BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » »

Written By gusdurian on Minggu, 20 September 2009 | 11.31

Teror Pasca-Noordin M Top



Oleh Andi Widjajanto

Akhirnya, Detasemen Khusus 88 berhasil menewaskan gembong teroris
Noordin M Top. Keberhasilan ini membuka berbagai skenario tentang
perkembangan jejaring teror di Indonesia. Skenario ini penting
dibangun untuk menentukan arah strategi kontrateror Indonesia.

Skenario terbaik yang bisa dibayangkan adalah tewasnya Noordin M Top
sekaligus menjadi akhir dari gerak jejaring teror di Indonesia. Semua
anggota jejaring diperkirakan akan mengalami proses demoralisasi.
Tidak ada anggota jejaring yang akan mampu menggantikan kepemimpinan
Noordin M Top. Jejaring teror di Indonesia tidak lagi mampu untuk
melakukan revitalisasi jejaring.

Namun, strategi kontrateror Indonesia harus dibangun untuk
mengantisipasi skenario terburuk. Skenario terburuk yang bisa dibangun
adalah terjadinya proses metamorfosis jejaring sehingga Indonesia akan
menghadapi ancaman teror dengan tingkat eskalasi lebih tinggi.

Balas dendam

Metamorfosis teror di Indonesia akan diawali suatu aksi retaliasi atas
kematian Noordin M Top. Aksi retaliasi ini merupakan balas dendam
sekaligus pembuktian bahwa jejaring tetap bisa bertahan tanpa
kehadiran Noordin.

Pengalaman Kolombia dalam penumpasan gembong-gembong teror
menunjukkan, aksi retaliasi ini biasanya tidak berwujud suatu serangan
teror dalam skala besar, tetapi lebih ditujukan terhadap individu-
individu yang dianggap paling bertanggung jawab atas tewasnya Noordin
M Top. Rencana Jatiasih juga menunjukkan bagaimana kelompok Noordin
berencana melakukan serangan Cikeas bukan karena Presiden Yudhoyono
memiliki ideologi politik yang mengancam mereka, tetapi karena
dianggap bertanggung jawab atas pelaksanaan eksekusi mati tiga pelaku
teror bom Bali I.

Aksi retaliasi ini sekaligus menjadi titik awal konsolidasi jejaring
teror. Pola retaliasi Tentara Republik Irlandia (IRA) menunjukkan,
saat melakukan retaliasi, jejaring teror akan menggunakan orang-orang
paling militan untuk melaksanakan serangan. Kemunculan semangat
militan baru ini akan menjadi landasan bagi jejaring teror untuk
melakukan revitalisasi jejaring.

Revitalisasi jejaring teror di Indonesia tampaknya akan sekaligus
menjadi kemunculan kelompok Al Qaeda Asia Tenggara. Dokumen Solo yang
ditemukan Densus 88 untuk pertama kali mengonfirmasi keberadaan
kelompok ini. Dalam dokumen itu, Noordin M Top, Syaifudin Zuhri, dan
Syahrir disebut sebagai pemimpin (qo’id) Tandzim Al Qaeda wilayah Asia
Tenggara.

Skenario buruk yang bisa diprediksikan muncul adalah Syaifudin Zuhri
dan Syahrir akan melanjutkan tandem kepemimpinan dengan cara
menjadikan Indonesia sebagai front kedua perlawanan Al Qaeda. Front
kedua ini dibutuhkan untuk mengalihkan konsentrasi gelar pasukan AS
yang saat ini memprioritaskan penghancuran front Al Qaeda di
Afganistan dan Pakistan barat.

Jika front kedua ini tercipta, Indonesia akan melihat suatu eskalasi
ancaman teror ke tingkat lebih tinggi. Karakter jejaring teror Noordin
M Top, yang selama ini mengandalkan perekrutan-perekrutan lokal dari
komunitas Jemaah Islamiyah maupun komunitas Negara Islam Indonesia
akan menguat menjadi jejaring teror transnasional. Jejaring teror
transnasional ini akan memperkokoh interaksi ad hoc yang sudah
tercipta antara front Indonesia-Moro-Pattani.

Sasaran

Kemungkinan terbentuknya jejaring teror transnasional di Indonesia
akan secara signifikan mengubah target serangan teror. Sebelumnya,
kelompok Noordin M Top melakukan serangan ke sasaran-sasaran biasa,
sasaran penting, dan sasaran yang berdampak besar. Karakter sasaran
ini dapat berubah dengan melihat pola serangan terorisme
internasional.

Dalam enam tahun terakhir, jejaring teroris transnasional cenderung
memilih fasilitas-fasilitas bisnis (58 persen) sebagai target serangan
utama. Namun, jejaring ini juga menyerang target-target militer dan
pemerintahan. Serangan jejaring teroris transnasional yang ditujukan
langsung ke fasilitas-fasilitas militer mengambil 1,8 persen kasus
dari semua populasi serangan teroris.

Serangan untuk fasilitas pemerintah dan diplomasi juga terjadi, yaitu
masing-masing 3,6 persen dan 7,5 persen.

Densus 88

Skenario penguatan jejaring teror di Indonesia harus diimbangi dengan
penguatan strategi kontrateror. Tewasnya Noordin M Top seharusnya
sudah dapat menepis segala bentuk keraguan tentang kemampuan Densus 88
untuk menggelar strategi kontrateror yang efektif. Untuk
mengantisipasi skenario terburuk metamorfosis jejaring teror pasca-
Noordin M Top dan sebagai penghargaan atas keberhasilan operasional
Densus 88, kapasitas Densus 88 harus diperkuat sehingga unit ini dapat
berperan sebagai penjuru implementasi strategi kontrateror di
Indonesia.

Penguatan peran Densus 88 sebagai penjuru harus disertai upaya untuk
mempertahankan tingkat kepercayaan publik terhadap Densus 88 yang saat
ini berada di tingkat sangat tinggi. Tingkat kepercayaan publik bisa
dipertahankan dengan memberi legitimasi politik bagi tiap gelar
operasional yang dilakukan Densus 88.

Legitimasi politik ini akan hilang jika pemerintah berusaha menerapkan
paradigma perang dan bukan paradigma pendekatan hukum sebagai landasan
operasional strategi kontrateror di Indonesia. Legitimasi ini akan
lenyap jika pemerintah berupaya merevisi UU Antiteror tahun 2003
dengan regulasi baru yang memiliki karakter otoritarian. Legitimasi
ini pasti pudar jika pemerintah berusaha membentuk badan antiteror
nasional yang memiliki kewenangan luas. Legitimasi ini pasti lenyap
jika pelaksanaan strategi kontrateror mencabut prinsip-prinsip
demokrasi dan hak asasi manusia.

Andi Widjajanto Dosen Pascasarjana Intelijen Strategis Universitas
Indonesia

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/18/04533512/teror.pasca-noordin.m.top
Share this article :

0 komentar: