Medis Ada, Estetis pun Tersedia
Rumah Sakit Dharmais menjadi proyek percontohan akupunktur medis di
Indonesia. Kini mulai mengembangkan terapi herbal.
AWALNYA tangan Ning Hasruty hanya kesemutan biasa. Tiga tahun ia
mendiamkan gejala ini. Lama-lama gangguan itu kian menyakitkan. Wanita
53 tahun itu pun sulit menggunakan tangan kanannya. Padahal, sebagai
perias, pekerjaannya sangat bergantung pada kelenturan jari-jari
tangan.
Saat berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Ning
didiagnosis terkena carpal tunnel syndrome. Satu saraf di pergelangan
tangannya tertekan oleh jaringan ikat. Dokter meminta kesediaannya
dioperasi untuk melancarkan saraf yang tertekan itu.
Mendengar kata operasi, ibu tiga anak ini gentar. Ia mencari
alternatif. Ning disarankan menempuh pengobatan alternatif tusuk
jarum. Awalnya ia ragu karena menganggap terapi itu tergolong tindakan
nonmedis. ”Takut jarumnya tidak higienis, nanti malah tertular
(penyakit lain),” katanya.
Belakangan ia tahu akupunktur adalah bagian dari ilmu kedokteran. Maka
Ning pun berobat ke bagian akupunktur medis di Rumah Sakit Kanker
Dharmais, Jakarta Barat. Ia ditangani dr Aldrin Neilwan, Sekretaris
Kolegium Akupunktur Indonesia.
Di tangan Aldrin, Ning empat kali menjalani terapi. Jarum ditancapkan
ke dua pergelangan tangannya—hanya setengah jam tiap kali datang. Satu
seri pengobatan berlangsung 10-12 kali. Rata-rata seminggu dua kali.
Jadi, seluruh proses selesai dalam lima-enam pekan. ”Alhamdulillah,
sekarang sudah membaik,” kata Ning gembira.
Rumah Sakit Kanker Dharmais memang sudah membuka layanan akupunktur
sejak 2003, setelah Menteri Kesehatan meneken surat keputusan yang
menunjuk empat rumah sakit sebagai pilot project pengembangan terapi
komplementer—salah satunya Dharmais. Diresmikan pada 30 Oktober 1993,
rumah sakit ini awalnya dikelola Yayasan Dharmais—milik mantan
presiden Soeharto. Setahun kemudian, pengelolaan rumah sakit ini
diserahkan kepada pemerintah.
Hingga sekarang, terapi kedokteran komplementer yang berjalan di
Dharmais adalah akupunktur medis. Sedangkan pengobatan herbal masih
dikembangkan. Dokter yang melayani akupunktur medis di situ hanyalah
Aldrin. Ia satu dari 80 dokter spesialis akupunktur medis di
Indonesia.
Ruang praktek Aldrin dilengkapi elektrostimulator dan kabel-kabel yang
menjulur. Kabel-kabel positif dan negatif itu dipakai untuk
mengalirkan listrik ke jarum yang menempel di tubuh pasien.
Meski dilabeli kedokteran komplementer, terapi akupunktur di Dharmais
tak hanya berfungsi sebagai komplemen (penunjang), tapi juga sebagai
alternatif. Ia disebut terapi komplementer jika dilaksanakan
berbarengan dengan pengobatan konvensional. Tujuannya: memaksimalkan
hasil dari pengobatan konvensional. Misalnya, untuk pasien kanker yang
menjalani kemoterapi, akupunktur mengurangi efek samping kemo—lemas,
nyeri, mual, dan muntah—serta meningkatkan daya tahan tubuh sehingga
pengobatan lebih efektif.
Akupunktur dikategorikan terapi alternatif jika pasien hanya menjalani
tusuk jarum, tanpa pengobatan konvensional. Misalnya, ada pasien
kanker yang karena usia dan kondisi fisiknya tak bisa—atau tak mau—
menjalani operasi ataupun kemoterapi. Maka, ketika ia memilih
akupunktur, itu dikategorikan terapi alternatif.
Karena judulnya alternatif, hasilnya tidak sejelas jika pasien
menjalani operasi ataupun kemo. Akupunktur hanya bersifat paliatif,
yakni meningkatkan kualitas hidup pasien, menghilangkan nyeri dan mual
akibat kanker, serta meningkatkan stamina—bukan secara langsung
menyembuhkan.
Dokter Aldrin mengatakan pilihan pengobatan ada di tangan pasien.
Dokter hanya memberikan penjelasan tentang jenis-jenis terapi.
Selebihnya adalah hak pasien untuk memilih apakah akan menjalani
akupunktur sebagai komplementer atau alternatif.
Selain sebagai pengobatan (baik penunjang maupun alternatif),
akupunktur bisa untuk tujuan pencegahan. Misalnya, pasien stroke
menjalani akupunktur untuk memperbaiki fungsi-fungsi organnya setelah
operasi atau pengobatan konvensional.
Aldrin menyatakan peran akupunktur sangat besar dalam mencegah
penyakit. Dalam ilmu akupunktur, banyak titik yang berfungsi
meningkatkan daya tahan pasien sehingga ia tak mudah dihampiri
penyakit tertentu. ”Akupunktur jauh lebih efektif hasilnya,” kata
dokter alumnus Universitas Kristen Indonesia yang mengambil magister
di bidang rumah sakit pada 1996 dan biomedis pada 2007 di Universitas
Indonesia itu.
Banyak orang datang ke Dharmais untuk tujuan preventif. Aldrin bahkan
tak jarang menerima pasien yang sekadar ingin berkonsultasi atau
menjalani terapi menjaga kesehatan. Rumah sakit ini menggratiskan
biaya konsultasi karena menganggapnya bagian dari memperkenalkan
akupunktur kepada masyarakat.
Selama ini, kata Aldrin, pasien akupunktur datang ke Dharmais karena
keinginan sendiri. Ada pula yang dirujuk oleh dokter spesialis lain.
Biasanya yang dirujuk adalah mereka yang secara fisik dan usia sudah
tak sanggup menjalani pengobatan konvensional.
Pasien akupunktur Dharmais datang dari mana-mana, termasuk Malaysia.
Pasien dari negeri tetangga itu ingin menjalani terapi tusuk jarum
yang dikerjakan dokter. Sebab, kata Aldrin, menurut orang itu,
akupunktur di Malaysia kebanyakan ditangani nondokter.
Menurut catatan Aldrin, pasien akupunktur di Dharmais rata-rata
sepuluh orang per hari. Secara umum, ada dua kelompok pasien
akupunktur di Dharmais: karena penyakit dan estetis. Karena Dharmais
adalah rumah sakit spesialis kanker, kebanyakan pasiennya pun
penderita kanker—meskipun banyak juga yang bukan kanker, seperti
stroke, hipertensi, atau infertil. Sedangkan pasien yang datang karena
keperluan estetis antara lain untuk urusan kecantikan dan menurunkan
berat badan.
Di sejumlah rumah sakit, akupunktur medis tak mudah disetujui dokter
spesialis lain. Tapi tidak demikian di Dharmais. Menurut Aldrin,
sejauh ini tidak ada tentangan apa pun dari dokter lain. Bahkan mereka
justru merujuk pasien-pasien ke akupunktur medis agar hasil
pengobatannya lebih baik.
Guna mengembangkan ilmu akupunktur, empat universitas di Indonesia
bekerja sama dengan Beijing University of Chinese Medicine. Aldrin
bahkan sudah dua kali diundang ke universitas itu untuk mengembangkan
wawasan pengobatan komplementer ini. Demi kesehatan, ke Cina pun ilmu
apa pun memang layak dikejar.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/08/10/LK/mbm.20090810.LK131049.id.html
Medis Ada, Estetis pun Tersedia
Written By gusdurian on Senin, 10 Agustus 2009 | 09.21
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar