BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Obituari : Setelah Juz 30

Obituari : Setelah Juz 30

Written By gusdurian on Senin, 10 Agustus 2009 | 09.24

Setelah Juz 30
Rendra menjalani masa tuanya dengan menghindari perangkap kenangan
sukses masa lalu. Sangat tertarik pada dunia maritim.

TIAP pagi ia berjalan perlahan mengitari kompleks rumahnya yang luas
dan rindang di Depok, Jawa Barat. Bersama anak-anak Bengkel Teater, ia
suka menjelajahi pekarangan seluas tiga hektare itu, seraya mengamati
aneka tanaman, mengawasi kambing ettawa kesayangannya, lalu mengajak
anak-anak memasak. ”Dia hobi sekali masak nasi goreng,” kata Arifin,
asistennya asal Salatiga, selama sepuluh tahun terakhir.

Willibrordus Surendra Broto Rendra di atas 70 tahun tak lagi sarat
dengan puisi dan teater. Memang, sesekali ia menghabiskan berjam-jam
di atas bangku favoritnya yang terletak di bangunan kayu yang
menghadap ke utara di kompleks itu, untuk menulis dan membaca. Tapi ia
bukan lagi Rendra perkasa di panggung teater dan di ruangan latihan
silat: ia satu dari 41 anggota nomor satu persatuan gerak badan Bangau
Putih.

Dengan rambutnya yang memutih, menyentuh pundak, dan menggelombang
itu, Rendra masih tampak gagah, dan sepertinya mencoba menghindar dari
perangkap kenangan sukses masa lalu. Sedikit sekali ia bercerita
tentang dunia pentasnya yang mempesona pada 1970-an dan 1980-an,
seperti Lysistrata, Oedipus, atau Barzanji.

Rendra 70-an tahun bukanlah kakek yang suka bercerita tentang
kegagahan dan kepahlawanan masa mudanya. Kendati semua orang tahu,
misalnya, adalah melalui Rendra kita menyaksikan ironi yang menusuk
dalam pertunjukannya pada 1987 di Jakarta. Oedipus Sang Raja berbicara
tentang ketidakberdayaan manusia menghadapi takdirnya. Oedipus, yang
mengusut kasus pembunuhan ayahnya itu, akhirnya tahu: sang pembunuh
adalah dirinya sendiri—seperti yang diramalkan.

Rendra 70-an tahun adalah seorang kakek yang sibuk. Ia tak kenal bosan
mengeksplorasi aneka topik: dari berita aktual, sejarah, sains, sampai
dunia maritim—yang paling digandrunginya belakangan ini. ”Dia suka
bicara tentang bagaimana mengembalikan semangat maritim bangsa ini,
dunia yang sekarang kita abaikan,” tutur Rosihan Anwar, wartawan
senior, kolega Rendra di Akademi Jakarta.

Rendra juga suka membandingkan negara maritim yang egaliter dengan
negara agraris yang feodal seperti Mataram. Adakah ini semua merupakan
kompensasi atas puisi dan teaternya yang tak semencorong dulu? Yang
jelas, Rendra adalah sosok seperti ungkapan yang sering dipakai orang
Betawi: gak ade matinye.

Manakala Soeharto terpaksa turun takhta pada 1998, Rendra, yang sajak-
sajaknya tak lagi liris dan lebih menyerupai pernyataan politik yang
tak lagi tabu itu, tidak ikut tenggelam. Ia tetap sering diundang ke
daerah untuk memberikan ceramah, yang topiknya tidak melulu tentang
kesusastraan.

Rendra bukan anak muda lagi. Ginjalnya mengalami gangguan, ”Kondisi
ini karena Mas Willy tidak suka minum air putih,” kata Arifin,
asistennya. Pada 2003 ia menjalani operasi pemasangan cincin di
jantungnya. ”Mas Willy menduga penyakitnya ini karena kualat,” kata
lelaki yang pernah bekerja di Taman Budaya Surakarta sebelum bergabung
dengan Rendra itu. ”Aku pernah janji enggak minum alkohol, eh..., aku
langgar,” kata Rendra waktu itu. Penyair yang dijuluki Si Burung Merak
ini mengaku melanggar janjinya ketika diundang ke Skandinavia dan
Jerman.

Pulang dari Jerman ia menderita kolik (sakit perut hebat), sesuatu
yang oleh dokter kemudian dianggap sebagai serangan jantung. Ia pernah
bilang ingin hidup sampai berusia 100 tahun. ”Tadinya ia ingin berobat
ke Singapura, tapi enggak punya uang,” kata Edi Haryono, sahabat
sekaligus pengurus Bengkel Teater. Dalam kondisi seperti itu pun
Rendra masih memenuhi undangan ke daerah-daerah.

Rendra wafat pada usia 74. Dua tahun sebelumnya ia pernah menelepon
mantan istri keduanya, Sitoresmi, dan minta dibacakan Al-Quran Juz 30
yang berisi ayat-ayat tentang kematian. Ya, Rendra bukan Chairil Anwar
atau novelis Jepang Yukio Mishima, yang mati muda di pucuk
pencapaiannya. Ia mengalami ototnya yang mulai kendur dan napasnya
yang cepat memburu. Seperti Oedipus yang tak bisa melawan takdir, ia
pun menjadi tua lalu meninggalkan kita.

Idrus F. Shahab, Sita Aquadini

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/08/10/OBI/mbm.20090810.OBI131102.id.html

Petai Cina untuk Bengkel Teater
Tanpa Rendra, apakah Bengkel Teater yang telah berusia 42 tahun bakal
bertahan? Dulu, ia digerakkan oleh tenaga mimpi.

RENCANA pentas itu sudah di ujung pekan. Tiket kereta Yogyakarta-
Jakarta telah mereka genggam. Promosi dari mulut W.S. Rendra telah
pula tersebar ke mana-mana: ”Sebentar lagi Bengkel Teater mementaskan
sebuah eksperimen teater!” Tapi uang saku dan dana untuk membeli
sejumlah properti pertunjukan Bip Bop di Balai Budaya, Maret 1968, itu
masih belum mereka dapatkan.

Rendra pusing tujuh keliling. Dari mana memperoleh uang yang tak
sedikit itu? Sang penyelamat tiba-tiba datang: Chaerul Umam. ”Dia
sedang punya duit waktu itu,” ucap Rendra dalam buku Rendra dan Teater
Modern Indonesia (2000). ”Dia menggadaikan sepeda dan kalau tak salah
mencuri perhiasan ibunya!”

Tak dinyana, eksperimen teater yang dimodali dari ”uang perhiasan” itu
kemudian mengguncang teater Indonesia. Bip Bop dibicarakan hampir
sepanjang tahun. Goenawan Mohamad menamainya sebagai eksperimen ”mini
kata”. Arifin C. Noer menyebutnya ”teater primitif yang mengembalikan
teater pada kemurniannya dan membebaskannya dari tirani kesusastraan.”

Periode awal Bengkel Teater dalam banyak hal memang lebih banyak
dihidupi dari hasil ”improvisasi” para anggotanya. Didirikan sepulang
dari Amerika pada 1967, Bengkel Teater, yang bermarkas di
Ketanggungan, Yogyakarta, pada mulanya menggantungkan denyutnya dari
honor tulisan Rendra di pelbagai media. ”Ia juga pernah menang lomba
iklan produk susu, honornya dipakai untuk tiga pentas naskah Bertolt
Brecht,” ujar Chaerul Umam, Jumat lalu.

Sang Burung Merak pun membiayai latihan dan pertunjukan dari honor
menulis di majalah mingguan Star Weekly ketika membentuk Studi Grup
Teater Yogya, cikal bakal Bengkel Teater, pada 1961. Studi Grup di
rumah Rendra di Sawojajar ini beranggotakan antara lain Arifin C.
Noer, Deddy Soetomo, Mochtar Hadi, dan Suparto Tegal. ”Waktu itu
hampir setiap hari kami latihan, tak kurang dari empat bulan untuk
satu pementasan,” ujar Deddy Soetomo.

Almarhum Arifin C. Noer dalam tulisan Rendra dan Saya menamai kelima
anggota Studi Grup itu sebagai ”Pandawa Kacang”. Ini bukan lantaran
mereka sama-sama kurus, tapi karena selama beberapa hari mereka hanya
makan kacang tanah. Penyebabnya ternyata Rendra menghabiskan honor
Star Weekly untuk memborong durian satu becak. Dua minggu setelah aksi
borong itu, uang Rendra ludes. ”Kreativitas pertama kami: menghabiskan
pepaya di halaman. Setelah itu kami memutuskan makan kacang tanah
rebus selama beberapa hari,” tulis Arifin. Hasilnya? Rendra dan Deddy
Soetomo mencret.

Improvisasi untuk mempertahankan keberlangsungan bermain teater itu
terus mereka lakukan di tengah belum lazimnya sponsor membiayai
produksi kesenian saat itu. Jika uang habis, tak ada cara lain selain
mencari segala akal agar tetap makan dan berkesenian. ”Saat itu kami
berteater hanya digerakkan oleh tenaga mimpi, mimpi terus
berkesenian,” tulis Arifin.

Mamang, panggilan akrab Umam, menyebut ”improvisasi” paling favorit
anggota Bengkel Teater: menggadaikan barang. Mamang, yang dipercaya
sebagai ”tukang lego” di kelompok teater ini, misalnya, pernah
menggadaikan mesin jahit milik Sunarti, istri Rendra. ”Ya, memang buat
apa markas teater memiliki mesin jahit? Lebih baik digadaikan saja,”
ujarnya sembari terkekeh.

Ia juga bercerita suatu kali D.A. Peransi, salah satu pendiri Institut
Kesenian Jakarta, mampir ke Bengkel. Rupanya celana Peransi tertinggal
di Ketanggungan. Beberapa minggu kemudian Peransi menelepon,
menanyakan celananya yang tertinggal. Sang tukang lego itu pun
menjawab santai, ”Sudah dijual.”

Soal perhiasan sang ibu, sutradara film Ketika Cinta Bertasbih itu
meluruskan cerita Rendra. Menurut Umam, cincin berlian yang ia jual
itu bukan hasil curian, tapi pemberian ibunya. ”Waktu itu saya diledek
Rendra: ngapain laki-laki bercincin? Ia terus mem-provokasi saya agar
menjual cincin itu. Ya sudahlah, saya jual,” Mamang kembali tertawa.

Saat itu Mamang terhitung anggota baru Bengkel Teater. Jumlah mereka
baru sepuluh orang. Mereka antara lain Bakdi Soemanto, Moorti
Poernomo, Azwar A.N., Sunarti, Putu Wijaya, Chaerul Umam, Amak Baljun,
dan Syu’bah Asa. Sebagai anggota baru, Mamang sangat mengagumi Rendra,
dan ia memiliki harapan besar bisa tampil di beberapa drama Rendra.
Mamang, yang bergabung di Bengkel hingga awal 1972, memang kemudian
bermain dalam pertunjukan Oedipus Sang Raja hingga Kasidah Barzanji.

Dramawan Putu Wijaya menceritakan betapa senangnya tampil dalam
pementasan pertama Bengkel di Gedung Bank Tabungan Negara Yogyakarta.
Di gedung itu, kata Putu, ”Kami pernah dilempari batu karena pentas
kami dinilai tak sesuai dengan keinginan penonton, tapi kami gembira.”

Protes yang sama terjadi ketika mereka menyuguhkan Bip Bop di Jakarta.
Tak ingin menyerah pada kehendak penonton, Rendra pun memasang poster
tantangan, ”Tiga belas menantang kota”. Tiga belas yang dimaksud
adalah jumlah anggota Bengkel yang main saat itu. Tantangan dilayani.
Mereka pun berdiskusi dengan sejumlah ulama dan ibu-ibu berpikiran
konservatif. Hasilnya, kata Rendra, pementasan mereka berikutnya
justru penuh penonton.

Rekor penonton terbesar Bengkel Teater terjadi ketika mereka
mengetengahkan repertoar Kasidah Barzanji pada 1972. ”Saat itu ada
pemain yang bisa beli becak, sawah, ternak ayam. Saya sendiri beli
tanah,” kata Rendra.

Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pun mengundang Bengkel mementaskan
Oedipus Sang Raja di Taman Ismail Marzuki. Sukses. Pertunjukan itu
menjadi awal pesatnya pentas teater di TIM. ”Itulah saat teater
tradisi dan modern mulai berhubungan. Dan Rendra menjadi orang pertama
yang dengan sadar membawa teater tradisi Indonesia,” kata Putu.

Periode emas Bengkel di Ketanggungan kemudian berpindah ke Jakarta.
Dimulai dari pentas Kisah Perjuangan Suku Naga pada 1975 dan
Panembahan Reso (1986). Drama Panembahan Reso ini adalah pementasan
istimewa karena Rendra muncul lagi setelah beberapa tahun dipersulit
geraknya oleh pemerintah Orde Baru. Selain itu, durasinya yang
mencapai lebih dari tujuh jam membuat ini pementasan drama kontemporer
terpanjang di Indonesia. Isi ceritanya tak jauh dari soal intrik
istana, perebutan kekuasaan dan takhta, yang jalan ceritanya sedikit
mengingatkan kita pada plot Hamlet dan Macbeth (dua tragedi karya
William Shakespeare). Rendra dengan cemerlang dan anggun berperan
sebagai Reso, yang pada akhirnya berhasil setapak demi setapak
menyerobot posisi kekuasaan, sekaligus meniduri istri raja. Sedangkan
sang Raja diperankan oleh Adi Kurdi, yang memainkan tokoh ini dengan
intens (hingga pada pertunjukan itu suaranya habis total).

Begitu istimewanya naskah drama ini, banyak sekali yang berminat
membacanya seperti sebuah naskah film. ”Saya selalu mencipta setiap
babak dan meminta anak-anak Bengkel membacakannya dulu,” kata Rendra
kepada Tempo saat itu. ”Kalaupun terasa bagus saat kita membaca dalam
hati, belum tentu bagus ketika terdengar di atas panggung.” Rendra
akan mendengarkan intonasi dan kekuatan dialog naskah dramanya dari
draf awal pembacaan naskahnya. ”Jika kalimat saya terasa tidak
bertenaga, saya akan mengubahnya,” katanya.

Empat tahun silam, Bengkel Teater mementaskan Sobrat. Tapi kegagahan
Bengkel Teater terasa mulai sirna. Tak rutinnya pementasan menyebabkan
tungku dapur kelompok ini perlahan meredup.

Kepindahan Bengkel ke Cipayung, Citayam, Depok, ternyata membuat biaya
transportasi menuju panggung-panggung seni di Jakarta kian mahal. Luas
tanah Rendra dan Bengkel hingga tiga hektare mengakibatkan
membengkaknya biaya operasional kelompok teater ini.

Tak mengherankan jika sejumlah ”kreativitas” yang pernah ditempuh
dalam periode Sawojajar dan Ketanggungan kembali berulang. Untuk
mengisi area Bengkel yang luas, misalnya, Rendra bersedia membaca
puisi dengan imbalan hewan peliharaan. Pada 1993, misalnya, ketika
pencekalan terhadapnya dicabut, ia tampil di Universitas Islam
Bandung. ”Rendra hanya minta dibayar sepasang domba dan pohon petai
cina untuk ditanam di Citayam,” kata Harlan M. Fachra, mantan Ketua
Forum Aktivis Mahasiswa Unisba, mengenang.

Akankah Bengkel Teater tetap bertahan sepeninggal Rendra? Ade Jauhari,
anggota Forum Aktivis Mahasiswa Unisba, yang datang melayat di
Citayam, berharap Bengkel Teater tak surut. Ia ingin Bengkel seperti
pohon petai yang mereka berikan dulu: telah menjulang tinggi kini.

Yos Rizal S., Nunuy Nurhayati, Ahmad Taufik

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/08/10/OBI/mbm.20090810.OBI131103.id.html
Share this article :

0 komentar: