BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Potensi Filantropi Ramadan

Potensi Filantropi Ramadan

Written By gusdurian on Selasa, 25 Agustus 2009 | 08.15

Potensi Filantropi Ramadan
Oleh: Syamsul Arifin

*BANYAK *kalangan awam yang tidak mengetahui bahwa penyucian
(sakralisasi) terhadap Ramadan sebenarnya berlangsung jauh sebelum
datangnya Islam. Orang yang biasa membaca sejarah Islam tentu mafhum
terhadap komunitas /mutahannifun /(penganut tradisi agama hanif/Ibrahim)
yang telah lama eksis di kalangan masyarakat Arab pra-Islam. Setiap
datangnya Ramadan, komunitas /mutahannifun/ memiliki tradisi melakukan
kontemplasi di Gua Hira' (nanti tradisi ini dilakukan Nabi Muhammad) dan
mendermakan sebagian hartanya untuk kaum miskin.

Begitu Islam datang, tradisi tersebut tetap terpelihara, tentu dengan
modifikasi. Aktivitas kontemplasi, misalnya, tidak lagi dilakukan di gua
tetapi diganti dengan iktikaf di masjid. Sementara itu, tradisi bederma
semakin dikukuhkan Islam melalui kewajiban mengeluarkan zakat fitrah
yang boleh dilakukan di awal puasa Ramadan, kendati waktu yang
diutamakan adalah beberapa saat datangnya Idul Fitri.

Tradisi yang diwariskan komunitas /mutahannifun/ tersebut memiliki pesan
moral yang kuat bahwa orientasi terpenting dari seluruh aktivitas pada
Ramadan bukan pada pahala, tetapi penguatan komitmen ketuhanan dan
kemanusiaan. Komitmen pertama terwujudkan dalam keseriusan melaksanakan
ibadah ritual yang bertolak dari rasa cinta sejati kepada Allah.

Perwujudan komitmen kedua adalah mengembangkan solidaritas antarmanusia
dengan cara mendermakan sebagian harta yang dimiliki. Untuk mewujudkan
komitmen kedua itu, antara lain, seseorang bisa memanfaatkan institusi
zakat. Sayang, institusi zakat belum termanfaatkan secara optimal oleh
umat Islam.

*Kewajiban Asasi*

Zakat merupakan salah satu kewajiban asasi yang harus ditunaikan orang
Islam, terutama yang berkecukupan. Kewajiban itu tidak bisa
ditawar-tawar. Dalam Alquran, kewajiban mengeluarkan zakat sering
disebut secara berurutan setelah kewajiban menjalankan salat. Dengan
logika seperti itu, Alquran sepertinya ingin menegaskan bahwa keislaman
seseorang belum sempurna kalau hanya mencukupkan pada kesalehan ritual
dan individual yang ditempuh melalui pelaksanaan salat, sedangkan
kewajiban sosialnya, seperti mengeluarkan zakat, dilupakan.

Dalam kehidupan kita sekarang, kealpaan mengeluarkan zakat memang tidak
akan pernah mendapatkan sanksi dari pihak mana pun, termasuk oleh
pemerintah. Zakat, tampaknya, lebih dipahami sebagai kewajiban privat
yang lebih menekankan pada kesukarelaan individual sebagaimana halnya
salat, puasa, dan haji sehingga tidak ada kewajiban bagi pihak lain
untuk memberikan sanksi. Semua sanksi yang terkait dengan pelanggaran
terhadap kewajiban agama itu sepenuhnya diserahkan pada otoritas Tuhan.

Situasi tersebut berbanding terbalik dengan sejarah Islam seperti pada
zaman Abu Bakar, khalifah pertama dalam Islam. Pada zaman khalifah yang
bergelar As Shiddiq itu, pernah terjadi peperangan yang disebut dengan
/hurub al riddah/, yakni peperangan melawan orang-orang yang dinilai
murtad. Orang-orang dinilai murtad bukan karena alasan teologis,
melainkan tidak menyerahkan zakat kepada pemerintah Madinah yang
dipimpin Abu Bakar.

Dengan mengesampingkan perdebatan menyusul tindakan Abu Bakar itu,
seperti terekam dalam buku kontroversial Farag Fouda, /Kebenaran yang
Hilang/ (2008), ada pelajaran moral yang bisa kita ambil. Zakat ternyata
lebih dari sekadar kewajiban privat yang hanya mengandalkan kesukarelaan
individual.

*Tidak Cukup Karitatif *

Jika cara pandang yang menempatkan zakat sebagai kewajiban privat tidak
lagi relevan dalam konteks zaman ini, lalu ke arah mana sebaiknya
pemahaman terhadap zakat dikembangkan? Kalau pada Alquran, sebenarnya
terdapat penjelasan yang demikian lugas terkait dengan posisi sosial zakat.

Secara lugas, Alquran menyebut zakat sebagai salah satu mekanisme yang
perlu dikembangkan untuk mewujudkan keadilan sosial (QS Al Hasyr: 7; QS
Adz Dzariyat: 19). Keadilan, sebagai dimensi moral utama di balik
kewajiban zakat, tidak mungkin terwujud bila hanya mengandalkan
kesukarelaan individual.

Cara pendistribusian zakat secara langsung dalam literatur pengelolaan
zakat disebut /charity/ (santunan). Karitas atau santunan memang tidak
bisa dipandang sebelah mata. Pada saat masyarakat semakin terjepit
dengan melambungnya harga kebutuhan bahan pokok (sembako), zakat yang
diberikan melalui mekanisme bantuan langsung tunai (BLT) akan menjadi
solusi walaupun hanya sesaat.

Hanya, karitas tidak pernah berdampak jangka panjang. Padahal, potensi
ekonomi zakat sungguh luar biasa. Terdapat data menarik dari Azyumardi
Azra, mantan rektor UIN Jakarta, yang mengutip hasil penelitian Public
Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) bahwa pada 2007 terdapat
potensi zakat (di luar infak, sedekah, dan wakaf) kepada masyarakat
muslim Indonesia sebesar Rp 19,3 triliun.

Kendati potensi zakat demikian besar, angka kemiskinan di Indonesia
masih tetap berkisar di angka 30 sampai 40 jutaan. Tentu kita harus
realistis, zakat bukan satu-satunya instrumen untuk mengurangi jumlah
orang miskin tersebut. Tetapi, tidak sedikit yang bisa dilakukan dengan
materi Rp 19,3 triliun tersebut. Setidaknya kita menuntaskan beberapa
aspek di antara sekian banyak aspek kemiskinan yang mendera masyarakat.
Misalnya, pendidikan sebagai salah satu aspek kemiskinan masyarakat.
Zakat berpotensi besar dijadikan sebagai salah satu alternatif sumber
pembiayaan pendidikan.

Pemikiran ke arah itu bisa diwujudkan jika pendekatan karitatif dalam
pengelolaan zakat ditinggalkan dan digantikan pendekatan filantropis,
yakni semangat kedermawanan yang diorientasikan pada pemberdayaan jangka
panjang dan dilakukan secara berkesinambungan. Pendekatan tersebut tidak
bisa dilakukan secara individual, tetapi perlu melibatkan berbagai
pranata sosial yang ada dalam masyarakat.

* /*) Prof Dr Syamsul Arifin MSi/ * /, guru besar dan Wadir Bidang
Akademik PPs Unmuh Malang/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: