/Kapan sesungguhnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf
Kalla, atau Kabinet Indonesia Bersatu, bekerja?/ Sepanjang tahun 2007.
/Lho, bukankah masa jabatan mereka lima tahun? Apa yang terjadi dengan
empat tahun sisanya?/ Tahun 2004-2005 dihabiskan untuk konsolidasi yang
berlarut-larut. Sementara tahun 2008-2009 digunakan untuk memecah diri,
bersiap-siap menghadapi pemilu berikutnya.
Itulah salah satu anekdot tentang pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Laiknya
anekdot, ia tentu saja mengidap dramatisasi lumayan kental. Kerja
pemerintahan digambarkan berlangsung dalam ''formula Wiro Sableng''
(2-1-2). Hanya satu tahun pemerintah bekerja efektif, sementara dua
tahun di awal dan di akhir habis terpakai masing-masing untuk
konsolidasi dan ajang kontestasi pemilu berikutnya.
Namun, terlepas dari dramatisasi yang diidapnya, anekdot itu berhasil
memotret problematika kabinet-kabinet yang mesti bekerja dalam
presidensialisme ala Indonesia. Di satu sisi, presiden dan wakil
presiden memiliki legitimasi kuat karena merupakan hasil pilihan
langsung rakyat. Tapi di sisi lain, sebagai konsekuensi empat kali
amandemen UUD 1945, lembaga legislatif menjadi mitra sekaligus pengawas
eksekutif yang penuh kuasa.
Maka, pemimpin pemerintahan akan selalu tergoda untuk memperkuat kakinya
dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebab jika tidak, efektivitas
kerja, kebijakan, dan kelangsungan pemerintahan potensial terganggu.
Begitulah pula cerita tentang Kabinet Indonesia Bersatu-nya Yudhoyono-Kalla.
Segera setelah sukses memenangkan pemilu presiden 2004, Yudhoyono-Kalla
dikelilingi partai-partai yang "berebut" masuk ke dalam pemerintahan.
Semua partai itu terseret oleh magnet peribahasa kuno: "Sukses itu
banyak orangtuanya, gagal itu yatim piatu".
Alhasil, setelah Kalla merebut kursi Ketua Umum Partai Golkar di akhir
2004, pemerintah disokong oleh sepuluh partai yang menguasai 76,4% kursi
DPR. Delapan dari 10 partai itu memiliki wakil dalam kabinet, satu di
lembaga Dewan Pertimbangan Presiden, satu sisanya melalui akomodasi
informal. Sementara itu, di luar pemerintahan hanya tersisa enam partai
dengan 23,6% kursi DPR.
Selain kalangan partai, Yudhoyono-Kalla sesungguhnya melibatkan juga
kalangan non-partai dalam kabinetnya. Ketika dilantik pertama kali,
kabinet terdiri dari 18 menteri dari kalangan partai dan 18 menteri
non-partai. Dua perombakan sepanjang era ini tak mengubah secara
signifikan komposisi ini: kalangan non-partai berkurang menjadi 17 orang
(perombakan pertama) dan kemudian bertambah menjadi 19 orang (perombakan
kedua).
Berkumpulnya banyak partai dalam pemerintahan Yudhoyono-Kalla adalah
kabar baik sekaligus buruk. Ini menggambarkan kemampuan Yudhoyono-Kalla
mengakomodasi partai-partai dan mengelola dukungan politik formal.
Pemerintah pun tersokong secara kuat oleh partai-partai dalam lembaga
legislatif. Yudhoyono-Kalla pun berhasil keluar dari jebakan ''sindrom
Abdurrahman Wahid'', terjerembap jatuh lantaran mengalami defisit
dukungan politik.
Namun, secara faktual, pemerintah berkutat dengan koalisi yang tambun
tapi tak disiplin. Umumnya, resistensi terhadap pemerintah dari DPR ikut
digalang, bahkan dipelopori, oleh partai-partai penyokong pemerintah.
Dalam konteks ini, DPR menggunakan delapan hak angket selama
pemerintahan Yudhoyono-Kalla; jauh lebih banyak dibandingkan di era
Abdurrahman Wahid (1 kasus) dan Baharuddin Jusuf Habibie (1 kasus).
Koalisi tambun yang tak disiplin itu juga berkonsekuensi pada
''berlarut-larutnya konsolidasi dalam pemerintahan''. Ikhtiar
konsolidasi ini makin diperumit oleh adanya masalah ''kohabitasi'',
yaitu penyatuan presiden dan wakil presiden yang datang dari dua partai
yang berbeda. Celakanya, kursi partai sang wakil presiden di DPR jauh
lebih banyak dari kursi partai sang presiden.
Di awal masa pemerintahan, kabinet menghadapi tantangan konsolidasi yang
tak mudah. Di akhir, kabinet terbelah-belah secara politik sebagai
konsekuensi dari persiapan menuju pemilu 2009. Inilah jerat-jerat
presidensialisme Indonesia.
*Keluar dari Jerat* *
* Siapa pun yang terpilih dalam pemilu presiden 2009, mau tak mau, akan
berhadapan dengan jerat-jerat itu. Maka, sebelum mendiskusikan
personalia dan anatomi kabinet yang potensial yang ditawarkan setiap
pasang kandidat, mau tak mau mesti menimbang kemungkinan setiap kandidat
untuk keluar dari jerat itu.
Yudhoyono-Boediono hanya bisa terhindar dari jerat itu manakala merasa
cukup dengan besaran dukungan politik yang mereka miliki sekarang, 314
kursi (56,07%) dari lima partai di DPR. Kabinet cukup disokong oleh
''mayoritas yang cukup'', dengan koalisi berdisiplin dari seterbatas
mungkin partai.
Sebaliknya, Yudhoyono-Boediono akan terjerumus ke lubang jerat yang sama
jika mereka ditakdirkan menjadi pemenang. Tergoda untuk memperbesar
sokongan politik dengan mengajak Partai Golkar bergabung dalam
pemerintahan. Saya menduga, Yudhoyono mudah tergoda sebagai konsekuensi
dari tabiatnya sebagai penghindar risiko.
Ia bisa tergoda mengajak serta tokoh Golkar yang mencelat dari gerbong
kepemimpinan Kalla ke dalam kabinetnya dan/atau bermain mata dengan
salah seorang tokoh Golkar --Aburizal Bakrie, misalnya-- untuk menggeser
kepemimpinan Kalla. Dengan demikian, pemerintahannya berpotensi
tersokong oleh 78,39% kursi DPR.
Jika skenario terakhir itu yang terjadi, yang akan kita temukan adalah
kabinet presidensial berbasis koalisi tambun namun miskin disiplin.
Kepemimpinan politik presiden pun akan cenderung lemah dan mengidap
banyak masalah, seperti yang kita temui selama lima tahun terakhir.
Yudhoyono mengulang kegagalan merumuskan ''kepemimpinan yang kuat'',
yang sudah dilakukannya pada 2004.
Bagaimana halnya dengan Kalla-Wiranto? Jika keduanya ditakdirkan menjadi
pemenang, maka persoalan pertama yang harus segera mereka pecahkan
adalah memperkuat barisan partai pendukung mereka di DPR. Saat ini,
mereka memiliki modal dukungan 122 kursi (22,32%) Partai Golkar dan
Hanura. Segera setelah meraih kemenangan, mudah diduga, mereka akan
mengajak Partai Demokrat dan Gerindra bergabung memperkuat kabinet. Jika
ini terjadi, struktur dukungan partai penyokong pemerintahan tetap belum
memadai: 246 (43,93%) kursi DPR.
Maka, pilihan strategis yang tersedia adalah mengajak serta satu partai
--ya, cukup satu partai saja-- untuk memperkuat kabinet atau
pemerintahan. Dalam konteks ini, Partai Keadilan Sejahtera adalah
pilihan paling masuk akal. Sebab, dengan penguasaan 57 (10,18%) kursi
DPR, mereka membuat kabinet sudah tersokong oleh ''mayoritas yang
cukup'' (303 atau 54,11% kursi DPR). Pekerjaan berikutnya yang tersisa
adalah menjaga disiplin koalisi penyokong pemerintahan.
Skenario yang kurang lebih sama berlaku apabila pasangan Megawati
Soekarnoputri-Prabowo Subianto memenangkan pemilu.
*Menimbang Kabinet?*
Keluar dari jerat-jerat presidensialisme itu barulah separuh agenda
kerja. Separuh agenda sisanya adalah menyusun anatomi kabinet berbasis
personalia yang terlayak. Di satu sisi, keterwakilan partai mesti
diimbangi oleh kompetensi dan integritas setiap tokoh yang direkrut
menjadi anggota kabinet. Di sisi lain, pelibatan tokoh-tokoh non-partai
tak terhindarkan, dengan tentu saja tetap menimbang kompetensi dan
integritas mereka.
Dilihat dari sisi kemungkinan anatomisnya itu, kabinet siapakah
(Megawati, Yudhoyono, atau Kalla) yang paling menjanjikan? Siapa pun
akan menghadapi kesulitan berlipat-lipat untuk menjawab pertanyaan ini.
Ada tiga tiga cara menimbang kabinet, masing-masing dengan tingkat
kesulitan yang berbeda. Pertama, menimbang kabinet setelah mereka
bekerja. Penilaian /post-factum /ini, tentu saja, paling mudah dilakukan
karena semua data tentang kerja dan kinerja kabinet sudah tersedia. Di
sini, kredibilitas penilaian akan banyak ditentukan oleh kepiawaian
memilih /angle /atau fokus, membuat ukuran yang layak, serta ikhtiar
kategorisasi dan penyimpulan yang saksama.
Kedua, menimbang segera setelah sebuah kabinet terbentuk. Dalam konteks
presidensialisme, berarti penilaian dilakukan serta merta setelah
presiden mengumumkan secara resmi susunan menteri yang akan membantunya
bekerja mengelola pemerintahan. Kesulitan pun lebih berlipat-lipat
lantaran data tentang kerja dan kinerja belum sama sekali tersedia.
Penilaian pun akan banyak bertumpu pada anatomi kabinet, kredibilitas
figur yang masuk di dalamnya, ketepatan pos departemen atau kementerian
negara dengan kompetensi sang menteri yang mendudukinya, serta latar
belakang sosial-politik para anggota kabinet.
Ketiga, menimbang kabinet ketika ia sama sekali belum terbentuk di
tengah ketidakleluasaan informasi dan data. Pada titik inilah kita
berdiri sekarang: menimbang dengan tingkat kesulitan yang bukan alang
kepalang. Kesulitan semakin berlipat ganda karena tak adanya
diferensiasi yang tegas di antara partai-partai. Kandidat mana pun yang
memang akan merekrut para menteri dari sumber yang kurang lebih sama dan
melalui mekanisme pragmatis yang serupa.
Alhasil, yang bisa diikhtiarkan adalah menjaga agar --siapa pun
pemenangnya-- perekrutan kabinet selepas Pemilu 2009 dilakukan bertumpu
pada ''pertukaran politik'' (saling menukar kepentingan berjangka
panjang yang melibatkan kehendak publik) dan bukan sekadar ''transaksi
politik'' (saling melayani pragmatisme segelintir pihak untuk
kepentingan sempit berjangka pendek). Jika ini tak terjaga, celakalah kita.
*Eep Saefulloh Fatah*
/Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia/
[*Laporan Khusus*, /Gatra/ Nomor 34 Beredar Kamis, 2 Juli 2009]
http://gatra.com/artikel.php?id=128118
Eep Saefulloh : Kabinet 2009-2014
Written By gusdurian on Jumat, 10 Juli 2009 | 11.23
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar