Oleh: Legiman
Sukses besar tradisi demokrasi prosedural kembali ditoreh. Melalui
Pemilu Presiden (Pilpres) 2009, ratusan juta anak bangsa membubuhkan
contrengan di atas gambar tiga pasang calon presiden (capres) dan calon
wakil presiden (cawapres).
Rutinitas pesta demokrasi melalui pilpres, tak terkecuali Pilpres 2009,
merupakan buah dari persemaian tradisi demokrasi yang kini dalam proses
konsolidasi. Benang merah dari demokrasi tak lain adalah kedaulatan
rakyat. Tapi, kedaulatan rakyat yang menjadi cita-cita asasi demokrasi
tidak selamanya terejawantahkan dalam gerak penyelenggaraan politik dan
kekuasaan.
Tidak ada yang menjamin pascapilpres kali ini kedaulatan rakyat
benar-benar terwujud. Beban inilah yang sejatinya menjadi cita-cita
demokrasi dan tujuan suci penyelenggaraan pilpres, bukan yang lain.
Apalagi, pilpres meniscayakan partisipasi, motivasi, dan keikutsertaan
masyarakat. Tanpa partisipasi masyarakat, demokrasi bak macan ompong dan
defisit legitimasi.
Tak lain, motivasi masyarakat dalam pilpres tidaklah dilatari oleh
harapan kosong akan perubahan. Di balik itu semua, secercah harapan
mengalir deras mengikuti denyut nadi yang kemudian menggerakkan tangan
untuk mencontreng.
*Ilusi Demokrasi *
Sejauh kepekaan sosial-politik merasakan, kedaulatan rakyat di alam
demokrasi saat ini terasa jauh panggang dari api. Wajah kedaulatan
rakyat tertindih obsesi arogan elite-elite politik yang terjelma dalam
bentuk demokratisasi elitisme dan kepemimpinan transaksional. Aspirasi,
kepentingan, dan kebutuhan rakyat terdepak dari panggung mulia demokrasi.
Dalam kekuasaan transaksional, demokrasi tidak lagi berbicara tentang
''mereka'' (kemaslahatan bangsa), tapi saya atau kami (individu,
keluarga, dan golongan-partai politik). Buntutnya adalah kekerasan
demokrasi dalam bentuk relasi yang hierarkis (atas-bawah),
superior-inferior, kuat-lemah, dan lain-lain.
Artinya, terjadi peminggiran, marginalisasi, pengabaian, kesenjangan,
dan proses isolasi terhadap kepentingan rakyat kebanyakan. Cita-cita
demokrasi seperti keberpihakan, kesejahteraan, dan kemakmuran hanya ilusi.
Sementara itu, garda depan dan candradimuka demokrasi berada di atas
menara gading yang sulit dijamah. Alih-alih menjadi payung
kesejahteraan, demokrasi malah membuka jalan kebebasan sebesar-besarnya
bagi oknum-oknum politisi untuk bertindak di luar koridor amanah dan
tanggung jawab laiknya pemimpin bangsa.
Tontonan akrobatik dan sandiwara demokrasi elite-elite politik bukan
fenomena asing lagi. Maraknya korupsi, suap-menyuap, dan semisalnya
menjadi contoh. Sebagian terungkap, sementara lainnya bebas melenggang.
Tanpa ada ujung, posisi rakyat nyaris tersubordinasi oleh
kepentingan-kepentingan pembajak demokrasi, walau gaung reformasi terus
menggema.
Pemilu menjadi rutinitas lima tahunan. Pada era reformasi, dua kali
pemilu demokratis diselenggarakan. Namun, rentetan pengalaman pesta
demokrasi tetap saja menyisakan anomali-anomali kedaulatan rakyat.
Gradualitas demokrasi yang diyakini sebagai strategi dan taktik seakan
tersedak dan tersandera oleh banyolan-banyolan tidak populer elite-elite
politik.
Slogan-slogan aspirasi dan keberpihakan rakyat sepi dari ruang-ruang
demokrasi. Kalaupun ada, tak lebih sebatas tameng dan polesan citra,
terlebih lagi mendekati even akbar pesta demokrasi seperti Pilpres 2009.
Lihat saja, wajah demokrasi menjelang hajatan Pilpres 2009 menampakkan
suasana girang, kegembiraan, dan pesona elok. Elite-elite politik saling
bersekutu, berkoloni, dan menyerukan jargon serta slogan atas nama
kedaulatan rakyat. Relasi sosial, emosional, dan politik berubah total
seakan tidak ada sekat-sekat rasa kikuk, canggung, dan gamang. Kostruksi
relasi antara rakyat dengan elite politik seperti dalam habitat
simbiosis mutualisme dan kemesraan etis politis.
Janji-janji politik, iming-iming kesejahteraan, panorama-panorama
perubahan jor-joran menggelegar menyeruak masuk ke liang-liang kesadaran
rakyat sebagai bumbu-bumbu penarik simpati. Pada ranah inilah
elite-elite politik memosisikan sebagai sosok-sosok yang akomodatif,
mutual, dan sinergik-interkonektif dengan perihal hajat hidup masyarakat.
Pola, mental, dan sikap sosialis serta dermawan tumbuh merekah bak jamur
di musim penghujan. Tindak-tanduk seperti itu tak luput menyelipkan
slogan-slogan kedaulatan rakyat.
Slogan kedaulatan rakyat laris-manis menjadi manuver jualan politik
dalam kampanye menjelang pilpres. Namun, dalam praktiknya, kedaulatan
rakyat menjadi semacam wacana yang dipaksakan, tanpa jejak, dan absurd
realisasinya. Atau, merujuk pada tesis Claude Lefort (1988), pemilu
(pilpres) hanyalah perayaan dan pernyataan simbolis bahwa ''kedaulatan''
itu dimiliki oleh yang banyak (rakyat) yang dipinjamkan kepada politisi.
*Komitmen *
Dalam konteks belantika politik kita, tesis tersebut mendapat
pembenaran. Yakni, sebuah proses peminjaman kedaulatan melalui pilpres
sebagai media transaksi legal-konstusional yang kerap disandingkan
dengan bahasa pesta demokrasi. Parahnya lagi, pesta demokrasi dimaknai
secara awam, temporer, dan sarat reduksi serta distorsi akan maksud dan
tujuan pesta demokrasi.
Untuk kali kedua pada era reformasi, konstelasi politik nasional telah
mendendangkan pilpres secara langsung. Sebagaimana diisaratkan juga oleh
M. Jusuf Kalla bahwa demokrasi hanyalah alat dan bukan tujuan, sejatinya
konsolidasi tidak berhenti di pengujung pesta demokrasi (kampanye dan
momentum pencontrengan). Komitmen konsolidasi demokrasi harus terus
dipupuk, disirami, dan disemai.
Artinya, meminjam ungkapan Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996),
pemilu bukanlah satu-satunya faktor dalam konsolidasi demokrasi.
Demokrasi amat berkaitan dengan faktor-faktor nonpolitik seperti
komunikasi dan kebebasan berkumpul (/civil society/), konstitusi (/rule
of law/), norma-norma birokrasi yang sah-rasional (/state apparatus/),
serta tradisi pasar (/economic society/)./ /*(*)/ /*
/*) Legiman, mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta/
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=79496
Nasib Demokrasi Pascapilpres
Written By gusdurian on Jumat, 10 Juli 2009 | 11.25
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar