Strategi Mengefektifkan Pemerintahan
Hasil Pilpres 8 Juli 2009 luar biasa.Kendatipun pasangan capres dan
cawapres SBY-Boediono––selama kampanye pilpres––dituduh tidak
perform,dilecehkan, dan dizalimi lawanlawan politiknya, ternyata 60%
rakyat pemilik kedaulatan memilih pasangan itu menjadi Presiden dan
Wakil Presiden (Wapres) RI 2009–2014.
Pasangan itu dituduh penganut neoliberalisme dan antek kapitalis Amerika
Serikat, tidak berjasa dalam mendamaikan Aceh, lamban, peragu, dan tidak
tegas dalam pengambilan keputusan, Jawa sentris tidak berwawasan
Nusantara, istri-istrinya kurang Islami karena tidak berjilbab. Bahkan
Boediono dikatakan berkedok beristrikan seorang Islam, padahal Katolik.
Namun sebagian besar pemilih di 28 provinsi memberikan kepercayaan bahwa
Indonesia akan lebih maju, sejahtera,adil,dan damai di bawah
kepemimpinan pasangan itu. Menyikapi kemenangan SBYBoediono tersebut
banyak harapan telah disuarakan di berbagai media massa.Harapan tersebut
tentu saja menjadi masukan berharga bagi presiden terpilih dalam
menyusun kabinet yang akan datang.
Pertama, SBY hendaknya melakukan pembagian kekuasaan (power sharing)
yang proporsional dengan memilih menteri-menteri, utamanya dari
partai-partai politik (parpol) anggota koalisi,termasuk dari 19 parpol
yang tidak memenuhi electoral threshold. Kedua, SBY diharapkan
mempertimbangkan keikutsertaan kader Partai Golkar dalam kabinetnya,
khususnya yang dari kubu yang siap berkoalisi dengan kubu SBY-Boediono.
Ketiga, Presiden PKS Tifatul Sembiring seusai menemui Kedubes China di
Jakarta (15 Juli 2009) berpendapat: “Jangan berselancar di perjuangan
orang lain.PDIP dan Golkar sebaiknya menjadi oposisi untuk checks and
balances.Karena dalam pemerintahan mendatang perlu keseimbangan antara
eksekutif dan legislatif.” Sejalan dengan pendapat itu,Ketua DPP PKS
Zulkieflimansyah di Jakarta (16/7) meminta presiden terpilih tidak
memasukkan kader Golkar dalam kabinet yang akan dibentuk.
Keempat, kalangan independen mengharapkan kabinet yang akan datang
menjadi zakenkabinet, utamanya terdiri atas kalangan profesional.
Kelima, dalam diskusi “Menghitung Jatah Kabinet” di Jakarta (16/7),Ketua
DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengemukakan: “Pada masa kedua
pemerintahannya, SBY menginginkan terbentuknya kabinet yang lebih kuat
dan efektif dalam bekerja.”
Koalisi Rapuh
Bagaimana SBY menyikapi berbagai harapan dan keinginan tersebut?
Jawabannya tergantung pada pertimbangan apa yang menjadi pilihan
SBY.Apakah dia akan memberi balas jasa kepada Tim Sukses dari Partai
Demokrat,PKS, PAN,PPP, PKB dan 19 parpol lainnya dengan mendistribusi
jabatan menteri secara proporsional?
Atau lebih mengutamakan efektivitas pemerintahan yang akan datang demi
terwujudnya kemajuan, kesejahteraan, perlindungan hukum, keadilan, dan
kemakmuran sebesar- besarnya bagi rakyat banyak. Jika dianalisis, tiap
pilihan itu selain mengandung segi positif, juga memiliki kelemahan.
Segi positif pilihan pertama,dengan power sharing yang proporsional
antara partai pendukung kubu SBY-Boediono terwujud kepuasan kelompok.
Jerih payah tim sukses parpol pendukung dihargai optimal.
Kelemahannya, meskipun meraih 56,08% dari 560 kursi di DPR terdiri atas
Partai Demokrat (26,79%), PKS (10,18%), PAN (7,68%), PPP (6,61%), dan
PKB (4,82%) dan 60% (hasil quickcount) suara dalam pilpres, koalisi
tersebut dapat dinilai sebagai koalisi rapuh.Kenapa? Pertama, kelahiran
koalisi itu tidak direncanakan sejak awal. Segera setelah KPU
mengumumkan hasil pemilu legislatif (9 Mei 2009) dan Partai Demokrat
meraih suara terbanyak (20,85%).
Capres SBY mengajak Partai Golkar berkoalisi. Ketua Umum Partai Golkar
Jusuf Kalla menolak ajakan itu karena capres SBY tidak memilih Jusuf
Kalla sebagai cawapres, tetapi kader Golkar yang lain. Kemudian, capres
SBY ––lewat Hatta Rajasa–– mengajak PDIP membangun koalisi PD dan
PDIP.Ajakan itu juga ditolak karena Ketua Umum PDIP Megawati berencana
menjadi capres.
Kedua, koalisi lima partai tersebut tidak dibangun berdasar ideologi dan
platform yang sama sehingga pemerintahan yang ditopang koalisi seperti
itu sarat dengan konflik internal yang lebih mengutamakan kepentingan
partai dan kelompok. Ketiga,interaksi internal pemerintah yang ditopang
oleh koalisi rapuh semacam itu diprediksi masih akan membuka peluang––
meminjam istilah Kepala BIN Sjamsir Siregar––beroperasinya
menterimenteri sontoloyo.
Dalam sidang kabinet mendukung kebijakan Presiden, di DPR partainya
bersuara oposan. Jika pilihan SBY adalah mengutamakan keefektifan
pemerintahan yang akan datang,kelemahannya adalah mengecewakan dan
membuat marah sebagian dari 24 parpol pendukung. Sementara kekuatan
pilihan tersebut akan mendapat dukungan dari rakyat banyak.
Strategi Efektif
Langkah-langkah apa yang patut dipertimbangkan Presiden terpilih jika
strategi pilihannya adalah mengutamakan pemerintahan yang efektif?
Pertama,harus konsisten memedomani empat sikap dasar, yakni NKRI, UUD
1945 dengan empat amendemennya, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika
adalah harga mati.
Uji coba dalam operasionalnya, perda-perda syariat agama yang
diterbitkan sejumlah pemda dicabut karena bertentangan dengan UUD 1945
dan Pancasila. Kedua,hendaknya mengupayakan semua elite bangsa yang
bergiat di pusat-pusat kekuasaan suprastruktur dan infrastruktur
berorientasi prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih dan baik.
Kekuasaan suprastruktur meliputi institusi legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Kekuasaan infrastruktur meliputi parpol, ormas, LSM, media
massa,dan sebagainya.
Prinsip-prinsip clean and good governance meliputi believe in democracy,
rule of just law, pasar bebas dengan tanggung jawab sosial, pembangunan
yang berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, partisipasi
publik dalam national and regional policy making, transparansi
(kebebasan berekspresi, informasi, dan pers) serta akuntabilitas.
Tokoh-tokoh dari kalangan profesional dan kader-kader partai yang tidak
berpola pikir dan berpola tindak cleangovernancetidak sepatutnya
diikutsertakan dalam kabinet 2009–2014.
Ketiga, harus membangun strong government. Pemerintah yang didukung
koalisi rapuh tidak mungkin menghasilkan pemerintahan yang
efektif.Pemerintahan yang efektif secara optimal hanya mungkin terwujud
bila ditopang oleh koalisi yang kuat. Terkait itu, kita tidak salah
mempelajari pengalaman Jerman. Empat tahun lalu,Partai Uni Kristen
Demokrat (CDU) memenangi Pemilu Jerman.
Menghadapi tekanan global atas kolaps-nya perdagangan dunia yang
berpotensi mengancam posisi Jerman sebagai negara pengekspor terbesar
dunia –Angela Merkel, Ketua CDU mengajak musuh politiknya,Partai Sosial
Demokrat (SPD), pemenang kedua Pemilu, untuk bersama-sama
menyelenggarakan pemerintahan. Majalah Time(11/5/09) yang menetapkan
Angela Merkel sebagai salah satu dari “The TIME 100 The World’s Most
Influential People”, menulis, “Her ability to force partnership with
other leader”itu dinilai sebagai salah satu keberhasilan besarnya.
Kemampuan Angela Merkel membangun partnership dan koalisi, bahkan dengan
lawan politiknya, berdampak positif bagi Jerman. Mengacu langkah
strategis Angela Merkel tersebut, Presiden terpilih––demi terbentuknya a
strong government––hendaknya kembali mengajak dua parpol yang capresnya
kalah dalam Pilpres 8 Juli 2009 bergabung untuk membentuk koalisi besar.
Kalaupun PDIP menolak, karena lebih memilih menjadi partai oposisi
bersama Gerindra dan Hanura, penolakan itu patut diapresiasi.
Keberadaan PDIP, Gerindra, dan Hanura sebagai oposisi adalah bagian dari
penyelenggaraan negara berdasar checksandbalances. Peluang Partai Golkar
ikut memperkuat koalisi SBY-Boediono cukup menjanjikan. Selain capres
Jusuf Kalla secara sportif telah menyampaikan selamat kepada Presiden
terpilih, juga suara-suara petinggi Golkar seperti Aburizal Bakrie,
Agung Laksono, Akbar Tandjung,dan Muladi mengisyaratkan kesiapan mereka
memperkuat koalisi SBY-Boediono.
Ajakan terhadap keikutsertaan Partai Golkar selain akan memperkuat
koalisi SBY-Boediono,juga partai itu tidak diragukan akan berkontribusi
memperkuat sikap dasar NKRI, UUD 1945,Pancasila,dan Bhinneka Tunggal Ika
sebagai harga mati. Keempat, SBY sudah saatnya tampil tegas dan berani
dalam pengambilan keputusan. Menjelang hari pilpres,guru besar riset
Ilmu Politik LIPI Mochtar Pabottingi menulis by-line article
berjudul“Anatomi Pilihan Presiden 2009” di satu surat kabar Jakarta.
Di akhir tulisannya, sang guru besar memberi rekomendasi; “Dari ketiga
pasangan capres yang berlomba, pasangan JK-Wiranto berpotensi memiliki
potensi besar untuk melakukan rangkaian perbaikan nyata dan terobosan
bagi bangsa.” Pertimbangannya, JK dinilai sebagai tokoh yang memiliki
keterbukaan, keberanian, dan kecepatan dalam membaca situasi serta
mengambil keputusan. Di era pemerintahan pertama, SBY dicitrakan
lamban,peragu,dan tidak tegas mengambil keputusan.
Bisa jadi gaya kepemimpinan itu dilakonkan karena SBY tahu diri,
kekuatan politiknya di kabinet dan DPR adalah minoritas. Sikap SBY
berubah segera setelah Partai Demokrat tampil sebagai pemenang Pemilu
legislatif 9 April 2009.SBY ternyata dapat tampil beda, cepat, tanpa
ragu-ragu, dan tegas mengambil keputusan. SBY menolak Jusuf Kalla
menjadi cawapresnya. SBY berani dan tegas memilih Boediono sebagai cawapres.
Tidakkah ketegasan dan keberanian seperti itu cerminan profile in
courage seperti yang ditulis John F Kennedy dalam salah satu bukunya?
Kelima,melindungi pers dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Salah satu
dari 15 program unggulan SBY-Boediono adalah “reformasi birokrasi dan
pemberantasan korupsi”.
Dalam Debat Capres SBY di TVRI (24/6) yang digelar Dewan Pers, saya
sebagai panelis mengemukakan bahwa kendatipun UU No 40/1999 tentang Pers
melindungi pers profesional melakukan investigasi atas pebisnis,
politisi, dan pejabat bermasalah atau yang diduga melakukan korupsi,
fakta menunjukkan bukan pejabat, politisi, dan pebisnis bermasalah
tersebut yang diperiksa oleh aparat penegak hukum. Justru pers dan
wartawannya diancam pidana penjara atau denda sampai triliunan rupiah,
karena beritanya dituduh menghina dan mencemarkan nama baik.
Kemudian saya bertanya: “Jika terpilih menjadi Presiden RI 2009–2014,
dapatkah SBY mereformasi politik hukum negara agar tidak lagi
mengkriminalisasi pers dalam tugas jurnalistik?” Panelis kedua,Ketua
Umum PWI Margiono, lebih tegas lagi dengan harapan agar presiden
terpilih memberi perintah kepada polisi dan jaksa lewat Kapolri dan
Jaksa Agung tidak lagi mengkriminalisasi pers dalam tugas jurnalistik.
Bagaimana kita menilai apakah lima langkah yang dikemukakan sebagai
langkah yang harus ditolak atau patut dipertimbangkan untuk
dilaksanakan? Jawabannya, bila orientasinya adalah kepentingan kelompok
dan individu ke lima langkah tersebut patut ditolak. Namun, bila
orientasinya adalah memilih strategi mengefektifkan pemerintahan
2009–2014 secara optimal, pilihannya adalah dengan lima langkah
tersebut.(*)
Leo Batubara:
Wartawan Senior, Pemerhati Good Governance
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/257170/
Strategi Mengefektifkan Pemerintahan
Written By gusdurian on Minggu, 26 Juli 2009 | 09.05
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar