Nabi seusai
wafatnya.
Ketika mayoritas besar tak tertahankan, mengamanatkan tanggung jawab dan
kekuasaan itu, para sahabat yang kita kenal dengan Khulafauur
Rasyidinitu tidak bergembira. Tidak syukuran, minum, dan makan bersama
atau menerima salam,karangan bunga, bahkan bingkisan berisi pesan.Mereka
justru terdiam,sedih,bahkan berurai air mata: betapa berat tugas yang
Tuhan berikan. Air mata itu tentu berlapis makna adanya.
Bukan hanya, pertama, beban berat seorang pemimpin: memikul nasib, masa
depan, kesejahteraan, keamanan hingga kejelasan jati diri umat (bangsa)
yang dipimpinnya. Terlebih di masa mutakhir ini, ketika tantangan,
tekanan, dan persaingan––di tingkat regional maupun global—begitu
ketat,bahkan kejam.
Air mata itu juga meleleh karena, kedua, seorang pemimpin terpilih yang
tidak jumawa menyadari, betapa dirinya memiliki masih begitu banyak
keterbatasan, kelemahan, dan kekurangan untuk dapat menunaikan tugas
berat yang dibebankan itu.
Kesadaran eksistensial seorang pemimpin yang berwawasan, visioner, dan
bijak akan mafhum bahwa seorang manusia, dalam semua kapasitas dan
potensi-potensi alamiah dan kebudayaan yang dimilikinya, tetaplah tidak
cukup menjadi jaminan keberhasilan sebuah usaha besar dari satu bangsa.
Dalam pengertian ini, kampanye beserta sejuta janji yang dilontarkannya
dapat dipahami tidak lebih dari sekadar retorika atau verbalisme yang
berhenti pada ilusi atau mimpi-mimpi kecil di bawah sadar konstituennya.
Kesadaran ini pula yang menggiring kita pada alasan ketiga tangis
seorang presiden atau pemimpin di masa modern ini: betapa sebenarnya
miskin sekali bangsa yang dia wakili dalam melahirkan pemimpin-pemimpin
yang andal.
Karena itu, orang seperti dia, dengan segala kekurangannya,masih tetap
dipilih dan dipercaya. Ini menciptakan tuntutan: sebagai pemimpin dia
akan menemui kegagalan pertama, ketika dia harus terpilih lagi di saat
seharusnya tanggung jawab itu tunai dia tuntaskan. Mungkin kita
menemukan pejabat terpilih yang menangis saat ini.Tentu karena bahagia.
Bukan lantaran keprihatinan yang tersembunyi dari sikap zuhud di atas.
Ketidak mampuan seorang pemimpin bersikap zuhud, asketis dalam beberapa
segi, hanya menunjukkan keringnya daya apresiasi kita pada kualitas,
pada kuatnya integritas dan dalamnya kepribadian. Sebuah fenomena yang
mestinya memberi makna keempat dari air mata seorang presiden, penguasa
pilihan di mana pun.
Selebrasi Kekuasaan
Namun, jujur saja, kita–– bersama seluruh pranata, sistem,mekanisme atau
proses politik yang ada, berlangsung, dan kita selebrasi bersama––memang
tidak memiliki peluang untuk melahirkan pemimpin zuhud seperti
terkategori di atas.Jabatan dan kekuasaan dalam sistem dan kultur
politik seperti ini adalah sebuah pencapaian yang harus dibela dan
diperjuangkan habis-habisan, tidak hanya dengan seluruh harta, tapi
bahkan–– bila perlu—dengan jiwa satusatunya.
Tidak aneh karena sistem dan kultur politik semacam ini memang tidak
diturunkan dari tradisi ketimuran atau Islam misalnya.Dia semata adopsi
bahkan jiplakan murahan dari apa yang ada dan berlangsung–– secara ideal
dalam kognisi kita—di belahan Barat dunia. Belahan yang notabene
memiliki sejarah, latar alam, budaya, historisitas, watak hingga reaksi
sensoris- fisikal yang berbeda dengan mereka yang berada di Timur.
Pemilahan diametral atau oposisional ini memang ditentang oleh pemikiran
“modern”. Tentu saja dengan alasan kuat, pemilahan itu akan mempersulit
penetrasi atau diseminasi kultur oksidental secara global.Kesulitan
penetrasi ini juga pada akhirnya menghambat upaya dominasi atau dalam
arti sempit––antara lain—eksploitasi sumber daya dari negeri-negeri di
luar dunia Barat.
Ini logika sederhana yang sejak lebih seabad lalu sudah dimengerti.
Hanya kita, manusia masa kini, yang tak mau mengerti. Maka jadilah,
peraihan kekuasaan adalah sebuah kemenangan “besar” yang pantas, lumrah,
bahkan wajib diselebrasi.Tanpa kita sadari, pemahaman selebratif semacam
ini membawa implikasi: kekuasaan (politik) itu tidak didapat dari
akumulasi dukungan dari bawah (people) tapi melulu hasil pertarungan
antara para pemilik kuasa (elite).
Inilah sebuah logika yang mengakibatkan kekuasaan selalu berorientasi ke
atas secara vertikal,tidak ke bawah atau lebih tepatnya: memosisikan
diri sejajar secara horizontal bahkan dengan kaum jelata (poor). Bahwa
kekuasaan bukanlah pihak yang harus selalu dilayani (serviced by) oleh
rakyat pengikut, tapi justru adalah pihak yang mestinya melayani
(service for) kepentingan publik yang telah memberi amanat padanya.
Tak mengherankan bukan, jika program pemerintah, katakanlah BLT (Bantuan
Langsung Tunai) diposisikan sebagai hibah, hadiah atau generousity dari
presiden atau pemerintah kepada rakyatnya. Bukan sebagai sebuah
pelayanan karena sebenarnya uang yang diberikan adalah uang rakyat juga;
uang yang kembali kepada pemilik sebenarnya.
Unik dan menggelikannya, realitas ironis ini kini kita terima
bulat-bulat sebagai sebuah “kebenaran” modern atau setidaknya sebagai
sesuatu yang “seharusnya diterima”.Tak pernah kita memeriksa, dari mana
muasalnya akal atau logika semacam itu datang dan tersusun.
Mungkin karena kita malas berpikir ketimbang misalnya mengonsumsi begitu
saja alasanalasan yang disediakan literatur modern.Seperti kita dengan
santai mengonsumsi donat senilai 2.500 perak berharga 25.000 rupiah.
“That’s real,our today’s reality,bro!” tuntas seorang eksekutif muda
dengan espresso dan blackberry di genggamannya.
Hilangnya Roh Politik
Eksekutif muda itu tidak keliru. Mungkin tak salah berpikir. Sebagai
bagian dari generasi hi-tech dan cyber, dia tak mau ketinggalan
zamannya.Walau di beberapa bagian dirinya masih ada di masa lalu, entah
di Jawa, Bali, Makassar, atau Ambon,sebagaimana asal-usul kelahiran atau
orangtuanya.
Syukur pula,Tuhan—masa lalu itulah yang masih mengikat dia dengan sebuah
realitas tradisional kita yang masih mengandalkan pola hubungan
patron-client, relasi paternalistis secara vertikal. Ungkapan sang
eksekutif muda jadi tidak hanya keliru, bahkan legitimateberdasar pada
acuan yang paternalistis pada para elite, para pemimpinnya.
Ketika para pemimpin melihat dan mengapresiasi jabatan publik dalam
makna materialnya sebagai sebuah kekuasaan atas dunia material (secara
politis, ekonomis, sosial, dsb), logika yang sama tidak lagi menjadi
“kesalahan” bila dilakukan oleh publik. Bahkan dengan tingkat
penyimpangan yang lebih besar.
Legitimasi cara berpikir dan pola perilaku semacam ini, kita saksikan,
mendapatkan bukti serta dukungan yang kian luas. Kata pengabdian dan
pelayanan dalam term“jabatan” atau“ kekuasaan” semakin jauh panggang
dari arangnya. Lihatlah bagaimana para petinggi politik, dari puluhan
partai, organisasi (akademik, agama, massa hingga LSM) serentak
mendekati kubu pemenang seperti laron yang ingin memangsa panas
api/cahaya. Bahkan mereka yang semula bangga sebagai oposisi.
Bangga karena menunaikan obligasi politiknya sesuai dengan tuntutan
historis, normatif, dan ideologisnya: menjaga,membawa,dan membela
kepentingan publik yang memilihnya. Namun karena kekuasaan hanyalah
permainan di meja kaum elite, publik tinggal saja di belakang. Mereka
dibutuhkan bila pesta besar diselenggarakan. Kini saatnya petinggi
berbagi kuasa, berjatah-jatah fasilitas,mengeruk harta yang dikumpulkan
rakyat untuknya.
Di titik nadir ini, sebenarnya politik bukan hanya kehilangan
kesantunan,kehilangan ide dasarnya, tapi juga kehilangan roh, kehilangan
jati dirinya sendiri. Politik sudah mengalienasi diri dari referen
utamanya: rakyat dan sejarah, massa dan masa. Dalam situasi itu,dalam
situasi yang diikuti oleh elite-elite kecilnya itu, apa yang bisa
diharapkan oleh massa dan masa? Sebagian mengatakan: tak ada. Sebagian
lagi berkata: kita tunggu saja. Anda ada di jawaban yang mana?(*)
Radhar Panca Dahana
Budayawan
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/265435/
Air Mata Seorang Presiden
Written By gusdurian on Rabu, 26 Agustus 2009 | 10.49
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar